“Riana percayalah, Anin itu bukan anak kandung Jagat. Tapi adik Jagat lain ibu, kan wajar jika Jagat dan Anin mirip. Jagat, Tyo dan Anin kalau disandingkan sudah pasti akan mirip, karena memang mereka satu ayah,” kata Mama. “Adapun kulitnya yang sama-sama putih itu karena Karisma berkulit putih.”
Wanita lima puluh satu tahun itu tergopoh-gopoh datang saat Jagat menelepon. Jagat mengabarkan bahwa dia sudah kewalahan saat Riana terus menerus mendesak sambil mengamuk.
“Tidak ada yang Jagat sembunyikan dari kamu, Sayang. Jangan curiga kepada suamimu sendiri,” ucap Mama. “Mama pun bersumpah, demi Alloh Anin itu bukan anak kandung Jagat. Kalau kamu kurang percaya, dan Jagat harus disumpah di bawah kitab suci, ya ayo kita lakukan. Kamu pasti bersedia kan, Gat?”
“Bersedia, Ma,” jawab Jagat. Pelan tapi tegas.
Riana menatap dengan mata meradang. “Kalau begitu aku mau tes DNA untuk mencari kebenarannya.”
Mama tersenyum. “Ri, DNA Anin tentu saja akan mirip dengan Jagat. Kan sudah Mama bilang, Anin dan Jagat satu keturunan, sama-sama anak Papa, jadi pasti akan punya DNA yang kurang lebih sama. Tapi kalau itu memang mau kamu, kita akan lakukan, supaya kamu lega. Oke?”
Mama membelai punggung Riana. Kali ini istri Jagat itu menerima, tidak lagi menepis seperti tadi. Sesaat mereka terdiam. Jagat yang duduk di hadapan Riana bergerak pelan dalam kegelisahan. Bukan kenapa-kenapa, tetapi telepon genggam dalam sakunya terus bergetar sedari tadi. Sudah pasti itu dari kantornya.
“Jadi kamu masih tetap ingin melakukan tes DNA Anin?” Mama bertanya lagi dengan lembut. Riana mengangguk.
“Rumah sakitnya mau pilih mana? Supaya nanti kamu tidak lagi curiga,” ujar Mama.
Riana malah rebah ke dalam pelukan Mama, lalu menangis di sana. Tangis yang sudah susah payah dia tahan sekuat tenaga, akhirnya jebol juga. Mama membiarkan air mata Riana membasahi baju bagian depan miliknya, sambil terus mengusap-usap punggung Riana.
“Mama tau pengorbanan kamu sangat besar, Ri. Dibandingkan dengan semua yang kami berikan pasti tidak ada apa-apanya dengan kemuliaan hatimu menerima Anin. Mama hanya minta, kalau ada berita apa-apa tentang Anin, kita bisa bicara baik-baik dengan kepala dingin.”
Mama melepas pelukan Riana, menangkup wajah menantunya itu dengan kedua tangan. Sedetik kemudian sibuk menghapus air yang membasahi pipi Riana.
“Apakah ada kecurigaanmu yang lain?” Mama bertanya dengan hati-hati.
Riana menggeleng.
“Mama ijin berangkat sekarang ya? Kalau sedang tidak ada kunjungan dari Dinas, pasti Mama temani kamu satu hari ini.” Mama tersenyum dan benar-benar melepaskan Riana, kemudian berdiri. “Gat, kamu temani Riana sebentar lagi, baru kamu berangkat kerja. Bisa kan?”
“Bisa, Ma.”
“Riana, Mama pamit dulu ya. Enggak bosan-bosannya Mama mengucapkan banyak terima kasih karena kamu bersedia menjaga kehormatan keluarga kita.”
Mama pergi. Dia masih aktif menjadi kepala sekolah di sebuah sekolah dasar negeri. Kabarnya akan pensiun sekitar enam atau tujuh tahun lagi.
“Dek.” Jagat mendekat hati-hati. Saat yakin Riana sudah tenang, Jagat beringsut lebih dekat. “Maafkan aku kalau tetap harus berangkat kerja, sebab siang ini ada rapat yang benar-benar wajib aku hadiri. Tapi begitu rapat selesai aku usahakan balik ke rumah ya.”
Riana menoleh. Matanya masih basah meski sudah tidak lagi menangis. Ada secuil penyesalan bahwa tadi dia sempat mengamuk, hanya karena ucapan satu orang. Seharusnya memang dia bisa bertanya baik-baik seperti yang Mama ucapkan. Meskipun, jujur, Riana tidak percaya seratus persen apa yang telah disampaikan mertuanya.
Riana memandangi wajah Jagat. Mencari-cari jawaban di sana. Benarkah tidak ada yang disembunyikan oleh suaminya? Benarkah Anin itu bukan anak Karisma dengan Jagat? Riana terkesiap, tiba-tiba muncul sebuah gagasan.
“Mas, apakah aku boleh ketemu Karisma? Aku belum pernah ketemu sama ibu kandung yang bayinya aku rawat, padahal dia tinggal satu kota dengan kita kan? Setiap pagi dia mengirim ASI ke sini.”
Jagat terkaget. “Buat apa?”
“Buat membuktikan kalau Karisma itu putih, karena Papa kan berkulit gelap.”
Suami dari Riana itu menelan salivanya. Satu dua detik, Jagat masih diam.
“Kalau enggak ada apa-apanya pasti boleh kan?” Nada suara Riana kembali penuh kecurigaan. “Kecuali memang Mas takut kalau aku ketemu Karisma.”
“Aku enggak takut, Dek, karena aku enggak punya hubungan apa-apa sama Karisma.”
“Ya kalau gitu ayo kita ketemu sore ini.”
“Oke, aku bilang sama Papa dulu.”
“Loh, ngapain bilang Papa? Kan bisa kita langsung ketemu aja sama Karisma.” Riana bertambah curiga.
Jagat tertawa. “Dari mana kita bisa ketemu sama dia? Aku enggak tau rumah Karisma, enggak ngerti nomor telpon dia.”
“Kalau gitu cepat telpon Papa, Mas,” pinta Riana penuh harap.
“Tadi kan Mama bilang, Papa ada kelas pagi ini sampai sekitar jam sepuluh.”
“Aku chat Papa langsung?” Riana menjawab cepat.
Jagat mengangguk. “Ya, silakan, Dek. Aku enggak merasa gimana-gimana, karena memang aku tidak ada hubungan dengan Karisma seperti yang kamu tuduhkan. Disuruh bersumpah, aku sudah. Tes DNA, aku ayok. Kamu mau ketemu Karisma ya silakan.”
Riana diam. Mendadak dia meragukan pemikirannya sendiri. Apa dengan keberanian Jagat untuk melakukan semua yang dia minta, berarti memang Anin itu benar anak kandung Papa? Antara suaminya dan bayi itu benar-benar sebatas adik beda ibu?
“Dek, kalau aku berangkat sekarang enggak pa-pa? Jadinya kamu yang akan chat langsung sama Papa? Biar enggak double, nanti aku chat, kamu juga chat.”
Riana mengangguk. Cukup untuk menjawab dua pertanyaan Jagat sekaligus.
Setelah Jagat pergi, Riana segera mengirim pesan kepada Papa mertua. Dia harus sabar menunggu jawaban.
Sekira jam sepuluh lebih sepuluh menit, Papa menelepon Riana. Tanpa basa basi Papa segera memberi nomor kontak Karisma dan mempersilakan Riana untuk menemui selingkuhannya itu.
“Mbak Riana?”Riana menoleh. Mata bundarnya melihat sesosok perempuan cantik berkulit putih dengan badan berisi. Riasan naturalnya begitu sempurna dipadu dengan dress panjang semata kaki yang tampak casual. Tidak ada kesan centil sama sekali, seperti yang Riana pikirkan.Dalam bayangan Riana, Karisma adalah wanita muda yang centil dengan dandanan cetar ala-ala pelakor di drama yang sering dia tonton. Ternyata perempuan yang diakui sebagai selingkuhan Papa ini terlihat kalem dan dewasa. Apakah ini yang dinamakan air tenang menghanyutkan? “Saya Karisma, panggil saja Karis,” katanya lagi seraya mengulurkan tangan. “Boleh saya duduk?”“Oh, iya iya, silakan,” jawab Riana tergagap-gagap.Perempuan bernama Karis itu menggeser kursi dan duduk dengan anggun. Jari jemarinya bergerak berirama untuk merapikan rambutnya. Mata Riana sempat menyipit ketika cincin cantik di salah satu jari Karisma terkena paparan cahaya. Begitu berkilau cemerlang. Mungkin itu cincin berlian asli.“Sebelum memulai pe
“Loh, kok Mas ada di rumah?” Riana terkejut bukan main saat melihat Jagat tengah makan siang sendiri. Bagaimana bisa lelakinya secepat itu sudah berada di rumah? Jika Jagat mengantar Karisma ke suatu tempat, seharusnya Riana yang sampai terlebih dulu. Mengingat jalanan pada jam segini lumayan padat, apalagi mengendarai mobil. “Kamu udah makan, Dek? Eh, iya kamu abis ketemuan di resto ya pastilah udah makan,” seloroh Jagat dengan suara tanpa beban. Tidak menjawab pertanyaan istrinya. Riana memindai isi piring Jagat, mungkin tinggal satu atau dua suapan. Dengan porsi makan Jagat yang dia tahu betul, sudah pasti suaminya mulai makan sekitar sepuluh menit yang lalu. Rasanya mustahil …. “Apa ada sesuatu, Dek?” Jagat membuyarkan lamunan Riana, dia terlihat meletakkan sendok untuk menjeda makannya. Menatap Riana bulat-bulat. “Apa Karisma ngomong macam-macam sama kamu?” “Macam-macam gimana?” tukas Riana cepat. Mata perempuan itu segera memicing waspada saat melihat sang suami sedikit ter
“Jadi kamu ditanya juga sama Ibu?”“Iya, tapi aku jawab sesuai yang diajarkan Bu Widya aja. Cari aman lah, Mak.” Riana mendengar suara Mak Wati dan Sus Dian. Kaki perempuan dua puluh enam tahun itu spontan berhenti melangkah. Niatnya untuk pergi ke kamar Anin, dia urungkan. Riana ingin mendengar pembicaraan mereka lebih lanjut. Sebutan ‘Ibu’ sudah pasti ditujukan kepada dirinya. Yang membuat dia lebih tertarik adalah jawaban dari Sus Dian. Memangnya Mama mengajarkan apa kepada pengasuh Anin itu?“Suruh jawab mirip putihnya doang ya?” tebak Mak Wati.Sus Dian tertawa. “Iya. Mak juga disuruh gitu?”Riana hanya mendengar derai Mak Wati. Mungkin di balik tembok ini Mak Wati sedang mengangguk. Hati Riana mencelos, bukankah suaminya juga berucap yang sama? “Mirip dari mananya coba? Putihnya mungkin iya,” batin Riana melagukan ucapan Jagat tadi.“Kasihan Ibu, dia baru dengar dari satu orang aja udah kebakaran jenggot. Padahal kalau pas aku yang ajak Anin keluar, semua orang kompleks selal
“Gimana menurut kamu, Dek?” Jagat memandang istrinya dengan mata berbinar. Seolah dia baru saja menemukan bongkahan berlian. Riana mengangguk ringan. Bibirnya melebar, membuat senyum seluas mungkin. “Wah kapan, Mas? Aku jadi enggak sabar. Hitung-hitung bulan madu kedua ya!” ujarnya berseru. Terdengar terlalu antusias. Jagat tertawa. “Sabar, Dek, aku perlu mengajukan cuti dulu. Kamu kan tau proses cuti di kantorku lumayan ribet. Paling cepat tiga minggu ke depan, kecuali kalau kita pergi ke tempat dekat aja, misal Jogja atau Dieng? Kita bisa pergi jumat sore, dan pulang minggu siang.” “Tapi aku pengennya ke Lombok atau Labuan Bajo, boleh ya?” Mata Riana membesar, lagi-lagi menunjukkan ekspresi antusias yang begitu tinggi. Meskipun jauh di dalam hatinya dia ingin muntah mendengar suaranya sendiri. Semoga Jagat tidak dapat mendeteksi kebohongannya. “Boleh, boleh … tempatnya kamu yang tentuin, tapi ya itu sabar ya. Duh, aku kebelet pipis,” ujar Jagat seraya berdiri, lalu berlari menuj
“Dek?” Jagat membulatkan mata. Riana meringis tipis. Dia tahu, pasti suaminya kaget sekaligus senang. Reaksi yang sama baru saja ditunjukkan oleh Sus Dian. Sedari subuh Anin menangis, dan sepertinya profesionalitas dan pengalaman Sus Dian tidak banyak menolong. Riana mencuri dengar ketika Mak Wati menceplos ,”Anin pasti kangen sama mamanya, bayi mana ngerti kan kalau Bu Riana bukan mama kandungnya. Orang dari melek Anin ngertinya mama dia adalah Ibu Riana.” Hati perempuan ramping itu bergetar. Langsung mengucap istigfar sebanyak yang dia bisa. Apa pun yang terjadi, seharusnya dia tidak boleh begini kepada Anin. Bayi suci ini hanya korban ketidakwarasan orang-orang dewasa. Akhirnya Riana mendekat dan Anin langsung riang ketika berpindah tangan dari Sus Dian kepada dirinya. “Anin seneng ya digendong Mama? Berarti kita sama, Nin,” Jagat menyeringai sambil mendekat. “Papa juga seneng digendong Mama.” Riana mencubit perut Jagat dengan samar, dan lelaki itu tergelak. Tanpa malu, Jagat
“Pak Rusli,” desah Riana. Dia langsung setuju dengan Abang sangar bahwa dirinya telah dibuntuti. Memangnya mau apa asisten rumah tangganya di depan mini market dengan leher menjulur ke sana ke mari, kalau tidak sedang mencari tahu keberadaan dirinya?Riana tersenyum lega, setidaknya dia belum sampai ke rumah sakit. “Terima kasih ya, Bang,” kata Riana kepada si Abang yang ternyata tukang parkir di situ. “Sebaiknya Ibu hati-hati, keluarnya nanti aja setelah orang itu pergi,” kata pramuniaga. “Semoga Bang Herman bisa mengusirnya.”Mata mereka berdua menyaksikan Bang Sangar, eh namanya Bang Herman, mendekati Pak Rusli. Entah apa yang mereka bicarakan, terlihat Pak Rusli mengeluarkan sebungkus rokok. Tangan Bang Herman mengulur santai menerima, dan cus … rokok menyala di sela bibir lelaki bertato itu.“Menurut saya, Ibu telpon suami atau saudara Ibu saja, supaya mereka jemput di sini,” ucap pramuniaga lagi. “Oh, iya.” Riana berbinar, bagi telinganya ide itu sungguh cemerlang. Dia mengel
“Nah gitu, paham kan?” Maya mengulur napas lega, setelah panjang lebar menjelaskan langkah-langkah cara memeriksa aplikasi perpesanan. Sahabat Riana sejak kuliah itu pernah menyadap telepon genggam milik mantan suaminya untuk mendapatkan bukti bahwa ayah dari anaknya itu memang punya perempuan lain. “Kalau ternyata benar disadap, kamu kirim pesan ke nomor ini, tapi kalau aman ke nomorku yang biasa. Nanti kita baru cerita, aku penasaran apa yang terjadi sama kamu. Pokoknya kamu harus cerita detail dan lengkap ya, Ri.”Telepon ditutup.Tangan Riana bergetaran seperti melihat hantu paling menyeramkan sedunia. Bulu kuduknya memang tidak meremang, tetapi tengkuknya sudah basah keringat. Ada yang bergolak dalam perutnya, semacam rasa sakit yang merangsang area tenggorokannya menjadi tidak nyaman.Ah … dada yang tadi terasa terhimpit tiba-tiba menjadi lega. Ternyata Jagat tidak menyadap teleponnya. Atau jangan-jangan karena belum sempat? Perut Riana bergolak kembali. (Aman, May.)Segera te
(Done, Ri. Kata pihak rumah sakit kurang lebih makan waktu tiga minggu, semoga bisa lebih cepat ya biar kita segera tau siapa ayah bayi itu yang sebenarnya).Riana membaca pesan dari Maya. Sebelum membalas, dia menoleh pada Anin yang berada dalam gendongan Sus Dian, mengajak bayi cantik itu bercanda sebentar. Meskipun di luar terlihat biasa, namun sesungguhnya batin Riana sedang dag dig dug. Layar laptop di depan Riana terbuka. Sekilas memang menyajikan tulisan-tulisan biasa. Namun di sela-sela tulisan dalam dokumen yang dia bagi secara online dengan Maya itu, mereka sedang saling mengirim pesan.Memakai google doc untuk bicara. Ah, ini ide yang cukup brilian yang melintas di kepala Riana sesaat sebelum berpisah dengan Maya di warung bakso tadi. Sejak berada di rumah ini, Riana jarang sekali berkutat dengan telepon genggam. Pasti akan sangat mencolok jika Riana tiba-tiba terlihat berlama-lama di layar telepon. Riana yakin, ketiga pekerja di rumahnya pasti tidak menyangka jika sesun