“Mbak Riana?”
Riana menoleh. Mata bundarnya melihat sesosok perempuan cantik berkulit putih dengan badan berisi. Riasan naturalnya begitu sempurna dipadu dengan dress panjang semata kaki yang tampak casual. Tidak ada kesan centil sama sekali, seperti yang Riana pikirkan.
Dalam bayangan Riana, Karisma adalah wanita muda yang centil dengan dandanan cetar ala-ala pelakor di drama yang sering dia tonton. Ternyata perempuan yang diakui sebagai selingkuhan Papa ini terlihat kalem dan dewasa. Apakah ini yang dinamakan air tenang menghanyutkan?
“Saya Karisma, panggil saja Karis,” katanya lagi seraya mengulurkan tangan. “Boleh saya duduk?”
“Oh, iya iya, silakan,” jawab Riana tergagap-gagap.
Perempuan bernama Karis itu menggeser kursi dan duduk dengan anggun. Jari jemarinya bergerak berirama untuk merapikan rambutnya. Mata Riana sempat menyipit ketika cincin cantik di salah satu jari Karisma terkena paparan cahaya. Begitu berkilau cemerlang. Mungkin itu cincin berlian asli.
“Sebelum memulai pembicaraan, saya ingin mengucapkan terima kasih sama Mbak Riana yang sudah bersedia merawat Anin sementara. Saya perlu meyakinkan keluarga saya dulu sebelum membawa Anin pulang. Karena itu saya mau Anin diasuh oleh salah satu anak Bapak, maksud saya Pak Sulis, sebab saya ingin memastikan Anin baik-baik saja sampai saya ambil kembali. Selain itu saya juga ingin memberi sedikit pelajaran pada dosen favorit saya itu.” Karisma mengakhiri ucapannya yang panjang dan lebar dengan tertawa hambar.
Riana tersenyum. Sepanjang Karisma bicara, dia melihat gestur tubuh yang begitu dewasa. Terlalu dewasa untuk ukuran seorang mahasiswi, termasuk wajahnya. Apakah karena pengaruh dia baru saja melahirkan?
“Mbak—“
“Panggil Karis saja, Mbak,” potong Karis seraya menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada.
Riana mengangguk. “Karis, apakah saya boleh melihat KTP atau kartu mahasiswa kamu?”
Mata Karisma membulat besar. “Untuk?”
“Mohon maaf, saya belum pernah bertemu kamu, dan jujur saja, saya ingin bertemu kamu karena saya meragukan cerita keluarga suami saya. Mungkin Papa mertua saya sudah menginfokan sesuatu?” Riana mencondongkan badannya ke arah Karisma.
Karisma tertawa. “Oh iya, Mbak curiga jika Anin adalah anak saya dengan Mas Jagat? Bukan, Mbak, saya tegaskan Anin bukan anak kandung Mas Jagat, saya berani bersumpah demi apa pun yang Mbak mau. Saya baru sekali ketemu suami Mbak di rumah sakit, waktu dia menemani Bapak mengambil Anin.”
Karisma kini tersenyum, tangannya keluar dari dalam tas. “Ini kartu mahasiswa saya, dan ini KTP saya.”
Riana gegas menerima. Nawangsari Karisma Dewi, umur dua puluh satu tahun. Foto yang ada sama persis dengan wajah di depan Riana. Bedanya yang asli sekarang lebih chubby. Data yang ada di KTP pun serupa dengan yang tertera dalam kartu mahasiswa. Ada nama perguruan tinggi di mana Papa aktif mengajar di sebelah atas.
“Sekarang Mbak perlu informasi apa lagi?” tanya Karisma seraya menerima kartu-kartunya kembali.
“Kenapa kamu tega membuang anakmu sendiri?”
Karisma menahan napas mendengar pertanyaan Riana. Namun dia tidak segera menjawab.
“Seharusnya kamu perbaiki apa yang sudah salah. Apalagi anak kamu cantik,” sambung Riana, ketika dia melihat Karisma belum juga merespon.
“Mbak, saya tidak membuang Anin. Saya nitip sebentar untuk memberi efek jera kepada Bapak … dan maaf, kalau Mbak Riana yang jadi korban. Tapi saya dengar Mbak dapat banyak hadiah dan kemewahan setelah mengasuh anak saya kan?”
Riana menarik bibirnya. Dia tidak suka ucapan Karis yang satu ini. Seakan-akan dia menuduh dirinya telah memanfaatkan situasi untuk memeras keluarga mertuanya.
“Saya tidak minta, kalau boleh menolak saya juga akan menolak, saya bukan perempuan tipe pemburu harta!” tukas Riana sengit. Sekaligus menyindir wanita di hadapannya ini.
Wajah Karisma memerah. “Ma-maaf, Mbak Riana, saya tidak bermaksud seperti itu, mohon maafkan kelancangan saya.”
Riana terdiam. Karisma terlihat salah tingkah.
“Jadi sebenarnya apa rencana kamu sehingga berbuat seperti ini?” tanya Riana memecah keheningan yang sejenak tercipta beberapa menit.
“Maaf, saya tidak mau membicarakan soal itu.” Nada suara Karisma kembali angkuh seperti di awal tadi. “Memang ada perjanjian saya dengan Bapak, dan biarlah itu menjadi pembicaraan kami saja. Yang jelas saya berani bersumpah bahwa Mas Jagat bukan bapak kandung Anin. Bayi saya adalah hasil khilaf saya dengan Bapak.”
Riana menyeringai samar. Alasan paling gampang untuk membenarkan perbuatan salah adalah dengan mengaku khilaf. “Oh, hampir saja lupa. Tujuanku ketemu Karis karena ingin melihat seberapa mirip Anin dengan Karisma,” seru Riana dalam hatinya.
“Apakah kamu enggak ingin pesan sesuatu, Karis? Masa saya minum sendirian.” Riana melempar tanya, sedang indera penglihatanya dia kerahkan untuk memindai wajah Karisma. Bentuk mata Anin serupa dengan mata yang sedang dia tatap.
“Terima kasih, Mbak Riana, tapi kalau sudah tidak ada lagi yang ingin Mbak tanyakan, saya pamit,” sahut Karisma. Dia tersenyum, memperlihatkan deretan giginya.
Mendadak hati Riana bergetar, baru dia sadari Karisma mempunyai senyum serupa dengan senyum suaminya. Mungkin itulah kenapa Anin mirip dengan Jagat.
“Mbak ….”
“Eh, iya.” Riana tergeragap.
“Apakah saya boleh pergi sekarang? Atau saya perlu bersumpah di depan Mbak? Atau bagaimana yang Mbak inginkan?”
Riana terpaku. Entah mengapa, dia merasa kalimat Karisma mengandung ejekan yang ditujukan kepada dirinya.
“Makasih ya, Karis, sudah bersedia ketemu saya.”
Karisma berderai ringan. Setelah bersalaman dan mengucap salam, perempuan bertubuh berisi itu pergi.
Riana menghembuskan napas dengan kasar. Hatinya berseru mengucap syukur. Sesungguhnya selama pembicaraan tadi, dirinya menahan gemetaran yang muncul. Puji syukur bahwa dia tidak tergagap-gagap dalam bicara.
Riana membayar minuman yang dia pesan, kemudian bergegas pulang. Namun saat keluar dari gerbang restoran tiba-tiba dia ingin makan asinan buah. Perempuan itu pun berbelok, menuju arah berlawanan dari jalan rumahnya.
Pada jalan yang lumayan padat, dia melihat Karisma turun dari sebuah mobil dan berjalan tergesa menuju mobil lain. Matanya membulat ketika melihat Karisma membuka pintu mobil dan masuk ke dalamnya.
Sebuah mobil yang begitu familiar di mata Riana, bahkan dia hafal nomor polisinya. Itu mobil Jagat.
“Loh, kok Mas ada di rumah?” Riana terkejut bukan main saat melihat Jagat tengah makan siang sendiri. Bagaimana bisa lelakinya secepat itu sudah berada di rumah? Jika Jagat mengantar Karisma ke suatu tempat, seharusnya Riana yang sampai terlebih dulu. Mengingat jalanan pada jam segini lumayan padat, apalagi mengendarai mobil. “Kamu udah makan, Dek? Eh, iya kamu abis ketemuan di resto ya pastilah udah makan,” seloroh Jagat dengan suara tanpa beban. Tidak menjawab pertanyaan istrinya. Riana memindai isi piring Jagat, mungkin tinggal satu atau dua suapan. Dengan porsi makan Jagat yang dia tahu betul, sudah pasti suaminya mulai makan sekitar sepuluh menit yang lalu. Rasanya mustahil …. “Apa ada sesuatu, Dek?” Jagat membuyarkan lamunan Riana, dia terlihat meletakkan sendok untuk menjeda makannya. Menatap Riana bulat-bulat. “Apa Karisma ngomong macam-macam sama kamu?” “Macam-macam gimana?” tukas Riana cepat. Mata perempuan itu segera memicing waspada saat melihat sang suami sedikit ter
“Jadi kamu ditanya juga sama Ibu?”“Iya, tapi aku jawab sesuai yang diajarkan Bu Widya aja. Cari aman lah, Mak.” Riana mendengar suara Mak Wati dan Sus Dian. Kaki perempuan dua puluh enam tahun itu spontan berhenti melangkah. Niatnya untuk pergi ke kamar Anin, dia urungkan. Riana ingin mendengar pembicaraan mereka lebih lanjut. Sebutan ‘Ibu’ sudah pasti ditujukan kepada dirinya. Yang membuat dia lebih tertarik adalah jawaban dari Sus Dian. Memangnya Mama mengajarkan apa kepada pengasuh Anin itu?“Suruh jawab mirip putihnya doang ya?” tebak Mak Wati.Sus Dian tertawa. “Iya. Mak juga disuruh gitu?”Riana hanya mendengar derai Mak Wati. Mungkin di balik tembok ini Mak Wati sedang mengangguk. Hati Riana mencelos, bukankah suaminya juga berucap yang sama? “Mirip dari mananya coba? Putihnya mungkin iya,” batin Riana melagukan ucapan Jagat tadi.“Kasihan Ibu, dia baru dengar dari satu orang aja udah kebakaran jenggot. Padahal kalau pas aku yang ajak Anin keluar, semua orang kompleks selal
“Gimana menurut kamu, Dek?” Jagat memandang istrinya dengan mata berbinar. Seolah dia baru saja menemukan bongkahan berlian. Riana mengangguk ringan. Bibirnya melebar, membuat senyum seluas mungkin. “Wah kapan, Mas? Aku jadi enggak sabar. Hitung-hitung bulan madu kedua ya!” ujarnya berseru. Terdengar terlalu antusias. Jagat tertawa. “Sabar, Dek, aku perlu mengajukan cuti dulu. Kamu kan tau proses cuti di kantorku lumayan ribet. Paling cepat tiga minggu ke depan, kecuali kalau kita pergi ke tempat dekat aja, misal Jogja atau Dieng? Kita bisa pergi jumat sore, dan pulang minggu siang.” “Tapi aku pengennya ke Lombok atau Labuan Bajo, boleh ya?” Mata Riana membesar, lagi-lagi menunjukkan ekspresi antusias yang begitu tinggi. Meskipun jauh di dalam hatinya dia ingin muntah mendengar suaranya sendiri. Semoga Jagat tidak dapat mendeteksi kebohongannya. “Boleh, boleh … tempatnya kamu yang tentuin, tapi ya itu sabar ya. Duh, aku kebelet pipis,” ujar Jagat seraya berdiri, lalu berlari menuj
“Dek?” Jagat membulatkan mata. Riana meringis tipis. Dia tahu, pasti suaminya kaget sekaligus senang. Reaksi yang sama baru saja ditunjukkan oleh Sus Dian. Sedari subuh Anin menangis, dan sepertinya profesionalitas dan pengalaman Sus Dian tidak banyak menolong. Riana mencuri dengar ketika Mak Wati menceplos ,”Anin pasti kangen sama mamanya, bayi mana ngerti kan kalau Bu Riana bukan mama kandungnya. Orang dari melek Anin ngertinya mama dia adalah Ibu Riana.” Hati perempuan ramping itu bergetar. Langsung mengucap istigfar sebanyak yang dia bisa. Apa pun yang terjadi, seharusnya dia tidak boleh begini kepada Anin. Bayi suci ini hanya korban ketidakwarasan orang-orang dewasa. Akhirnya Riana mendekat dan Anin langsung riang ketika berpindah tangan dari Sus Dian kepada dirinya. “Anin seneng ya digendong Mama? Berarti kita sama, Nin,” Jagat menyeringai sambil mendekat. “Papa juga seneng digendong Mama.” Riana mencubit perut Jagat dengan samar, dan lelaki itu tergelak. Tanpa malu, Jagat
“Pak Rusli,” desah Riana. Dia langsung setuju dengan Abang sangar bahwa dirinya telah dibuntuti. Memangnya mau apa asisten rumah tangganya di depan mini market dengan leher menjulur ke sana ke mari, kalau tidak sedang mencari tahu keberadaan dirinya?Riana tersenyum lega, setidaknya dia belum sampai ke rumah sakit. “Terima kasih ya, Bang,” kata Riana kepada si Abang yang ternyata tukang parkir di situ. “Sebaiknya Ibu hati-hati, keluarnya nanti aja setelah orang itu pergi,” kata pramuniaga. “Semoga Bang Herman bisa mengusirnya.”Mata mereka berdua menyaksikan Bang Sangar, eh namanya Bang Herman, mendekati Pak Rusli. Entah apa yang mereka bicarakan, terlihat Pak Rusli mengeluarkan sebungkus rokok. Tangan Bang Herman mengulur santai menerima, dan cus … rokok menyala di sela bibir lelaki bertato itu.“Menurut saya, Ibu telpon suami atau saudara Ibu saja, supaya mereka jemput di sini,” ucap pramuniaga lagi. “Oh, iya.” Riana berbinar, bagi telinganya ide itu sungguh cemerlang. Dia mengel
“Nah gitu, paham kan?” Maya mengulur napas lega, setelah panjang lebar menjelaskan langkah-langkah cara memeriksa aplikasi perpesanan. Sahabat Riana sejak kuliah itu pernah menyadap telepon genggam milik mantan suaminya untuk mendapatkan bukti bahwa ayah dari anaknya itu memang punya perempuan lain. “Kalau ternyata benar disadap, kamu kirim pesan ke nomor ini, tapi kalau aman ke nomorku yang biasa. Nanti kita baru cerita, aku penasaran apa yang terjadi sama kamu. Pokoknya kamu harus cerita detail dan lengkap ya, Ri.”Telepon ditutup.Tangan Riana bergetaran seperti melihat hantu paling menyeramkan sedunia. Bulu kuduknya memang tidak meremang, tetapi tengkuknya sudah basah keringat. Ada yang bergolak dalam perutnya, semacam rasa sakit yang merangsang area tenggorokannya menjadi tidak nyaman.Ah … dada yang tadi terasa terhimpit tiba-tiba menjadi lega. Ternyata Jagat tidak menyadap teleponnya. Atau jangan-jangan karena belum sempat? Perut Riana bergolak kembali. (Aman, May.)Segera te
(Done, Ri. Kata pihak rumah sakit kurang lebih makan waktu tiga minggu, semoga bisa lebih cepat ya biar kita segera tau siapa ayah bayi itu yang sebenarnya).Riana membaca pesan dari Maya. Sebelum membalas, dia menoleh pada Anin yang berada dalam gendongan Sus Dian, mengajak bayi cantik itu bercanda sebentar. Meskipun di luar terlihat biasa, namun sesungguhnya batin Riana sedang dag dig dug. Layar laptop di depan Riana terbuka. Sekilas memang menyajikan tulisan-tulisan biasa. Namun di sela-sela tulisan dalam dokumen yang dia bagi secara online dengan Maya itu, mereka sedang saling mengirim pesan.Memakai google doc untuk bicara. Ah, ini ide yang cukup brilian yang melintas di kepala Riana sesaat sebelum berpisah dengan Maya di warung bakso tadi. Sejak berada di rumah ini, Riana jarang sekali berkutat dengan telepon genggam. Pasti akan sangat mencolok jika Riana tiba-tiba terlihat berlama-lama di layar telepon. Riana yakin, ketiga pekerja di rumahnya pasti tidak menyangka jika sesun
“Jangan!”Riana berteriak dalam tidur. Lengkingannya lebih kuat dari sebelumnya. Jagat gegas bangkit, sedikit sempoyongan berjalan ke sisi kanan, mendapatkan wajah Riana.“Dek, Dek.” Jagat mengguncang halus tubuh istrinya. Setelah lenguhan panjang, Riana membuka mata. Mengerjap kebingungan, dadanya naik turun seiring napasnya yang keluar masuk dengan kecepatan tinggi.“Mas,” Riana mendesah kalut. Tangannya mengulur dan sampai ke pundak Jagat. Sedetik kemudian mereka sudah saling berpelukan.“Kamu mimpi buruk?” tanya Jagat. Dielusnya kepala Riana dengan sayang, dia bisa merasakan napas Riana makin lama makin teratur.Hanya kepala perempuan itu yang terangguk menyentuh bahu Jagat sebagai responnya. Dalam beberapa detik seolah mereka membatu, tetap dalam posisi yang sama. “Aku mimpi rumah, Mas. Mimpi Ibu,” bisik Riana sembari mengurai pelukan. “Aku mau telpon Ibu sekarang, mimpinya bener-bener nyata, aku takut.”“Sst … tenanglah dulu, Dek. Masih larut malam, kasihan kalau Ibu terganggu