“Kalau sampai Riana mau mengambil bayi itu, betul-betul perempuan bodoh dia!” seru Vivi sengit.
Tyo yang tengah memegang kemudi hanya melirik seraya mengumbar kesabaran. Sekarang mereka ada di dalam mobil, menuju pulang ke Jakarta. Sedari Vivi mengangkat koper dan keluar dari rumah Mama, hingga sekarang, perempuan cantik berkulit putih itu terus saja mengomel.
“Vi, aku minta maaf kalau ada ucapan Mama yang menyinggung kamu. Cobalah tenang sedikit. Setidaknya hormati Mama. Aku pun bisa tersinggung kalau kamu terus menerus menjelek-jelekkan Papa. Aku tau Papa salah, tapi enggak ada gunanya juga kalau kamu begini. Sama sekali enggak menyelesaikan masalah kan?” Tyo akhirnya terpaksa menaikkan nada bicara.
Vivi mendengkus. Tangannya dilipat depan dadanya sendiri.
Suara pendingin mobil berbaur dengan hembusan napas Vivi. Semakin lama napas perempuan cantik itu semakin cepat. Tiba-tiba dia mulai terisak.
“Aku benci perselingkuhan. Aku pikir, cukup keluargaku yang tercerai berai karena perbuatan serendah itu, ternyata sekarang keluargamu juga. Padahal tadinya aku berharap … ah, kenapa Papa bisa berbuat begitu sih?” cerocosnya di sela nada isak.
Tangan kiri Tyo terulur, menjangkau kepala istrinya. Dia elus dengan sayang perempuan terkasih itu untuk beberapa saat.
“Itulah kenapa Mama masih berusaha untuk menutupi semua ini,” kata Tyo pelan. Lelaki itu menatap Vivi sekilas, sekedar mengecek jika istrinya sudah cukup tenang.
“Dengan mengorbankan pernikahan anak-anaknya? Tidak masuk akal,” jawab Vivi, sama pelannya dengan suara Tyo.
“Karisma mengancam Papa dan Mama akan membuat kasus ini viral jika keinginan dia tidak dituruti. Mama sama sekali tidak egois, dia yang paling menderita dalam masalah ini. Permintaannya tadi juga sekaligus menyelamatkan kita.”
“Menyelamatkan gimana?”
“Kalau sampai viral, pasti kamu kena imbasnya kan? Bayangkan seandainya teman dan rekan bisnis kita tau.”
“Argh!” Vivi menjerit, tangannya terkepal kencang. “Aku ingin berkata kasar sebrutal-brutalnya!”
“Tenanglah, Sayang. Kalau kamu tidak mau bayi itu, ya udah. Habis perkara. Nanti pasti Riana mau.”
Vivi menoleh dengan cepat kepada suaminya. “Apa nanti Mama akan memaksa perempuan kampung itu? Jujur, aku memang tidak suka dengan Riana sejak awal dikenalkan. Bukan kenapa-napa, tapi dia itu terlalu lembek jadi perempuan.”
“Riana itu kan perempuan Jawa, lahir dan besar di kampung. Pastilah karakternya begitu.”
“Ah, siapa bilang. Pegawai kita juga banyak yang dari kampung, perempuan Jawa juga, tapi mereka lincah. Dasar Riana aja tuh, lembek!”
Vivi kembali memalingkan wajah. Pemandangan di luar yang biasanya dia nikmati sepanjang jalan, kini terasa menjadi menyebalkan.
“Tapi aku kasihan sama Riana kalau Mama benar-benar memaksa dia,” Vivi menceplos lagi.
“Mama enggak akan maksa, tapi kalau membujuk mungkin iya,” timpal Tyo mementahkan pendapat Vivi.
“Ngurus bayi itu enggak mudah, apalagi bayi hasil perselingkuhan. Astaga … kenapa Papa bisa berbuat begitu sih?” Vivi menjeritkan kata yang sama lagi.
Bukan tanpa alasan. Dia sama kagetnya dengan Riana, benar-benar di luar dugaan bahwa Papa mertua mereka yang berprofesi dosen dan terlihat sebagai orang alim tiba-tiba menghamili anak orang.
“Kita istirahat di depan ya, Vi,” kata Tyo. Dia sudah mengemudi selama tiga jam nonstop.
“Cari hotel aja deh, aku tau Mas capek. Kita bermalam di kota ini, besok pagi baru balik ke Jakarta. Sebentar aku cari info hotel di internet.”
Tyo mengangguk-angguk. Mereka sampai di rumah Ibu sekitar jam sepuluh tadi pagi, bahkan koper berisi pakaian belum sempat dibongkar. Seperempat jam kemudian Jagat dan Riana datang, lalu terjadilah pengakuan mengejutkan itu.
“Cuma ada hotel bintang tiga di kota ini, kayaknya lumayan sih,” ujar Vivi. Dia meninggikan volume gawainya. Terdengarlah suara khas perempuan menginstruksikan arah untuk mencapai hotel yang dimaksud Vivi.
Sampai di kamar hotel, Tyo segera merebahkan badannya. Sedang Vivi menuju balkon sambil membawa telepon genggam.
“Halo, Riana, ini Vivi,” sapa Vivi begitu panggilan teleponnya tersambung di sana.
“I-iya, Kak,” Riana menjawab. Cukup terkejut, ini adalah panggilan pertama dari kakak iparnya itu, selama dua tahun dia menjadi menantu keluarga Papa Sulis.
“Kamu udah pulang atau masih di rumah Mama?” tanya Vivi.
“U-udah pu-pulang, Kak.”
“Ck, kamu kenapa sih kalau ngomong tergagap-gagap gitu?”
Suara Vivi yang terkesan judes membuat Riana bertambah gugup. “Ma-maaf, Kak. A-ada apa ya?”
“Jadinya gimana? Apa kamu dipaksa Mama untuk menerima bayi itu?”
Riana melirik kepada Jagat yang duduk di sebelahnya. “Ka-kami masih mau mikir dulu, Kak. Ini baru mau diomongin sama Mas Jagat.”
“Tolak aja langsung, kenapa harus dipikirin? Jangan mau berkorban buat orang yang berselingkuh, meskipun itu mertua kita. Jadilah perempuan yang tegas, Ri. Bukannya mau ngajarin kamu melawan mertua, tapi permintaan Mama itu udah keterlaluan. Orang berselingkuh itu kalau dibela, akan melakukan hal menjijikkan itu lagi. Coba bayangin, kalau kamu mau menerima, tahun depan Papa akan punya bayi lagi. Kamu mau jadi penampungan bayi haramnya Papa?”
Dengan pelan Riana meluruskan tangan untuk menjauhkan telepon genggamnya dari telinganya sendiri.“Ngapain Kak Vivi nelpon kamu, Dek?” Riana meringis linglung. Ujaran dari kakak iparnya barusan, ada benarnya juga walaupun disampaikan dengan cara yang menyakitkan hati. Namun dia tahu jika Jagat mendengar yang sebenarnya, pasti akan tersinggung. Perempuan itu memutar otak untuk memilah kata yang lebih enak di telinga suaminya.“Dek, apa Kak Vivi ngomong yang enggak-enggak ke kamu?” Riana menggeleng, kemudian meringis lagi. “Kak Vivi bilang ... kalau kita mengadopsi bayi itu, dikuatirkan tahun depan Papa … Papa punya bayi lain lagi.”Spontan Jagat menghela napas. Dia mengucap istigfar dengan nada panjang.“Kalau Kak Vivi berkeras enggak mau, berarti kan kita yang harus mau ya, Mas?” ujar Riana. Matanya sudah berkabut. Teringat tadi Vivi telah mengatai dirinya sebagai perempuan lembek.“Kalau kamu enggak mau, ya jangan dipaksa, Dek. Sini ….” Jagat merentangkan lengannya.Riana gegas men
“Kejutan, Ri!” Riana terlonjak, benar-benar terkejut. “Ibu? Bapak?” Mata perempuan ramping itu membola sempurna, menatap dua sosok yang sudah berdiri di depan pintu rumahnya. Baru sekitar dua jam lalu Riana membawa nama mereka dalam menghindari bujuk rayu mertuanya di telepon, dan kini …. Apakah Mama benar-benar menyuruh orang tuanya ke sini? “Haish, kita enggak disuruh masuk, Bu,” kata Bapak seraya tertawa. “Yang punya rumah malah melotot tok.” “Boro-boro, Pak, dari tadi salim aja enggak,” sahut Ibu. Mencetuskan tawa lebih kencang daripada Bapak. “Eh, ma-maaf … masuk, Bu, Pak.” Riana membuka daun pintu lebih lebar, setelah itu gegas dia ambil tangan Bapak dan Ibu bergantian. Dicium satu per satu dengan takzim. “Loh, ada Bapak dan Ibu. Baru sampai?” Jagat datang dari arah luar rumah, menenteng tas kresek. Dia baru saja membeli cemilan di warung dekat rumah. Lelaki itu pun sama terkejutnya dengan sang istri. Mata Jagat dan Riana saling bertatap sembari memberi kode satu sama lai
“Jadi kamu mau ya, Ri?” Suara Mama semerdu nyanyian seorang diva dunia. “Orang tua kamu juga sudah merestui. Jagat pun sudah setuju.”Semua mata mengarah pada Riana. Namun istri Jagat itu mematung dalam gerakan menunduk. Hatinya masih menimbang-nimbang. Semua ucapan Ibu tadi memang betul, tetapi teringat kata-kata Kak Vivi … pendapat dia juga tidak salah.Riana memandang Ibu. Rasanya tidak sanggup jika Ibu dan Bapak ikut menanggung malu akibat ulah Papa. Apalagi jaman sekarang, di mana berita seperti angin. Bisa bergerak ke mana pun, mampir di telinga siapa saja dan tiba-tiba berubah menjadi gulungan tornado. Ah, membayangkan saja sudah terasa sakit.“Kalau seorang perempuan ditanya diam saja, itu tandanya dia mau,” kata Ibu memecah kesunyian. “Begitulah bahasa kami, orang kampung … iya kan, Ri?”“I-iya,” desis Riana lirih.“Kamu mau, Ri?” Mama terlonjak dari duduknya. Gegas dia menghampiri menantunya itu, Mama merangkul dan mencium berulang kali. “Beneran kamu mau?”Riana mengangguk.
“Kamu serius mengundurkan diri, Ri? Udah dipikir bener-bener?” Maya, rekan kerja Riana bertanya lagi.Riana mengangguk. Malas menjawab. Maya sudah bertanya empat kali, sejak tadi pagi Riana memberitahukan hal tersebut kepadanya. Single parent dengan satu anak itu bahkan telah melihat surat pengunduran diri Riana, dan tahu betul jika Riana sudah menghadap bagian personalia untuk menyerahkan surat tersebut.“Apa suamimu yang mendesakmu untuk berhenti kerja?” Maya masih mencecar.Riana menghela napas panjang, kemudian menatap Maya. “Oke, aku kasih tahu alasan sesungguhnya karena kamu teman aku sedari dulu, tapi janji ini rahasia ya.”“Iya, iya,” jawab Maya. Air mukanya berbinar penuh pengharapan.Riana malah tertawa. “Dasar tukang gosip, kalau dikabarin ada rahasia langsung responnya girang banget kayak menang undian,” tukas Riana.“Hish, apaan sih. Udah cepet kasih tau.”“Ya emang bener, Mas Jagat dan keluarganya yang minta aku resign—““Tuh kan, udah aku duga. Enggak ada masalah apa-ap
Riana dijemput jam sebelas lebih dua puluh menit. Dia menyangka Jagat akan membawanya ke rumah sakit terlebih dahulu, ternyata saat membuka pintu mobil bayinya sudah berada dalam pangkuan Mama. “Ayo, Ri, masuklah,” kata Papa yang duduk di sebelah Jagat. “Ma, biar Riana yang gendong si bayi, kan Riana mamanya.”“Oh iya,” sahut Mama. Segera dia ulurkan bayi itu kepada Riana. “Wah, Gat, ternyata Riana luwes juga bawa bayinya. Wah, wah emang udah pantas banget jadi Mama.”Jagat tertawa senang, lalu menoleh sebentar ke arah belakang, namun saat dilihatnya wajah Riana yang kaku tanpa ekspresi, tawa Jagat segera lenyap.“Ri, liatlah, dia cantik sekali kan? Namanya Anindya Rahisma, dipanggilnya Anin.”“Udah langsung diberi nama?” seru Riana, tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya.Mama tertawa sumbang. “Iya … Karisma yang kasih nama.”Riana diam tidak merespon, sibuk memandangi mahluk mungil yang tengah terlelap tenang dalam pangkuannya. Kulit bersih, hidung mancung dan bibir yang merah
“Riana percayalah, Anin itu bukan anak kandung Jagat. Tapi adik Jagat lain ibu, kan wajar jika Jagat dan Anin mirip. Jagat, Tyo dan Anin kalau disandingkan sudah pasti akan mirip, karena memang mereka satu ayah,” kata Mama. “Adapun kulitnya yang sama-sama putih itu karena Karisma berkulit putih.”Wanita lima puluh satu tahun itu tergopoh-gopoh datang saat Jagat menelepon. Jagat mengabarkan bahwa dia sudah kewalahan saat Riana terus menerus mendesak sambil mengamuk. “Tidak ada yang Jagat sembunyikan dari kamu, Sayang. Jangan curiga kepada suamimu sendiri,” ucap Mama. “Mama pun bersumpah, demi Alloh Anin itu bukan anak kandung Jagat. Kalau kamu kurang percaya, dan Jagat harus disumpah di bawah kitab suci, ya ayo kita lakukan. Kamu pasti bersedia kan, Gat?”“Bersedia, Ma,” jawab Jagat. Pelan tapi tegas.Riana menatap dengan mata meradang. “Kalau begitu aku mau tes DNA untuk mencari kebenarannya.”Mama tersenyum. “Ri, DNA Anin tentu saja akan mirip dengan Jagat. Kan sudah Mama bilang, An
“Mbak Riana?”Riana menoleh. Mata bundarnya melihat sesosok perempuan cantik berkulit putih dengan badan berisi. Riasan naturalnya begitu sempurna dipadu dengan dress panjang semata kaki yang tampak casual. Tidak ada kesan centil sama sekali, seperti yang Riana pikirkan.Dalam bayangan Riana, Karisma adalah wanita muda yang centil dengan dandanan cetar ala-ala pelakor di drama yang sering dia tonton. Ternyata perempuan yang diakui sebagai selingkuhan Papa ini terlihat kalem dan dewasa. Apakah ini yang dinamakan air tenang menghanyutkan? “Saya Karisma, panggil saja Karis,” katanya lagi seraya mengulurkan tangan. “Boleh saya duduk?”“Oh, iya iya, silakan,” jawab Riana tergagap-gagap.Perempuan bernama Karis itu menggeser kursi dan duduk dengan anggun. Jari jemarinya bergerak berirama untuk merapikan rambutnya. Mata Riana sempat menyipit ketika cincin cantik di salah satu jari Karisma terkena paparan cahaya. Begitu berkilau cemerlang. Mungkin itu cincin berlian asli.“Sebelum memulai pe
“Loh, kok Mas ada di rumah?” Riana terkejut bukan main saat melihat Jagat tengah makan siang sendiri. Bagaimana bisa lelakinya secepat itu sudah berada di rumah? Jika Jagat mengantar Karisma ke suatu tempat, seharusnya Riana yang sampai terlebih dulu. Mengingat jalanan pada jam segini lumayan padat, apalagi mengendarai mobil. “Kamu udah makan, Dek? Eh, iya kamu abis ketemuan di resto ya pastilah udah makan,” seloroh Jagat dengan suara tanpa beban. Tidak menjawab pertanyaan istrinya. Riana memindai isi piring Jagat, mungkin tinggal satu atau dua suapan. Dengan porsi makan Jagat yang dia tahu betul, sudah pasti suaminya mulai makan sekitar sepuluh menit yang lalu. Rasanya mustahil …. “Apa ada sesuatu, Dek?” Jagat membuyarkan lamunan Riana, dia terlihat meletakkan sendok untuk menjeda makannya. Menatap Riana bulat-bulat. “Apa Karisma ngomong macam-macam sama kamu?” “Macam-macam gimana?” tukas Riana cepat. Mata perempuan itu segera memicing waspada saat melihat sang suami sedikit ter