Share

Syarat Dari Ibu

“Jadi kamu mau ya, Ri?” Suara Mama semerdu nyanyian seorang diva dunia. “Orang tua kamu juga sudah merestui. Jagat pun sudah setuju.”

Semua mata mengarah pada Riana. Namun istri Jagat itu mematung dalam gerakan menunduk. Hatinya masih menimbang-nimbang. Semua ucapan Ibu tadi memang betul, tetapi teringat kata-kata Kak Vivi … pendapat dia juga tidak salah.

Riana memandang Ibu. Rasanya tidak sanggup jika Ibu dan Bapak ikut menanggung malu akibat ulah Papa. Apalagi jaman sekarang, di mana berita seperti angin. Bisa bergerak ke mana pun, mampir di telinga siapa saja dan tiba-tiba berubah menjadi gulungan tornado. Ah, membayangkan saja sudah terasa sakit.

“Kalau seorang perempuan ditanya diam saja, itu tandanya dia mau,” kata Ibu memecah kesunyian. “Begitulah bahasa kami, orang kampung … iya kan, Ri?”

“I-iya,” desis Riana lirih.

“Kamu mau, Ri?” Mama terlonjak dari duduknya. Gegas dia menghampiri menantunya itu, Mama merangkul dan mencium berulang kali. “Beneran kamu mau?”

Riana mengangguk.

“Pa, Riana mau, Pa!” Mama berseru. Kebahagiaan menguar jelas dalam kalimat dan bahasa tubuh wanita yang masih cantik dalam usianya yang sudah lima puluh satu tahun itu.

Semua orang yang ada di ruangan itu menghela napas lega. Papa tanpa sadar sampai bertepuk tangan dan tertawa kecil sebab begitu gembira.

“Tapi dengan satu syarat!” Entah mengapa suara Riana menjadi melengking. Hal itu membuat suasana yang semula heboh, langsung hening kembali.

“Apa pun syaratmu, Mama akan penuhi, Ri. Makasih sudah menyelamatkan keluarga kita.” Mama memeluk Riana kembali. “Sebutkan, Sayang, sebutkan saja. Kita pasti belikan. Iya kan, Pa?”

“Pasti,” sahut Papa mantap.

Riana menatap Jagat dengan mata tajam sambil berkata, “I-ini a-adalah bayi pertama dan terakhir. Semoga tidak ada lagi bayi yang … yang—“

“Iya, Sayang, iya … kami mengerti,” sahut Mama cepat.

“Riana, Jagat, secara pribadi Papa berterima kasih kepada kalian. Pada Ibu Neni dan Bapak Arman juga.” Papa mengangguk pada orang tua Riana. “Papa hari ini benar-benar telah diselamatkan. Peristiwa ini akan menjadi pelajaran buat Papa ke depannya agar lebih eling lagi. Papa terjerumus dalam kehinaan … tapi berkat kebesaran hatimu, Ri, Papa punya kesempatan untuk memperbaiki semuanya.”

“Itu sudah seharusnya sebagai bakti seorang anak kepada orang tua,” Ibu menimpali. Senyumnya yang paling lebar di antara semua. “Ibu hanya minta, Nak Jagat lebih menyayangi dan mencintai Riana. Jangan sakiti hati anak Ibu ya.”

“I-iya, Bu,” Jagat menjawab tergagap. Lelaki berkulit putih itu menunduk, saat tak sengaja lirik matanya bersitatap dengan sang istri.

“Alhamdulillah, insyaalloh masalah sudah menemukan solusi,” ceplos Bapak. Yang lain ikut melafalkan kalimat hamdalah.

“Sekarang, tinggal Bu Widya menepati janjinya sama anak saya ya, Bu,” kata Ibu. Dengan wajah berseri-seri Ibu menatap Riana, lalu beralih kepada Jagat. “Kalian akan pindah rumah setelah bayi itu lahir.”

Jagat dan Riana kebingungan. Rumah yang sekarang mereka tempati jangka KPR-nya masih empat belas tahun lagi. Baru juga setahun mereka pindah ke sini, setelah setahun sebelumnya menyewa rumah.

“Kalian jangan bingung, semua Papa yang akan urus. Bayinya mungkin akan lahir tiga bulan lagi, nah saat bayi itu lahir nanti, kalian akan menempati rumah baru,” ujar Papa.

Bapak berderai ringan. “Lebih bagus dari rumah ini nggih, Pak Sulis?”

“Oh iya, pasti, Pak Arman. Atau Riana yang akan pilih sendiri perumahannya, enggak apa-apa,” jawab Papa.

“Enggak ya, Ri?” Bapak menyahut, melihat ke arah putrinya sekejap, lalu kembali memandang besannya. “Anak saya ini penurut kok, Pak Sulis saja yang atur. Ya … asal beneran lebih bagus dari yang ini, kalau bisa yang luasan dikit hehe.”

“Maaf, tapi kenapa aku dan Riana harus pindah rumah?” Jagat menyela.

“Iya, kami betah kok tinggal di sini. Lingkungannya baik,” dukung Riana.

Ibu tersenyum. “Nak Jagat, Riana, Ibu hanya ingin nama baik kalian juga ikut terjaga. Jadi nanti bilang saja sama tetangga baru kalian bahwa bayi itu adalah anak kandung kalian, supaya tidak ada pertanyaan aneh-aneh. Kalau tetap tinggal di sini kan enggak bisa, karena tetangga sudah pada tau Riana tidak hamil.”

“Oh, begitu,” jawab Jagat dengan nada samar. Kepalanya mengangguk dua kali.

“Iya, nanti juga Riana resign saja dari pekerjaan. Supaya enggak ribet juga ngurusi mulut-mulut usil di kantornya,” sambung Mama. Tangan Mama bergerak mengelus pundak Riana. “Ri, sebaiknya mulai besok aja kamu ajukan resign-nya, bila perlu kasih sinyal-sinyal bahwa kamu lagi hamil gitu.”

Riana menatap Jagat. Namun Jagat sedang menunduk.

“Tapi nanti Riana dikasih modal kan, Bu? Untuk mulai bisnis online atau apa gitu?” Ibu menyambar. “Yah, bukan gimana-gimana, kami beneran susah payah loh berusaha menyekolahkan Riana sampai lulus kuliah. Maklum kami orang susah, beda sama Ibu Widya dan Pak Sulis. Jadi rasanya agak nyesek, kalau sarjana-nya Riana cuma untuk jadi ibu rumah tangga.”

“Oh, tenang aja. Kalau sekadar usaha kecil-kecilan nanti Papa bantu, Ri.”

Wajah Ibu dan Bapak Riana terlihat terang benderang. Keduanya saling lirik dan melempar senyum girang.

Basa basi dilanjutkan sampai menjelang mahrib. Setelah menunaikan ibadah, kedua orang tua Riana pamit untuk pulang.

“Apa enggak sebaiknya menginap saja, Pak?” Jagat berkata tulus. Mengingat perjalanan menuju kampung Riana cukup jauh.

“Iya, Pak, Bu. Besok pagi saja pulangnya, ini sudah gelap,” sahut Riana mendukung perkataan suaminya.

Meskipun hati dongkol luar biasa atas keputusan sepihak orang tuanya, tetapi bagaimana pun juga orang tua tetaplah orang tua. Riana membayangkan jalan yang harus ditempuh Bapak. Selain cukup menanjak, lampu jalan yang ada juga tidak begitu terang. Selain rawan kecelakaan, tentu saja rawan kejahatan.

“Halah, masih sore gini ya, Bu. Yang terpenting masalah dalam keluarga kita sudah terselesaikan dengan sangat baik.”

Perkataan Bapak disambut tawa lega. Kali ini Jagat sudah bisa ikut tertawa, meski belum terlihat lepas.

“Hati-hati ya, Pak. Tolong nanti kabari aku kalau sudah sampai rumah,” kata Riana mengantar kepergian Bapak dan Ibunya.

Sebelum naik ke motor, Ibu memeluk Riana. Dia berbisik di telinga anak sulungnya itu, “Begjo, kamu, Ri. Tuhan kalau kasih jalan rejeki memang selalu enggak disangka-sangka.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status