“Jadi benar Riana menerima telpon dari dokter Rienald di kantor?” tanya Jagat. Entah mengapa nadanya naik, nyaris seperti orang berteriak. Napasnya pun terdengar menderu setelah mengucapkan kalimat itu.“Iya, Mas. Aku memang tidak bisa mendengar semua pembicaraan mereka, tapi aku mendengar Riana menyebut nama dokter itu.”“Dan mereka tertawa-tawa?” tukas Jagat. Mulutnya membentuk seringai hambar.Untuk satu pertanyaan ini, Maya perlu menghela napas sebelum akhirnya mengiyakan.“May, aku mau tanya ke kamu, tolong jawab yang jujur ya!”Maya mengangguk patah-patah. Dalam benaknya muncul tanda tanya besar, apa yang harus dia jawab? Kalau soal Reinald, dia pernah memergoki Riana bertelepon dengan dokter itu dua kali. Dan memang percakapan mereka terdengar menyenangkan sebab banyak dijejali tawa di sana sini.“Kamu tau enggak kalau Riana punya uang banyak?” Jagat melempar tanya lagi. Setengah ragu, tetapi dia harus tahu kebenarannya. Apakah Riana merahasiakan ini semua dari orang lain, atau
Riana gadis manis yang memang sedikit kampungan untuk ukuran anak kuliahan saat itu. Outfit yang dia kenakan sama sekali tidak modis, jauh dari kata mengikuti tren. Belakangan Maya mengerti alasannya, tidak lain karena ekonomi keluarga Riana yang sangat sederhana. Padahal kehidupan dia sendiri pun tidak dapat dikatakan berlimpah, namun dia masih lebih beruntung dibanding Riana.Awal persahabatan mereka berawal di halte depan kampus. Riana menunggu bapaknya menjemput, sedang Maya menunggu angkot untuk pulang ke kost-nya.“Anak akuntansi ya? Kayak familiar wajahnya,” sapa Maya terlebih dahulu.“I-iya, kamu Maya kan?” balas Riana malu-malu.“Wah ternyata aku terkenal juga.” Dada Maya sedikit membusung, agak bangga bahwa teman sekelas yang dia tidak tahu namanya tetapi teman itu mengenal dirinya.Riana menutup mulutnya dengan satu tangan agar tawa tidak menyembur keluar. “Kan kamu yang kemarin disuruh maju gara-gara tidur di kelas.”Sedetik Maya melotot, namun kemudian terbahak-bahak. Ast
“Kok kamu tau, Ri?” Suara Maya tercekat di tenggorokan. Pikirannya mulai menjalar-jalar, mencari kemungkinan jawaban sekiranya benar bahwa Riana telah mengetahui pertemuan siang ini dengan Jagat.Riana tertawa riang. Benar-benar makin membuat Maya bingung. Apakah sahabatnya tertawa sebab benar-benar sudah tahu atau ….“Tuh, alpukatnya ada di kerah!” tunjuk Riana ringan. “Huu mampir nge-es enggak ngomong, tau gitu kan nitip.”“Astaga …,” desis Maya seraya mengambil potongan alpukat yang ditunjuk Riana. Dengan gemas dia lumat barang bukti itu di tangannya sendiri, setelahnya dia mengambil tisu untuk membersihkan jari.“Beli es di mana? Kok tumben enggak ngebungkus buat aku?” cicit Riana pura-pura komplain.Maya meringis. “Sorry, Ri, kami tadi buru-buru—““Hei, apa? Kami? Kamu ketemuan sama si Andri?” Mata Riana membulat. Agaknya kali ini dia serius.“Eh, ngawur aja, mana ada … aku cuma ketemuan sama temen biasa kok. Abis dia maksa banget, aku enggak tega.”“Yang penting enggak pinjam s
“Riana sudah pulang sekitar tiga atau lima menit yang lalu—““Jadi Riana enggak ada di sana?” Suara Jagat kentara sekali bergetar menahan sesuatu.Hati Maya berdesir. Semula dia ingin menutupi hal tersebut dari Jagat, namun otaknya cepat berpikir. Jika memang dirinya ingin membantu rumah tangga Riana dan Jagat, langkah pertama adalah membiarkan Jagat mengetahui yang sesungguhnya terjadi. Hal itu akan memudahkan Jagat untuk mengambil langkah yang diperlukan.“Iya, tapi Mas Jagat harus tetap tenang ya—““Gimana bisa tenang? Pasti dia ketemuan sama dokter itu,” tukas Jagat cepat. Bunyi isakan lirih menyusul setelah dia selesai bicara.Maya diam. Dia bingung, tidak tahu harus berbuat apa.“Kupikir aku sudah mengalah, aku setuju untuk ketemu dengan psikolog biar Riana tidak punya alasan lagi untuk ngobrol dengan dokter itu, tapi nyatanya …,” lanjut Jagat.Maya tetap diam. Pikirannya sedang mereka-reka ke mana Riana pergi. Sepanjang ingatan Maya, Riana tidak begitu banyak mempunyai teman ak
“Dikunci?” Mata Jagat membulat. Sejak kapan?Dengan hati hancur, Jagat memasukkan gawai itu ke dalam tas Riana kembali. Dia mengusap wajah dengan kasar dalam sekejap mata. Menggelengkan kepala sebanyak tiga kali seraya menahan air mata. Apakah ini cukup sebagai bukti jika memang Riana ada maksud lain di belakangnya? Pertama, menyembunyikan fakta tentang uang. Kedua, berbohong lembur padahal entah pergi ke mana dan dengan siapa. Ketiga, mengunci telepon genggam. Untuk apa?“Mas.”Jagat terlonjak kaget.Riana mengernyit, “Ada apa?”Jagat terpaku, matanya hampir copot melihat kepala Riana terbungkus handuk. Sebuah kebiasaan istrinya sesudah keramas. Jangan-jangan …. Jantung Jagat berpacu, berdetak tidak beraturan.“Ih, ditanya ada apa, malah melotot,” ucap Riana seraya melenggang masuk kamar. Melewati badan Jagat begitu saja. Perempuan itu kemudian duduk di depan meja rias, dan mulai mengoleskan sesuatu di wajah dan badannya.Jagat masih menancapkan mata kepada istrinya. Otak anak bungsu
(May, apa kamu sudah di kantor?)Pesan dari Jagat masuk ke aplikasi perpesanan Maya. Perempuan itu baru saja turun dari motor. Sebenarnya dia berniat menelepon Tian, sebab tadi pagi batita kesayangannya itu belum bangun. Dengan terpaksa Maya harus meladeni pesan Jagat terlebih dahulu, sebab sudah terlanjur dia baca.(Sudah. Ada apa, Mas Jagat?)(Aku dengar semalam Riana janjian menelepon si dokter pagi-pagi, katanya begitu dia sampai di kantor. Bisa tolong mata-matai dia?)Maya mengirim gambar jempol teracung. Dia pun bergegas menuju ruang kerjanya.Benar. Mata Maya menemukan Riana yang tengah menerima telepon di tempat duduknya sendiri. Wajah sahabatnya itu terlihat berseri-seri, terkadang terselip tawa. Jelas sekali terdengar bahwa itu adalah tawa bahagia.Begitu melihat Maya, Riana melambaikan tangan. Seulas senyum sangat manis Riana lepaskan begitu saja. Tidak lama dari situ, dia mengakhiri percakapan teleponnya. Kemudian istri dari Jagat itu berdiri, sembari meletakkan gawainya d
(May, barusan Riana bilang ke aku, katanya dia akan lembur lagi. Apa kali ini benar?).Pesan Jagat masuk ke aplikasi perpesanan Maya sekira jam tiga sore. Maya mendongak, melihat Riana yang tengah senyum-senyum sendiri ke telepon genggamnya. Namun kali ini Maya tidak terlalu curiga lagi kepada sahabatnya itu. Riana pasti sedang memikirkan kesuksesan rencananya nanti.(Mas Jagat, aku mau bocorin satu rahasia, tapi janji Mas Jagat pura-pura enggak ngerti aja ya).Balasan dari Jagat segera meluncur beruntun sehingga membuat gawai Maya berbunyi terus menerus.(Ada apa, May?)(Jadi kamu udah punya bukti kalau Riana benar selingkuh ya?)(Benar kan si dokter brengsek itu?)(Tolong jangan ada yang ditutup-tutupi dari aku ya, May)“Aduh, salah bahasaku. Malah jadi mancing Mas Jagat,” keluh Maya dalam hati. Dia melirik Riana kembali. Kali ini Riana terlihat begitu serius mengetik sesuatu di laptop. Sepertinya tidak ada tanda-tanda Riana akan pergi dari ruangan.Maya berdiri, yang langsung dire
“Kamu jujur saja, Gat. Bu Reni dan Fendi pasti akan membantumu,“ kata Vivi.Jagat memandang Riana, dan perempuan itu pun mengangguk. Riana sudah mengenal Naren, lelaki itu satu-satunya rekan kerja yang sering disebut sebagai teman oleh Jagat. Dalam beberapa kesempatan Riana dan Naren pernah bertemu, seperti acara kantor atau kondangan ke rekan lain.Riana sendiri sebenarnya agak heran, kenapa bisa Naren berkubu dengan Tyo. Selama ini Jagat memang belum pernah membicarakan bagaimana proses dia keluar dari pekerjaannya. Mungkin lebih tepat, jika Riana yang belum pernah menanyakannya. Waktu itu dia masih bergelut dengan perasaannya sendiri.“Apa kamu malu karena ada aku dan Riana, Gat?” tanya Vivi lagi. “Nanti di persidangan pun semua yang hadir akan tau, jadi percuma saja kamu tutupi dari kami.”“Benar, Mas. Seandainya benar Mas Jagat ada salah sama Naren, pasti nanti Bu Reni bantu,” ujar Riana. Perempuan itu menoleh kepada Reni. “Gitu kan, Bu?”“Tentu saja, Pak Jagat. Mohon maaf, untuk