Papa mertuanya yang berbuat, Riana yang dipaksa ikut bertanggung jawab. Namun yang lebih mengherankan adalah sikap orang tua Riana. Hmm … sepertinya ada persekongkolan yang sengaja mereka rencanakan, tetapi apa ya?
Lihat lebih banyakRiana gadis manis yang memang sedikit kampungan untuk ukuran anak kuliahan saat itu. Outfit yang dia kenakan sama sekali tidak modis, jauh dari kata mengikuti tren. Belakangan Maya mengerti alasannya, tidak lain karena ekonomi keluarga Riana yang sangat sederhana. Padahal kehidupan dia sendiri pun tidak dapat dikatakan berlimpah, namun dia masih lebih beruntung dibanding Riana.Awal persahabatan mereka berawal di halte depan kampus. Riana menunggu bapaknya menjemput, sedang Maya menunggu angkot untuk pulang ke kost-nya.“Anak akuntansi ya? Kayak familiar wajahnya,” sapa Maya terlebih dahulu.“I-iya, kamu Maya kan?” balas Riana malu-malu.“Wah ternyata aku terkenal juga.” Dada Maya sedikit membusung, agak bangga bahwa teman sekelas yang dia tidak tahu namanya tetapi teman itu mengenal dirinya.Riana menutup mulutnya dengan satu tangan agar tawa tidak menyembur keluar. “Kan kamu yang kemarin disuruh maju gara-gara tidur di kelas.”Sedetik Maya melotot, namun kemudian terbahak-bahak. Ast
“Jadi benar Riana menerima telpon dari dokter Rienald di kantor?” tanya Jagat. Entah mengapa nadanya naik, nyaris seperti orang berteriak. Napasnya pun terdengar menderu setelah mengucapkan kalimat itu.“Iya, Mas. Aku memang tidak bisa mendengar semua pembicaraan mereka, tapi aku mendengar Riana menyebut nama dokter itu.”“Dan mereka tertawa-tawa?” tukas Jagat. Mulutnya membentuk seringai hambar.Untuk satu pertanyaan ini, Maya perlu menghela napas sebelum akhirnya mengiyakan.“May, aku mau tanya ke kamu, tolong jawab yang jujur ya!”Maya mengangguk patah-patah. Dalam benaknya muncul tanda tanya besar, apa yang harus dia jawab? Kalau soal Reinald, dia pernah memergoki Riana bertelepon dengan dokter itu dua kali. Dan memang percakapan mereka terdengar menyenangkan sebab banyak dijejali tawa di sana sini.“Kamu tau enggak kalau Riana punya uang banyak?” Jagat melempar tanya lagi. Setengah ragu, tetapi dia harus tahu kebenarannya. Apakah Riana merahasiakan ini semua dari orang lain, atau
“Ri, kamu tau—““Sst … bentar, May. Ini hape-ku bunyi terus dari tadi, aku telpon balik dia dulu ya.” Riana berkata sembari mengangkat tangan, meminta Maya untuk menahan ucapannya sebentar.Dilihatnya panggilan telepon telah berderet, sebab sebenarnya telepon Riana memang sudah berdering sejak dia masih ada di rumah. Riana tahu pasti bahwa itu dari Reinald, maka itu dia sengaja tidak angkat di depan Jagat. Bukan menyembunyikan sesuatu, dia hanya tidak ingin suaminya berpikiran aneh-aneh lagi terhadap Reinald.“Halo, Rein ….” Riana melirik kepada Maya. Sahabatnya itu masih menatapnya tidak berkedip, jiwa keingintahuan Maya memang susah untuk dikendalikan. Entah mengapa, kali ini Riana menjadi tidak nyaman, istri Jagat itu pun meninggalkan Maya, untuk mencari ruang lain yang sekiranya terbebas dari jangkauan kuping sahabatnya itu.“Na, maaf ya, aku terpaksa telpon pagi-pagi begini, takut nanti aku tidak sempat lagi,” ucap Reinald.“Iya, enggak apa-apa, Rein, aku udah di kantor kok. Kamu
“Jadi kamu benar dari menengok Mama … eh maksudnya Bu Widya?” Vivi berseru kalap. “Astaga, Riana … apa yang ada dalam pikiran kalian sih? Pasti Jagat kan yang ngotot pengen ketemu ibunya?”Riana menghembus napas. Di sebelahnya Jagat tertunduk, menekuri telepon genggamnya sendiri. Lelaki itu masih berbalas pesan dengan Bu Reni. Sebelum Riana mendapat telepon berisi omelan Vivi sekarang, Jagat sudah terlebih dulu mendapat teguran dari pengacara itu.“Ri, Riana!” Suara Vivi terdengar lebih keras. Mungkin karena Riana belum merespon ucapan terakhirnya.“Iya, Kak.”“Kamu tuh aduh … berarti bener kali ya yang dulu dikatakan dia, dia pernah cerita kalau Jagat itu beneran emang suka enggak pakai otak kalau mau ngapa-ngapain.”“Dia siapa, Kak?” tanya Riana polos.Vivi berdecih. “Ck, ya dia … dia kakaknya Jagat.”Entah mengapa Riana tertawa. Menurut Riana lucu saja cara Vivi menyebut mantannya. Dulu saat mereka masih terikat dalam pernikahan, Vivi memanggil Tyo dengan embel-embel ‘Mas’ di depan
“Ada apa, Pa?” Widya menegakkan kepala sekuat yang dia mampu. Tubuhnya sudah lebih segar meskipun selera makannya belum baik. “Mama denger Papa teriak-teriak, dan apa itu suara Riana?”“Mama denger?” Sulis membeliak tidak percaya.Saat kejadian tadi, kamar perawatan ini dalam keadaan tertutup. Jika sampai suara pertengkaran tersebut sampai didengar Widya, berarti memang suara mereka sama-sama sangat kencang.“Apa Riana mau nengok Mama? Sama Jagat juga?” Widya bertanya lagi. Ada sedikit kehangatan dalam harapannya. Jika anak bungsunya itu sudah mendekat ke arahnya, dia akan menggunakan keadaan dirinya ini untuk membujuk Jagat melepaskan tuntutan kepada Tyo.“Sekarang mereka di mana, Pa?” Widya menatap pintu, yang sudah ditutup rapat oleh Sulis. Mata Widya mengikuti pergerakan suaminya. Lelaki itu meletakkan barang belanjaan di meja, tepat di bawah TV layar datar yang menggantung di dinding.Sulis membalik badan, menghadap kepada istrinya. “Mereka ke sini bukan untuk menengok Mama.”“Te
“Loh, kok kita belok kiri?”Riana akhirnya bicara. Sedari saat makan hingga berada di dalam mobil Jagat menjadi pendiam. Riana paham pasti gara-gara dokter Reinald, dan sebenarnya dia sudah minta maaf pada sang suami beberapa kali. Akan tetapi Jagat memilih berpura-pura tidak mendengar dan mengabaikannya.“Mas, kok—““Aku pengen bezuk Mama, kalau kamu keberatan nanti kita muter di depan,” sahut Jagat, kelihatan nadanya masih ditekan agar terdengar biasa.“Oh, enggak gitu juga, Mas … aku kan cuma tanya, takut salah arah aja.” Riana melirik suaminya. “Apa masih marah soal dokter Rei—““Udahlah, Dek, jangan lagi dibahas soal itu.”Bertepatan dengan ucapan Jagat, ada sebuah motor yang menyelonong, memotong jalan sembarangan. Jagat pun menginjak pedal rem dalam-dalam, dan membuat mobil berguncang. Otomatis badan keduanya pun ikut berguncang. Riana yang tidak melihat kejadian di depan mobil, sebab matanya masih lekat kepada sang suami, terhempas keras. Hampir saja kepalanya terantuk dashbo
“Ri, Ibu dengar Mama mertuamu masuk rumah sakit. Benar begitu?”“I-iya, Bu.”“Gimana keadaannya?”Riana diam. Tidak tahu harus menjawab apa, sementara wajah Jagat di depannya mulai mengeras. Sedikit demi sedikit otot-otot rahangnya kencang.“Kamu belum menengoknya ya? Atau memang sengaja enggak mau?” tukas Ibu. Ketika Riana tetap diam, akhirnya Ibu bicara lagi, “Kalau Jagat mau nengok mamanya, jangan dihalangi, Ri. Malah seharusnya kamu ikut mendampingi. Gimana pun juga dia ibu kandungnya Jagat. Jangan jadi orang jahat.”“Iya, Bu.”Telepon ditutup. Riana kembali menatap wajah sang suami.“Ada kabar apa di kampung?” selidik Jagat. Yang sebenarnya dia sudah dapat meraba apa isi percakapan antara istri dan ibu mertuanya barusan.Riana menggeleng. “Ibu sudah dengar kabar tentang Mama.”Lelaki di hadapan Riana itu menghembuskan napas kasar.“Ibu tanya, apa Mas mau menjenguk Mama?”Spontan Jagat memalingkan wajah. Seratus persen hatinya ingin, tetapi dia takut akan penolakan yang akan dia t
(Bisa, Na. Jam setengah lima, oke?)(Oke, Rein).(Kamu langsung ke rumah sakit aja ya, Na)(Terima kasih, Rein).(No prob, Na).Jagat melotot membaca pesan-pesan Riana di kontak dengan nama ‘Reinald’. Jadi selama ini istrinya ada sesuatu dengan dokter itu? Sampai mereka memanggil dengan nama masing-masing tanpa embel-embel penghormatan seperti ‘Ibu’ atau ‘Mbak’?“Apa itu ‘Na’, semacam panggilan sayang?” jerit hati Jagat. Dia sampai bersusah payah untuk menelan ludahnya sendiri.Jari jemari Jagat menelusur lagi. Tetapi tidak ada percakapan selain itu, apakah ini berarti riwayat percakapan mereka telah sengaja dihapus oleh Riana? Disengaja untuk menghilangkan jejak? Hati Jagat begitu membara.Dia masih belum menyerah, kali ini riwayat panggilan telepon yang menjadi tujuannya. Dan, benar! Ada beberapa kali panggilan, bahkan tertera hari ini mereka saling bertelepon lebih dari sekali. Dengan kepala yang seakan menyala bara api, Jagat langsung membuat panggilan kepada dokter itu.Dering pe
“Apa sih it—“BRUUUG. BLAM!Belum usai ucapan Sulis, bunyi keras lainnya menyusul. Rumah ambruk sebagian. Kamar tempat mereka berada pun terbelah.“Ma, ayo cepat kita keluar, takut rumah ini nanti runtuh!” Sulis menarik tangan Widya yang seperti masih terbengong kaget dengan kejadian ini.Widya tersadar dan cepat mengikuti langkah Sulis. Namun malang, sesuatu yang meluncur dari atas mereka lebih dulu menghentikan langkah keduanya.“Mama!” Sulis memekik ketika istrinya terkapar dengan bongkahan tembok menindih kedua kaki Widya.Ibu kandung Tyo dan Jagat itu merasakan sakit yang teramat sangat, dan berangsur-angsur memudar … Widya pingsan.Keesokan harinya, Sulis tergopoh-gopoh ke kantor polisi. Dia berniat melaporkan para tukang bangunan yang telah menyebabkan kecelakaan kemarin siang. Namun sebelumnya dia ingin menemui anaknya terlebih dulu.“Ya, Tuhan!” Tyo menjerit kaget. Mengundang perhatian orang-orang yang ada di situ sekejap. Sulis sampai berdiri, untuk sekedar membungkukkan bad
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.