(Done, Ri. Kata pihak rumah sakit kurang lebih makan waktu tiga minggu, semoga bisa lebih cepat ya biar kita segera tau siapa ayah bayi itu yang sebenarnya).Riana membaca pesan dari Maya. Sebelum membalas, dia menoleh pada Anin yang berada dalam gendongan Sus Dian, mengajak bayi cantik itu bercanda sebentar. Meskipun di luar terlihat biasa, namun sesungguhnya batin Riana sedang dag dig dug. Layar laptop di depan Riana terbuka. Sekilas memang menyajikan tulisan-tulisan biasa. Namun di sela-sela tulisan dalam dokumen yang dia bagi secara online dengan Maya itu, mereka sedang saling mengirim pesan.Memakai google doc untuk bicara. Ah, ini ide yang cukup brilian yang melintas di kepala Riana sesaat sebelum berpisah dengan Maya di warung bakso tadi. Sejak berada di rumah ini, Riana jarang sekali berkutat dengan telepon genggam. Pasti akan sangat mencolok jika Riana tiba-tiba terlihat berlama-lama di layar telepon. Riana yakin, ketiga pekerja di rumahnya pasti tidak menyangka jika sesun
“Jangan!”Riana berteriak dalam tidur. Lengkingannya lebih kuat dari sebelumnya. Jagat gegas bangkit, sedikit sempoyongan berjalan ke sisi kanan, mendapatkan wajah Riana.“Dek, Dek.” Jagat mengguncang halus tubuh istrinya. Setelah lenguhan panjang, Riana membuka mata. Mengerjap kebingungan, dadanya naik turun seiring napasnya yang keluar masuk dengan kecepatan tinggi.“Mas,” Riana mendesah kalut. Tangannya mengulur dan sampai ke pundak Jagat. Sedetik kemudian mereka sudah saling berpelukan.“Kamu mimpi buruk?” tanya Jagat. Dielusnya kepala Riana dengan sayang, dia bisa merasakan napas Riana makin lama makin teratur.Hanya kepala perempuan itu yang terangguk menyentuh bahu Jagat sebagai responnya. Dalam beberapa detik seolah mereka membatu, tetap dalam posisi yang sama. “Aku mimpi rumah, Mas. Mimpi Ibu,” bisik Riana sembari mengurai pelukan. “Aku mau telpon Ibu sekarang, mimpinya bener-bener nyata, aku takut.”“Sst … tenanglah dulu, Dek. Masih larut malam, kasihan kalau Ibu terganggu
“Apa sih, Ri? Kok bengong gitu?” Ibu mengulum senyum. Masih berbalas lirikan mata dengan Jagat.“Wah sejak kapan rumah kita jadi bagus gini, Bu? Ibu enggak pernah cerita,” komentar Riana. Pikirannya langsung menuju kepada kelakuan Papa. Inikah yang menyebabkan Ibu dan Bapak begitu gigih memaksa dirinya menerima Anin?“Ayo toh, masuklah! Mau sampai kapan di situ?” Bapak dari arah dalam berteriak. Senyumnya lebih mengembang daripada milik Ibu.Selang beberapa detik, seorang bocah beranjak remaja berlari dari arah belakang Bapak.“Mbak Ri, mana adeknya? Mau liat adek lagi!” Fena, adik bungsunya yang berumur dua belas tahun celingak celinguk mencari keberadaan Anin. Ketika melihat Jagat yang sedang membawa baby seat car, dia berlari menuju mobil.“Dek, bantuin ini, lupa ya kalau sekarang ada Anin?” cetus Jagat yang disambut tawa renyah oleh seluruh keluarga Riana.Satu dua tetangga Riana yang kebetulan lewat menyapa sambil berkomentar tentang mobil. Keramahan ciri khas warga kampung di si
“Fen, kalau Mbak nganter kamu ke sekolah bareng Anin, kamu malu enggak?” Riana mulai melancarkan aksinya. Dia sudah bangun pagi hari dan bersiap, semoga rencananya lancar tanpa kendala.“Dianter naik mobil? Lah sekolah aku kan deket banget Mbak, jalan kaki aja sepuluh menit,” sahut Fena mengernyit.Riana tertawa. “Maksudnya jalan kaki bareng, Mbak pengen sekalian jalan-jalan.”“Ya ayuk! Kenapa malu, kan jalan sama Mbak-nya sendiri.”“Soalnya kalau ketemu temenmu, Mbak akan bilang kalau kamu sekarang udah jadi tante, Tante Fena.” Riana berderai. Terlebih melihat ekspresi wajah adiknya yang menjadi sedikit kesal.“Anin panggil aku ‘Mbak’ aja kenapa sih?” protesnya mengerucutkan bibir.“Ya enggak bisa, dia kan anak Mbak Riana ya berarti kamu tantenya.” Agung ikut ambil suara. “Tante-tante kok masih SD.”“Hei, kamu juga Om kan?”“Aku kan udah SMP.”“Udah, enggak papa Tante Fena, nanti sama Anin dikasih uang jajan yang banyak.”Fena seketika bersorak suka cita. Dia menjulurkan lidah kepada
“Ini, Ri.” Ibu mengulurkan sebuah amplop coklat. “Ini adalah tes DNA Anin, Jagat dan Pak Sulis. Di situ sudah terbukti semua, bahwa prosentasi kemiripan Jagat dan Anin hanya tujuh puluh empat koma. Kalau yang punya Pak Sulis itu sembilan puluh sembilan persen. Kata dokternya kemiripan Jagat dipicu karena dia satu ayah sama Anin.”Riana terlolong. Kenapa ibunya yang orang kampung ini tiba-tiba begitu lancar menjelaskan soal tes DNA? Sejenak perempuan itu membaca kertas yang sesungguhnya dia tidak paham sepenuhnya. Tanggal pengambilan tes dan hasil tes, tertera sekitar dua bulan yang lalu. “Berarti tes dilakukan setelah Anin lahir?” tanya Riana lirih. Saat Ibu mengangguk Riana melenguh. “Jadi Ibu sudah percaya sebelum ada tes ini? Jangan-jangan ini rekayasa.”“Rekayasa gimana? Itu tes asli, Ibu sama Bapak yang milih rumah sakitnya. Sebelum tes, Ibu minta semua disumpah di atas al quran, termasuk dokternya. Biar pun Ibu diketawain, enggak apa-apa … demi kamu. Ibu juga enggak mau anak Ib
“Loh, Dek. Dek, tunggu!” Jagat terpaksa mematikan mesin mobilnya, mengunci dan tergesa menyusul Riana yang berjalan cepat ke arah gerbang.“Udah sana, Mas. Susul Anin yang begitu berharga untuk keluargamu. Aku bisa pulang sendiri, kalau perlu aku balik lagi ke kampung,” ujar Riana seraya menepis saat tangan suaminya hendak menjamah pundaknya.“Dek, malu … banyak yang liatin kita loh. Kalau kamu mau pulang, ayo … aku juga mau pulang.”Riana berhenti melangkah. Kini suami istri itu berhadapan, mata mereka terlihat saling memancarkan luka.“Yuk kita pulang.” Tangan Jagat terulur lagi. Namun Riana mundur selangkah.“Anak kandungmu lagi di rumah sakit, mungkin sebentar lagi Karisma juga datang, kesempatan untuk ketemu sama selingkuhanmu jadi terbuka. Udah sana, pergi aja Mas!” jeritnya tertahan.Perempuan itu sudah tidak dapat lagi membendung emosi yang tiba-tiba berg
“Gila! Berarti bapak dan ibumu terlibat, Ri?” Maya menjerit di ujung telepon.Riana sudah tidak peduli, apakah di kamarnya ada cctv, apakah nanti Jagat tiba-tiba masuk … dia benar-benar butuh seseorang untuk menumpahkan semua sesak yang mengisi dada.“Ya begitulah. Tapi kurasa tugas mereka hanya ikut memaksa aku menerima Anin.”Setelah menjerit, kini Maya tergelak. “Pinter juga sih ibumu, Ri. Anaknya dapat, dirinya sendiri juga dapat. Aku jadi pengen main ke rumahmu, Ri. Pengen liat semewah apa rumahmu sekarang, meskipun dari luar gerbang perumahanmu juga bisa ditebak kira-kiranya.”“Jangan dulu, aku enggak ingin suamiku tau kalau kita berhubungan intens, setidaknya sampai hasil tes DNA keluar.”“Oke.” Nada kecewa terdengar di telinga Riana. “Pastiin itu rumahmu beneran loh, Ri, jangan cuma dipinjemin hihihi. Udah pernah liat sertifikatnya belum?”“Eh, aku e
“Enggak, Pa, maaf … untuk yang satu ini aku enggak setuju.” Suara Jagat tegas menentang rencana kedua orang tuanya.“Tapi ini untuk kebaikan kita bersama, Papa curiga istrimu berhubungan sama istri Mas-mu. Bisa gawat kalau—““Enggak, Pa!” Jagat berseru. Sejenak dua lelaki itu saling diam. Inilah pertama kalinya Jagat berani memotong pembicaraan ayah kandungnya, memakai nada setengah membentak pula.Suami dari Riana itu merasakan jantung dalam dadanya tiba-tiba bergetaran. “Ma-maaf kalau aku lancang. Aku pikir rencana Papa yang satu ini sudah sangat keterlaluan, apakah tidak cukup memata-matai Riana terus menerus? Dan nyatanya selama ini istriku lurus-lurus aja kan?”Papa menghela napas di ujung telepon.“Kurasa tidak ada seorang pun istri di dunia ini, yang melalui hari-harinya dengan mudah setelah menerima bayi orang lain yang punya wajah mirip dengan wajah suaminya sendiri. Semua orang berubah dalam keadaan tertekan, dan tekanan melatih manusia menjadi lebih kuat. Aku pikir itu yan