Dengan pelan Riana meluruskan tangan untuk menjauhkan telepon genggamnya dari telinganya sendiri.
“Ngapain Kak Vivi nelpon kamu, Dek?”
Riana meringis linglung. Ujaran dari kakak iparnya barusan, ada benarnya juga walaupun disampaikan dengan cara yang menyakitkan hati. Namun dia tahu jika Jagat mendengar yang sebenarnya, pasti akan tersinggung. Perempuan itu memutar otak untuk memilah kata yang lebih enak di telinga suaminya.
“Dek, apa Kak Vivi ngomong yang enggak-enggak ke kamu?”
Riana menggeleng, kemudian meringis lagi. “Kak Vivi bilang ... kalau kita mengadopsi bayi itu, dikuatirkan tahun depan Papa … Papa punya bayi lain lagi.”
Spontan Jagat menghela napas. Dia mengucap istigfar dengan nada panjang.
“Kalau Kak Vivi berkeras enggak mau, berarti kan kita yang harus mau ya, Mas?” ujar Riana. Matanya sudah berkabut. Teringat tadi Vivi telah mengatai dirinya sebagai perempuan lembek.
“Kalau kamu enggak mau, ya jangan dipaksa, Dek. Sini ….” Jagat merentangkan lengannya.
Riana gegas menghambur dalam pelukan Jagat. Air matanya mulai menetes. “Tapi kalau beneran viral gimana? Aku enggak bisa bayangin … Karir Mas, pasti berdampak kan? Ibu Bapak di kampung, adikku ….”
“Udahlah, enggak usah dipikirkan terlalu dalam. Kita pasti bisa menghadapi sama-sama, Dek. Dan semoga Papa bisa membujuk Karisma.”
Riana mengangguk samar. Meski mulutnya terkunci, tetapi kepalanya terasa begitu berisik. Kilasan-kilasan sosok Ibu, Bapak dan keluarga besarnya muncul bergantian. Oh, bagaimana kalau teman-teman dan rekan kerjanya tahu tentang kelakuan Papa mertua? Riana menekan wajahnya ke dada Jagat dengan gelisah.
“Ke tempat bakso langganan yuk!” Jagat berkata seraya mengecup puncak kepala Riana.
“Ini Sabtu, Mas. Kalau weekend gini suka penuh. Males ah, enggak bisa betul-betul menikmati baso saking banyaknya orang.”
“Seblak aja gimana?”
Riana mengangkat kepala segera dengan ekspresi kaget, lalu menatap wajah Jagat. “Sejak kapan Mas doyan seblak?”
Jagat tertawa. Selama ini dia memang tidak pernah mau kalau diajak makan seblak. Menurutnya seblak adalah salah satu makanan aneh. Namun demi menghibur istrinya, Jagat akan mencoba sekali lagi makan jajanan aneh nan pedas itu.
Telepon Jagat berbunyi.
“Mama, Dek,” desis Jagat sembari menggeser tombol hijau. Tidak lupa memencet satu simbol agar Riana juga bisa ikut mendengar.
“Gat, gimana Riana?” Suara Mama bercampur tangis. “Ini Papa baru pulang, Karisma tetap menuntut kamu atau Tyo yang mengadopsi bayinya. Dia tidak bisa dibujuk.”
“Maafkan Papa, ya Gat. Karisma menginginkan ini dengan sengaja agar membuat keluarga kita tersiksa.” Kini hadir suara Papa. Mungkin Mama juga mengaktifkan mode loudspeaker seperti Jagat.
“Papa betul-betul menyesal. Sekarang seperti makan buah simalakama. Kalau kita tidak menuruti keinginan Karisma, resikonya besar dan masalah bisa melebar kemana-mana. Tapi jika kamu mengadopsi bayi itu, pasti tidak akan mudah buat kamu dan Riana. Rumah tangga kalian pun dipertaruhkan, tentu ini sebuah siksaan batin buat kami.”
Terdengar isak Papa beriringan dengan tangisan Mama. Jagat menatap Riana lama, matanya menjadi merah. Bibirnya bergetar menahan tangis.
“Apakah kamu mau membujuk Riana untuk menerima bayi itu, Gat?” tanya Papa. Suaranya serak.
“Riana ada di sini, Pa,” sahut Jagat lirih seraya membelai pipi istrinya dengan penuh kasih sayang. Tanpa sadar air mata Jagat luruh satu per satu, meski bibirnya menerbitkan senyum.
“Riana,” desis Mama. “Mama mohon, apa pun syarat yang kamu ajukan, akan Mama usahakan. Minimal untuk meredam kemarahan Karisma terlebih dulu. Semoga setelah bayinya lahir, hati Karisma lebih dingin, kemudian kita bisa bicarakan sama-sama.”
“Mau ya, Ri?” Kini Papa ikut membujuk. “Papa akan sangat berterima kasih, sampai kapan pun Papa akan ingat jasamu ini.”
Riana menatap Jagat. Wajah lelakinya itu telah penuh air mata.
“Ta-tapi gimana cara aku bi-bicara sama Ibu? Ma-maksud aku enggak mungkin kita menyembunyikan bayi itu dari Ibu dan Bapak kan?”
“Oh, Riana. Yang penting kamu bersedia dulu, nanti Mama yang akan bicara sama ibumu ya.”
Riana terdiam. Lagi, dia menatap suaminya.
“Terserah kamu, Dek. Jangan terpaksa, jangan pikirkan aku … huhu.” Jagat malah menangis tergugu.
“Riana, tolonglah Papa. Cuma kamu yang bisa menolong keluarga kita.”
“A-aku perlu bicara sama Ibu dulu ya,” desis Riana dengan gamang.
“Kejutan, Ri!” Riana terlonjak, benar-benar terkejut. “Ibu? Bapak?” Mata perempuan ramping itu membola sempurna, menatap dua sosok yang sudah berdiri di depan pintu rumahnya. Baru sekitar dua jam lalu Riana membawa nama mereka dalam menghindari bujuk rayu mertuanya di telepon, dan kini …. Apakah Mama benar-benar menyuruh orang tuanya ke sini? “Haish, kita enggak disuruh masuk, Bu,” kata Bapak seraya tertawa. “Yang punya rumah malah melotot tok.” “Boro-boro, Pak, dari tadi salim aja enggak,” sahut Ibu. Mencetuskan tawa lebih kencang daripada Bapak. “Eh, ma-maaf … masuk, Bu, Pak.” Riana membuka daun pintu lebih lebar, setelah itu gegas dia ambil tangan Bapak dan Ibu bergantian. Dicium satu per satu dengan takzim. “Loh, ada Bapak dan Ibu. Baru sampai?” Jagat datang dari arah luar rumah, menenteng tas kresek. Dia baru saja membeli cemilan di warung dekat rumah. Lelaki itu pun sama terkejutnya dengan sang istri. Mata Jagat dan Riana saling bertatap sembari memberi kode satu sama lai
“Jadi kamu mau ya, Ri?” Suara Mama semerdu nyanyian seorang diva dunia. “Orang tua kamu juga sudah merestui. Jagat pun sudah setuju.”Semua mata mengarah pada Riana. Namun istri Jagat itu mematung dalam gerakan menunduk. Hatinya masih menimbang-nimbang. Semua ucapan Ibu tadi memang betul, tetapi teringat kata-kata Kak Vivi … pendapat dia juga tidak salah.Riana memandang Ibu. Rasanya tidak sanggup jika Ibu dan Bapak ikut menanggung malu akibat ulah Papa. Apalagi jaman sekarang, di mana berita seperti angin. Bisa bergerak ke mana pun, mampir di telinga siapa saja dan tiba-tiba berubah menjadi gulungan tornado. Ah, membayangkan saja sudah terasa sakit.“Kalau seorang perempuan ditanya diam saja, itu tandanya dia mau,” kata Ibu memecah kesunyian. “Begitulah bahasa kami, orang kampung … iya kan, Ri?”“I-iya,” desis Riana lirih.“Kamu mau, Ri?” Mama terlonjak dari duduknya. Gegas dia menghampiri menantunya itu, Mama merangkul dan mencium berulang kali. “Beneran kamu mau?”Riana mengangguk.
“Kamu serius mengundurkan diri, Ri? Udah dipikir bener-bener?” Maya, rekan kerja Riana bertanya lagi.Riana mengangguk. Malas menjawab. Maya sudah bertanya empat kali, sejak tadi pagi Riana memberitahukan hal tersebut kepadanya. Single parent dengan satu anak itu bahkan telah melihat surat pengunduran diri Riana, dan tahu betul jika Riana sudah menghadap bagian personalia untuk menyerahkan surat tersebut.“Apa suamimu yang mendesakmu untuk berhenti kerja?” Maya masih mencecar.Riana menghela napas panjang, kemudian menatap Maya. “Oke, aku kasih tahu alasan sesungguhnya karena kamu teman aku sedari dulu, tapi janji ini rahasia ya.”“Iya, iya,” jawab Maya. Air mukanya berbinar penuh pengharapan.Riana malah tertawa. “Dasar tukang gosip, kalau dikabarin ada rahasia langsung responnya girang banget kayak menang undian,” tukas Riana.“Hish, apaan sih. Udah cepet kasih tau.”“Ya emang bener, Mas Jagat dan keluarganya yang minta aku resign—““Tuh kan, udah aku duga. Enggak ada masalah apa-ap
Riana dijemput jam sebelas lebih dua puluh menit. Dia menyangka Jagat akan membawanya ke rumah sakit terlebih dahulu, ternyata saat membuka pintu mobil bayinya sudah berada dalam pangkuan Mama. “Ayo, Ri, masuklah,” kata Papa yang duduk di sebelah Jagat. “Ma, biar Riana yang gendong si bayi, kan Riana mamanya.”“Oh iya,” sahut Mama. Segera dia ulurkan bayi itu kepada Riana. “Wah, Gat, ternyata Riana luwes juga bawa bayinya. Wah, wah emang udah pantas banget jadi Mama.”Jagat tertawa senang, lalu menoleh sebentar ke arah belakang, namun saat dilihatnya wajah Riana yang kaku tanpa ekspresi, tawa Jagat segera lenyap.“Ri, liatlah, dia cantik sekali kan? Namanya Anindya Rahisma, dipanggilnya Anin.”“Udah langsung diberi nama?” seru Riana, tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya.Mama tertawa sumbang. “Iya … Karisma yang kasih nama.”Riana diam tidak merespon, sibuk memandangi mahluk mungil yang tengah terlelap tenang dalam pangkuannya. Kulit bersih, hidung mancung dan bibir yang merah
“Riana percayalah, Anin itu bukan anak kandung Jagat. Tapi adik Jagat lain ibu, kan wajar jika Jagat dan Anin mirip. Jagat, Tyo dan Anin kalau disandingkan sudah pasti akan mirip, karena memang mereka satu ayah,” kata Mama. “Adapun kulitnya yang sama-sama putih itu karena Karisma berkulit putih.”Wanita lima puluh satu tahun itu tergopoh-gopoh datang saat Jagat menelepon. Jagat mengabarkan bahwa dia sudah kewalahan saat Riana terus menerus mendesak sambil mengamuk. “Tidak ada yang Jagat sembunyikan dari kamu, Sayang. Jangan curiga kepada suamimu sendiri,” ucap Mama. “Mama pun bersumpah, demi Alloh Anin itu bukan anak kandung Jagat. Kalau kamu kurang percaya, dan Jagat harus disumpah di bawah kitab suci, ya ayo kita lakukan. Kamu pasti bersedia kan, Gat?”“Bersedia, Ma,” jawab Jagat. Pelan tapi tegas.Riana menatap dengan mata meradang. “Kalau begitu aku mau tes DNA untuk mencari kebenarannya.”Mama tersenyum. “Ri, DNA Anin tentu saja akan mirip dengan Jagat. Kan sudah Mama bilang, An
“Mbak Riana?”Riana menoleh. Mata bundarnya melihat sesosok perempuan cantik berkulit putih dengan badan berisi. Riasan naturalnya begitu sempurna dipadu dengan dress panjang semata kaki yang tampak casual. Tidak ada kesan centil sama sekali, seperti yang Riana pikirkan.Dalam bayangan Riana, Karisma adalah wanita muda yang centil dengan dandanan cetar ala-ala pelakor di drama yang sering dia tonton. Ternyata perempuan yang diakui sebagai selingkuhan Papa ini terlihat kalem dan dewasa. Apakah ini yang dinamakan air tenang menghanyutkan? “Saya Karisma, panggil saja Karis,” katanya lagi seraya mengulurkan tangan. “Boleh saya duduk?”“Oh, iya iya, silakan,” jawab Riana tergagap-gagap.Perempuan bernama Karis itu menggeser kursi dan duduk dengan anggun. Jari jemarinya bergerak berirama untuk merapikan rambutnya. Mata Riana sempat menyipit ketika cincin cantik di salah satu jari Karisma terkena paparan cahaya. Begitu berkilau cemerlang. Mungkin itu cincin berlian asli.“Sebelum memulai pe
“Loh, kok Mas ada di rumah?” Riana terkejut bukan main saat melihat Jagat tengah makan siang sendiri. Bagaimana bisa lelakinya secepat itu sudah berada di rumah? Jika Jagat mengantar Karisma ke suatu tempat, seharusnya Riana yang sampai terlebih dulu. Mengingat jalanan pada jam segini lumayan padat, apalagi mengendarai mobil. “Kamu udah makan, Dek? Eh, iya kamu abis ketemuan di resto ya pastilah udah makan,” seloroh Jagat dengan suara tanpa beban. Tidak menjawab pertanyaan istrinya. Riana memindai isi piring Jagat, mungkin tinggal satu atau dua suapan. Dengan porsi makan Jagat yang dia tahu betul, sudah pasti suaminya mulai makan sekitar sepuluh menit yang lalu. Rasanya mustahil …. “Apa ada sesuatu, Dek?” Jagat membuyarkan lamunan Riana, dia terlihat meletakkan sendok untuk menjeda makannya. Menatap Riana bulat-bulat. “Apa Karisma ngomong macam-macam sama kamu?” “Macam-macam gimana?” tukas Riana cepat. Mata perempuan itu segera memicing waspada saat melihat sang suami sedikit ter
“Jadi kamu ditanya juga sama Ibu?”“Iya, tapi aku jawab sesuai yang diajarkan Bu Widya aja. Cari aman lah, Mak.” Riana mendengar suara Mak Wati dan Sus Dian. Kaki perempuan dua puluh enam tahun itu spontan berhenti melangkah. Niatnya untuk pergi ke kamar Anin, dia urungkan. Riana ingin mendengar pembicaraan mereka lebih lanjut. Sebutan ‘Ibu’ sudah pasti ditujukan kepada dirinya. Yang membuat dia lebih tertarik adalah jawaban dari Sus Dian. Memangnya Mama mengajarkan apa kepada pengasuh Anin itu?“Suruh jawab mirip putihnya doang ya?” tebak Mak Wati.Sus Dian tertawa. “Iya. Mak juga disuruh gitu?”Riana hanya mendengar derai Mak Wati. Mungkin di balik tembok ini Mak Wati sedang mengangguk. Hati Riana mencelos, bukankah suaminya juga berucap yang sama? “Mirip dari mananya coba? Putihnya mungkin iya,” batin Riana melagukan ucapan Jagat tadi.“Kasihan Ibu, dia baru dengar dari satu orang aja udah kebakaran jenggot. Padahal kalau pas aku yang ajak Anin keluar, semua orang kompleks selal