“Aku telah membuat Naren babak belur hari itu,” tutur Jagat.“Hah? Apa?”Semua yang ada di situ terkesiap kaget.“Ya, begitulah karena ….” Jagat menggigit bibirnya sendiri.Bayangan itu terpapar jelas di ingatan Jagat. Kilas balik bagaimana dia melayangkan tinjunya pada Naren, yang bahkan terus dia lakukan meski Naren sudah terjatuh. Jagat menghajar Naren tanpa ampun.“Jadi kamu sebenarnya dipecat karena perkelahian itu?” tanya Vivi. Hampir tidak percaya, sebab yang dia tahu Jagat adalah lelaki penakut. Nyalinya sangat kecil.Jagat mengangguk samar. “Dan sebenarnya aku telah dilaporkan ke polisi oleh kantor, tapi Damar membebaskan aku.”“Maksudnya Mas pernah di penjara? Kapan?” pekik Riana.“Iya, Dek. Aku sempat masuk sel, hanya sekitar dua jam, pada keesokan harinya,” kata Jagat lagi, suaranya lirih dan sedikit bergetar.“Astaga.” Riana menutup wajahnya sendiri, meraup kasar kemudian menggeleng-gelengkan kepala.“Maaf, maafkan aku, Dek …. Saat itu aku benar-benar terbawa emosi. Sebab
“Riana cinta Jagat!” seru Riana dengan suara dikeraskan. Sedikit terasa menggema di ruangan.Jagat terbahak bahagia. Kemudian dia meraih tubuh Riana kembali. “Kamu sudah membuat jantungku melorot sesaat, Dek. Kupikir mau ngomong apa.”Riana tertawa. Semakin lama tawa perempuan itu menjadi desahan, saat dia merasa tangan Jagat mulai menari-nari di sekitar belakang telinga, leher dan terus turun ke dadanya.Malam itu, setelah sekian lama terhalang banyak drama, sepasang anak manusia kembali saling melenguh mendaki bukit madu pernikahan yang nikmat.Dua malam penuh Riana sengaja memanjakan Jagat, dan benar-benar membuat mereka berdua seperti terlahir kembali sebagai pasangan pengantin baru. Mereka tidak pergi ke mana-mana selain berada di dalam hotel itu. Memanjakan diri dengan sedikit kemewahan yang pernah sama-sama mereka khayalkan.“Enggak menyangka kehaluan kita dulu menjadi nyata ya, Dek,” ujar Jagat. Dia masih rebahan, tubuh telanjangnya ada di bawah selimut.“Benar kata Giring don
“Aku takut membuat Mas tersinggung. Uang itu aku dapat dari Kak Vivi setelah aku membantunya menghancurkan Mas Tyo,” kata Riana lirih. “Waktu itu a-aku enggak yakin Mas akan menerimanya.”“Nyatanya sekarang aku akan menjebloskan Mas Tyo ke dalam penjara lebih lama, kan?” ungkap Jagat, tidak kalah lirihnya.“Maaf, Mas.”Akhirnya hanya kata itu lagi yang keluar dari mulut Riana. Pada keyataannya dia memang bersalah. Selalu tidak punya waktu untuk sekedar memberitahu tentang uang yang dia miliki.“Doain Mas supaya cepat dapat kerjaan, biar bisa gantiin uang yang udah kepakai untuk keperluan Mas.”“Jangan gitu, Mas. Sekali lagi aku minta maaf, udah enggak jujur. Tapi uang ini milik kita, jadi memang akan kita pakai bersama.”Jagat menghembuskan napas. Dia memandang Riana, matanya sudah sedikit berembun. Lelaki itu mengerucutkan bibirnya sejenak, sebelum akhirnya kembali memalingkan wajah.“Ayo, kita ke Bu Mentari, alamatnya di mana?” ujar Jagat pada akhirnya. Kalimat yang akan dia lontark
“A-apakah semua sesi konsultasi kita nanti akan di laporkan kepada istri saya, Bu?” Samar sekali Jagat melontarkan pertanyaan.“Tentu saja tidak, Pak. Semua obrolan kita adalah rahasia kita berdua, Pak Jagat boleh percaya kepada saya.”“Ja-jadi saya boleh sedikit curhat ya?” Jagat meringis malu-malu.“Loh, kenapa sedikit? Curhat aja yang banyak.” Mentari terkekeh.Jagat hanya meringis. Menggaruk kepalanya yang tidak gatal.“Apa Pak Jagat merasa ada sesuatu yang berubah dengan Riana?”“Ya, begitulah.”Mentari tersenyum. “Rabu kita bicarakan lebih lanjut ya.”* * *Hari selasa pun datang. Itu berarti sidang pertama akan dimulai.“Bismillah ya, Mas. Aku doakan semoga semuanya lancar,” ucap Riana di telepon.Riana tidak bisa menghadiri sidang, sebab dia akan menjadi saksi, sehingga tidak diperkenankan hadir sebelum kesaksiannya diucapkan. Hari ini Reinald yang akan memberikan kesaksian terlebih dahulu.“Ya, aku pasti bisa. Sudah tidak ada jalan untuk kembali selain maju terus,” tuturnya
“Viona, jangan ….” bisik Reinald.Lelaki itu reflek menangkap tubuh Vivi. Dengan entengnya lengan Reinald yang kokoh mengangkat tubuh Vivi dan menggesernya ke pinggir. Reinald sendiri akhirnya maju untuk memberi batasan antara Vivi dan Tyo. Dia hanya bermaksud agar tidak pecah keributan. Bagaimana pun emosi Tyo bisa tidak stabil menghadapi tekanan sidang yang baru saja terjadi.Saat Reinald bermaksud bergeser, tidak sengaja pundaknya beradu dengan pundak Tyo.“Sorry,” ujar Reinald pendek. Melirik sekilas. Kemudian lelaki itu cepat menggandeng Vivi untuk berjaga-jaga jika perempuan berkulit putih ini sungguh-sungguh melayangkan tangannya kepada Tyo.Vivi terhenyak. Perempuan cantik itu hendak menepis tetapi ekor matanya menangkap pandangan Tyo yang ternyata masih mengikuti dirinya. Jadilah dia membiarkan tangan Reinald menggenggam tangannya. Seulas senyum palsu yang manis dia lempar dengan sengaja.Tyo pun melirik tajam. Menyorongkan matanya dengan pandangan penuh selidik ke arah Reina
“Loh, kok Pak Sulis bisa bicara begitu?” Baskoro bertanya sengit.“Sekarang gini aja, Pak Baskoro, jabarkan semua, sebenarnya untuk apa saja uang yang Bapak minta?” sahut Sulis tak kalah sengit.“Ya, sudah jelas untuk operasional—““Operasional apa? Kami sudah bayar Bapak mahal, lunas di muka, masa masih minta uang operasional juga? Seminggu bisa dua sampai tiga kali. Maksudnya uang operasional itu apa? Beli bensin? Beli kuota? Atau beli bolpoin? Atau apa?” teriak Sulis. Dia benar-benar kesal. Ubun-ubunnya terasa terbakar.“Damar yang pengacara ibu kota aja enggak segitu rakusnya minta duit!”“Eh, jangan pernah samakan saya dengan anak ingusan kemarin sore, Pak Sulis. Level saya jelas beda. Saya sudah menjadi pengacara saat si damar-damar itu masih belajar menghafal pancasila.”Sulis mencebik. Kalau bukan sedang berada di halaman kantor polisi, mungkin tinjunya sudah melayang kepada mulut manis yang berbisa itu.“Kalau memang Pak Sulis tidak mau dengan cara saya, ya sudah ….”“Sudah a
“Saya dengar perkebunan salak milik Anda, yang masih masuk wilayah kerja saya itu, akan dijual, Pak.” Mahardika langsung melancarkan pernyataan tanpa basa basi. Kata-kata ‘wilayah kerja saya’ benar-benar ditekankan dengan nada yang arogan.“I-iya, betul. Bapak tau dari mana ya?” Sulis menyahut keheranan.“Kok nanya? Jangan pura-pura tidak tahu kalau saya ada kekuasaan di wilayah situ.”Sulis menelan ludahnya hingga beberapa kali. Instingnya menangkap sesuatu yang kurang baik.“Saya bayar empat ratus, langsung cash. Besok menantu saya ke rumah Anda. Siapkan sertifikatnya, urusan balik nama dan administrasi lain itu urusan saya.”“Eh, ya … jangan begitu, Pak. Itu harga sangat rendah, mana boleh … bahkan itu tidak ada setengah harga yang saya tawarkan,” protes Sulis.Mahardika tertawa beberapa detik. “Saya sudah berbaik hati, tidak minta gratis. Di dalam perkebunan itu ada hak Anin juga kan? Anin itu cucu Anda juga loh. Lagi pula kalau perkebunan salak itu tidak boleh saya beli, saya pas
“Ngapain Anda ke sini? Tolong jangan ganggu istri saya, dia butuh ketenangan,” hardik Sulis galak.“Eh, santai Pak Sulis,” sahut Baskoro. Dia mengangkat kedua tangannya, senyum dia lempar selebar mungkin. Ciri khasnya jika sedang ada maunya kepada klien yang sedang dia tangani.“Kita bicara di luar saja, ayo silakan.” Sulis gegas mendekati sosok Baskoro yang belum sepenuhnya masuk ke dalam ruangan. Lelaki tambun itu masih berada di ambang pintu.“Enggak apa-apa, Pa. Mama juga pengen denger kok,” cegah Widya. “Biarkan Pak Baskoro bicara di sini saja.”“Ah, Bu Widya, semoga segera pulih ya, Bu. Untuk merayakan kemenangan bersama Mas Tyo dan kita—““Pak Baskoro mau minta uang berapa lagi?” tukas Widya.Dalam sekejap mata, hilanlah senyum Baskoro, berganti dengan wajah terkejut lengkap dengan alis yang terjungkit ke atas.Akan tetapi Baskoro bukanlah pengacara kemarin sore. Dalam sekejap dia sudah bisa kembali mencipta senyum, yang sama manisnya dengan yang tadi.“Astaga, tidak baik berbu