“A-apakah semua sesi konsultasi kita nanti akan di laporkan kepada istri saya, Bu?” Samar sekali Jagat melontarkan pertanyaan.“Tentu saja tidak, Pak. Semua obrolan kita adalah rahasia kita berdua, Pak Jagat boleh percaya kepada saya.”“Ja-jadi saya boleh sedikit curhat ya?” Jagat meringis malu-malu.“Loh, kenapa sedikit? Curhat aja yang banyak.” Mentari terkekeh.Jagat hanya meringis. Menggaruk kepalanya yang tidak gatal.“Apa Pak Jagat merasa ada sesuatu yang berubah dengan Riana?”“Ya, begitulah.”Mentari tersenyum. “Rabu kita bicarakan lebih lanjut ya.”* * *Hari selasa pun datang. Itu berarti sidang pertama akan dimulai.“Bismillah ya, Mas. Aku doakan semoga semuanya lancar,” ucap Riana di telepon.Riana tidak bisa menghadiri sidang, sebab dia akan menjadi saksi, sehingga tidak diperkenankan hadir sebelum kesaksiannya diucapkan. Hari ini Reinald yang akan memberikan kesaksian terlebih dahulu.“Ya, aku pasti bisa. Sudah tidak ada jalan untuk kembali selain maju terus,” tuturnya
“Viona, jangan ….” bisik Reinald.Lelaki itu reflek menangkap tubuh Vivi. Dengan entengnya lengan Reinald yang kokoh mengangkat tubuh Vivi dan menggesernya ke pinggir. Reinald sendiri akhirnya maju untuk memberi batasan antara Vivi dan Tyo. Dia hanya bermaksud agar tidak pecah keributan. Bagaimana pun emosi Tyo bisa tidak stabil menghadapi tekanan sidang yang baru saja terjadi.Saat Reinald bermaksud bergeser, tidak sengaja pundaknya beradu dengan pundak Tyo.“Sorry,” ujar Reinald pendek. Melirik sekilas. Kemudian lelaki itu cepat menggandeng Vivi untuk berjaga-jaga jika perempuan berkulit putih ini sungguh-sungguh melayangkan tangannya kepada Tyo.Vivi terhenyak. Perempuan cantik itu hendak menepis tetapi ekor matanya menangkap pandangan Tyo yang ternyata masih mengikuti dirinya. Jadilah dia membiarkan tangan Reinald menggenggam tangannya. Seulas senyum palsu yang manis dia lempar dengan sengaja.Tyo pun melirik tajam. Menyorongkan matanya dengan pandangan penuh selidik ke arah Reina
“Loh, kok Pak Sulis bisa bicara begitu?” Baskoro bertanya sengit.“Sekarang gini aja, Pak Baskoro, jabarkan semua, sebenarnya untuk apa saja uang yang Bapak minta?” sahut Sulis tak kalah sengit.“Ya, sudah jelas untuk operasional—““Operasional apa? Kami sudah bayar Bapak mahal, lunas di muka, masa masih minta uang operasional juga? Seminggu bisa dua sampai tiga kali. Maksudnya uang operasional itu apa? Beli bensin? Beli kuota? Atau beli bolpoin? Atau apa?” teriak Sulis. Dia benar-benar kesal. Ubun-ubunnya terasa terbakar.“Damar yang pengacara ibu kota aja enggak segitu rakusnya minta duit!”“Eh, jangan pernah samakan saya dengan anak ingusan kemarin sore, Pak Sulis. Level saya jelas beda. Saya sudah menjadi pengacara saat si damar-damar itu masih belajar menghafal pancasila.”Sulis mencebik. Kalau bukan sedang berada di halaman kantor polisi, mungkin tinjunya sudah melayang kepada mulut manis yang berbisa itu.“Kalau memang Pak Sulis tidak mau dengan cara saya, ya sudah ….”“Sudah a
“Saya dengar perkebunan salak milik Anda, yang masih masuk wilayah kerja saya itu, akan dijual, Pak.” Mahardika langsung melancarkan pernyataan tanpa basa basi. Kata-kata ‘wilayah kerja saya’ benar-benar ditekankan dengan nada yang arogan.“I-iya, betul. Bapak tau dari mana ya?” Sulis menyahut keheranan.“Kok nanya? Jangan pura-pura tidak tahu kalau saya ada kekuasaan di wilayah situ.”Sulis menelan ludahnya hingga beberapa kali. Instingnya menangkap sesuatu yang kurang baik.“Saya bayar empat ratus, langsung cash. Besok menantu saya ke rumah Anda. Siapkan sertifikatnya, urusan balik nama dan administrasi lain itu urusan saya.”“Eh, ya … jangan begitu, Pak. Itu harga sangat rendah, mana boleh … bahkan itu tidak ada setengah harga yang saya tawarkan,” protes Sulis.Mahardika tertawa beberapa detik. “Saya sudah berbaik hati, tidak minta gratis. Di dalam perkebunan itu ada hak Anin juga kan? Anin itu cucu Anda juga loh. Lagi pula kalau perkebunan salak itu tidak boleh saya beli, saya pas
“Ngapain Anda ke sini? Tolong jangan ganggu istri saya, dia butuh ketenangan,” hardik Sulis galak.“Eh, santai Pak Sulis,” sahut Baskoro. Dia mengangkat kedua tangannya, senyum dia lempar selebar mungkin. Ciri khasnya jika sedang ada maunya kepada klien yang sedang dia tangani.“Kita bicara di luar saja, ayo silakan.” Sulis gegas mendekati sosok Baskoro yang belum sepenuhnya masuk ke dalam ruangan. Lelaki tambun itu masih berada di ambang pintu.“Enggak apa-apa, Pa. Mama juga pengen denger kok,” cegah Widya. “Biarkan Pak Baskoro bicara di sini saja.”“Ah, Bu Widya, semoga segera pulih ya, Bu. Untuk merayakan kemenangan bersama Mas Tyo dan kita—““Pak Baskoro mau minta uang berapa lagi?” tukas Widya.Dalam sekejap mata, hilanlah senyum Baskoro, berganti dengan wajah terkejut lengkap dengan alis yang terjungkit ke atas.Akan tetapi Baskoro bukanlah pengacara kemarin sore. Dalam sekejap dia sudah bisa kembali mencipta senyum, yang sama manisnya dengan yang tadi.“Astaga, tidak baik berbu
“Saya Sulis, ayahnya Jagat eh—“Entah mengapa, Sulis menjadi terceplos menyebut nama anaknya yang nomor dua, bukan memperkenalkan diri sebagai ayah Tyo.Perempuan di hadapan Sulis itu seketika tersenyum, lalu membuka pintu rumahnya menjadi lebih lebar.“Oh, ayahnya Pak Jagat, saya pikir dari tim-nya Pak Baskoro. Mari silakan duduk, Pak. Suami saya sedang menjemput ibu saya di stasiun, mungkin sebentar lagi sampai.”Mendengar hal tersebut Sulis menjadi bengong.“Silakan masuk, Pak.”Sulis mengangguk ragu, namun kakinya tetap terayun ke dalam, lalu duduk di hadapan sang empunya rumah.“Bapak tenang saja, suami saya sudah membatalkan diri untuk menjadi saksi melawan Pak Jagat. Saya tahu persis Pak Jagat itu orang yang sangat baik. Suami saya banyak sekali mendapat pertolongan dari Pak Jagat. Pertikaian yang pernah terjadi antara suami saya dan Pak Jagat pasti hanya sebuah kesalahpahaman saja.”Kepala Sulis mengangguk. Antara sadar dan tidak.“Pak Baskoro itu memang sedikit … apa ya, yah
“Hah, serius, Mas?”Riana membulat tidak percaya.“Iya, Dek. Bu Reni baru saja mengabari aku,” jawab Jagat.“Syukurlah, aku lega, Mas.”“Ya, sama Dek. Aku kayaknya yang lebih lega.” Jagat tertawa beberapa detik. “Menurut kamu, kalau aku ke rumah Naren untuk minta maaf, gimana?”“Aku pikir, kejadian itu memang seratus persen kesalahan aku, Dek. Kalau aku di posisi Naren, mungkin reaksiku akan sama,” tambah Jagat, terdengar sangat antusias. Bahkan Riana belum sempat untuk menjawab pertanyaan yang dia ajukan terlebih dahulu.“Boleh, Mas. Mungkin kita undang Mbak Wulan sekalian untuk makan malam,” usul Riana seraya menyebut nama istri Naren.“Sip, nanti kita bicarkan lagi ya. Aku sebentar lagi berangkat ke rumah sakit.”“Oke, hati-hati ya, Mas. Salam untuk Bu Mentari.”Telepon ditutup.Riana kembali ke laptopnya. Dia melirik ke arah Maya, dan tertawa kecil ketika mengetahui bahwa sahabatnya itu memang sedang memperhatikan dirinya.“Nguping nih yee,” ledek Riana. Dia sempatkan untuk menole
“Miss, you are so beautiful.”Bibir mungil dari pria kecil itu merekahkan senyuman. Sejurus kemudian dia menunjukkan ibu jari dan telunjuk yang dia satukan kepada Vivi. Gerakan tangan yang dipopulerkan oleh orang Korea sebagai lambang cinta.Terang saja Vivi membolakan mata, melirik kepada Reinald, yang berdiri tegak di belakang si pria mungil nan tampan itu.“Miss ini benar-benar cantik. Iya kan, Dad?” si mungil yang tampan itu mendongak, mengajak Reinald berkubu.Vivi merekahkan senyum, sedikit terpaksa. Kalau saja bukan anak kecil ….“Oh, thank you. Siapa namamu?”“Aku Lio, Miss. Lionel.” Lelaki kecil itu memperkenalkan diri tanpa diminta. Lagi-lagi melempar senyum dari bibir mungilnya. Manis sekali.Mata Vivi melirik lagi kepada Reinald.Reinald tergelak lepas.“Like father, like son,” desis lelaki yang berprofesi sebagai dokter itu sembari mengedikkan bahu.Vivi baru akan membuka mulut ketika ada seruan dari arah pintu masuk.“Lionel! Kamu tadi harusnya tunggu aku!”Bocah serupa