Share

Ayam Kampus Suamiku
Ayam Kampus Suamiku
Author: Oscar

Part 1

"Pokoknya Ayu nggak mau, Buk. Ini kan jaman modern. Mana ada lagi jodoh-jodohan," sungutku pada Ibu dan Bapak yang kini duduk di hadapan. 

"Mau jaman apa pun itu, tetap aja anak nggak boleh ngelawan sama orang tua!" tegas Ibu.

Aku terdiam. Memang seperti itulah Ibu. Tak ingin dibantah sama sekali. Aku memandang ke arah Bapak. Mencoba memelas. Namun rasa takut Bapak sama Ibu membuatnya tak bisa berbuat apa-apa. 

"Ayu sudah punya pacar, Buk."

"Memangnya siapa yang ngijinin kamu pacaran? Kan Ibu sudah bilang. Kelak kamu akan menikah sama Aryo. Anak juragan ayam. Titik!"

Hish...

Aku bangkit dan melangkah dengan mengentakkan kaki menuju kamar. Merasa kesal dengan keputusan Ibu dan Bapak yang tiba-tiba memaksaku menikah secepatnya. 

Dulu memang sayup-sayup terdengar, bahwa orang tuaku dan orang tua Mas Aryo akan menjadi besan. Hal itu karena Bapak dan Om Triman_Ayahnya Mas Aryo_adalah sahabat lama. 

Tapi itu dulu. Dulu sekali. Yang aku dengar pun pernikahan akan dilangsungkan setelah aku wisuda dan mendapatkan gelar sarjana seperti cita-cita Ibu dan Bapak. Tapi sekarang, kenapa malah mendadak dangdut begini? 

Bahkan aku dan Mas Aryo sudah bertahun-tahun lamanya tidak pernah bertemu lagi. Aku bahkan sudah lupa bagaimana rupanya. Yang kuingat dulu, kulitnya gelap dan rambutnya kusam. Padahal dia cukup berada, di kampung kami. 

Om Triman punya beberapa lapak jualan ayam potong di pasar. Bahkan katanya punya kandang sendiri.

.

"Cie... yang mau jadi mantu juragan ayam," ledek Sari, sahabatku. 

"Ish, nggak banget deh, Sar. Aku nggak mau," sahutku kesal. 

"Lho, kenapa? Mas Aryo kan ganteng, Yu."

"Dih, ganteng apaan. Dekil gitu. Namanya tukang ayam."

"Lho, emangnya kamu belum pernah ketemu sama Mas Aryo yang sekarang?"

"Belum lah. Terakhir waktu dia nyari belut di sawah Bapak. Badannya penuh lumpur semua. Kekanakan banget nggak sih?" Sari terkikik.

"Hem? Kamu belum tau aja Mas Aryo yang sekarang. Aku aja hampir naksir."

.

Masa sih Mas Aryo anak juragan ayam itu sekarang jadi tampan. Menurut Sari, tiga tahun yang lalu dia juga pindah ke kota. Tepatnya setelah aku juga pindah untuk kuliah. 

Tapi yang namanya juragan ayam, ya pasti kerjanya juga tidak jauh-jauh dari ayam. Apa lagi  yang kudengar, setelah lulus SMA dia tidak melanjutkan kuliah. Padahal cita-citaku punya suami kerja kantoran. 

Apalagi sebulan ini aku baru menerima cinta Fandi. Senior kampusku yang baru saja diwisuda, dan mendapat gelar sarjana. Mungkin sebentar lagi akan dapat kerjaan. 

"Minggu ini keluarganya Aryo datang. Kamu harus pulang."

"Tapi, Buk...."

"Kalau kamu menolak, berenti kuliah!"

.

Akhirnya acara lamaran itu datang juga. Mas Aryo datang dengan rapi. Benar kata Sari. Dia terlihat lebih tampan sekarang. Kulitnya juga jauh lebih putih. Rambutnya lurus dan rapi. Kok bisa begitu, ya. Apa karena dulu dia suka panas-panasan? 

Ah, terserahlah. Bagaimanapun keadaannya sekarang, aku tidak boleh mengkhianati Fandi. Aku harus membuat Mas Aryo membatalkan pernikahan. Lagi pula, aku ini kan calon sarjana. Mana mungkin menikah dengan seorang tukang ayam.

Fandi merupakan kriteria ideal suami idamanku. Sarjana, dan calon pegawai kantoran. Aku harus jadi istrinya. 

.

"Mas Aryo tinggal di mana sekarang? Kok tiap Ayu pulang, nggak pernah keliatan." Aku pura-pura perhatian. 

"Iya. Mas buka usaha di kota," sahutnya dengan senyum merekah. 

"Usaha ayam?" tebakku. Dia mengangguk. 

Sudah kuduga. Tak perlu lagi kutanyakan seperti apa dan bagaimana pekerjaannya. Bisa kubayangkan, dengan kaos putih bercipratan darah, dia mencincang ayam dan menjualnya di pasar. Persis seperti Bapaknya. 

Dan aku nggak mau berakhir berdiri di sampingnya sambil memasukkan ayam-ayam itu, ke kantong plastik seperti Ibunya. Aku mau kerja di kantor. Titik. 

"Gimana kuliah kamu? Lancar?"

"Lancar dong. Tahun depan Ayu bakalan jadi sarjana."

"Alhamdulillah," ucapnya. 

Dih, senang. Pasti dia merasa bangga tahu akan menikahi gadis tak biasa. Bukan seperti gadis-gadis lain di kampung ini yang kebanyakan hanya lulus SMA. Bahkan ada juga yang hanya sebatas SMP. Sari misalnya. Sepertinya sahabat baikku itu gadis yang lebih cocok untuk Mas Aryo.

Apa lagi, Sari juga sempat naksir laki-laki di sampingku ini. Jadi tidak ada salahnya kalau aku menjodohkan mereka. 

.

Siang ini aku menunggu di depan kampus. Mas Aryo akan datang berkunjung ke kota untuk mengajakku membeli cincin. Aku tak bisa menolaknya. Kebetulan hari ini, adalah hari pertama Fandi bekerja. Jadi dia tak akan tahu kalau aku pergi dengan siapa. 

Aku sengaja tidak mengatakan apa pun padanya. Karena tahu, pernikahanku dan Mas Aryo tidak akan mungkin terjadi. 

Sekarang Fandi menjadi admin di sebuah restoran mewah di depan kampusku. Tempat makannya anak-anak orang kaya. Bahkan selama pendekatan dan mulai pacaran, tak sekali pun dia mengajakku makan di situ. 

Ah biarlah. Nanti kalau dia sudah punya uang, dia juga akan mengajakku ke sana.   

"Sudah lama?" tanya Mas Aryo yang sudah berdiri di depan sebuah mobil sedan. 

Halah. Paling juga mobil rental. Setahuku mereka cuman punya pick up untuk membawa keranjang-keranjang berisi ayam ke pasar. Tapi tak apa lah. Yang penting tidak kepanasan di jalan. Seperti saat bepergian dengan Fandi naik motor.

Aku celingak-celinguk salah tingkah. Menunggu Sari yang katanya juga mau datang. Ini satu-satunya kesempatanku. Bulan depan kami sudah harus menikah. Dan Mas Aryo harus ikhlas memilih Sari sebagai calon istrinya. 

"Sebentar ya, Mas. Lagi nunggu teman," sahutku yang mulai gelisah. 

Dia mengagguk, masih dengan senyum manisnya. Meski pun tak semanis senyum Fandi. 

[Kamu di mana, Sar? Masih mau nggak sama Mas Aryo?] Aku mengirim pesan dengan emoticon kesal. 

[Angkotnya mogok, Yu. Semua penumpang diturunin. Sepertinya sore baru sampai.]

Oh, ya ampun! Aku memukul kening sendiri. Merasa semua rencanaku sia-sia. 

"Ada apa, Yu?" Mas Aryo tampak mengernyit.

Aku tak bisa lagi berdiam diri. Mas Aryo harus mengerti posisiku. Aku tidak mungkin menikah dengannya. Ada Fandi, laki-laki yang saat ini kucintai. Aku harus jujur, apa pun yang terjadi. 

Kalau sampai Ibu dan Bapak marah, aku bisa mencari pekerjaan untuk membiayai kuliah dan uang wisudaku sendiri. 

"Mas Aryo?"

"Iya. Kenapa, Yu?"

"Ayu mau ngomong hal penting sama Mas Aryo."

"Iya, boleh. Ngomong aja. Tapi kita beli cincin dulu ya."

"Nggak bisa, Mas." 

Tentu saja aku harus menolak. Untuk apa lagi membeli cincin, jika pernikahan akan segera dibatalkan. Toh juga Sari tidak mungkin mau menerima cincin yang khusus dibeli Mas Aryo. untukku. 

"Kenapa?"

"Ini hal penting. Ayu nggak mau nunda-nunda lagi."

"Oh, ya udah. Kita ngobrolnya sambil makan aja, ya. Mas lapar. Kebetulan ini udah jam makan siang." Dia melirik arlojinya. 

Tidak masalah. Aku jadi tidak khawatir kalau-kalau dia akan pingsan setelah mendengar pengakuanku. 

"Kita makan di sana, ya." Dia menunjuk tepat di restoran impianku, tepat di depan kampus. 

Kebetulan Fandi juga bekerja di sana. Walaupun ditempatkan di gedung kantor yang lain. Tak apa. Ini akan menjadi yang pertama dan terakhir kalinya Mas Aryo mengajakku ke sana. 

Dua porsi nasi ayam bakar sudah terhidang di meja. Membuat air liurku hampir menetes. Tanpa menjaga image Mas Aryo makan dengan lahap. 

"Nanti saja ngomongnya. Mas laper," serunya dengan mulut penuh terisi.

Aku pun tak ketinggalan. Aroma ayam bakar dan nasi uduk membuatku melupakan sejenak apa yang ingin kuutarakan. Dan akhirnya semua hidangan selesai kami eksekusi. 

"Gimana? Enak?" tanyanya sembari mengelap mulut dengan tisu. 

"Enak, Mas. Ini kan restoran mewah. Walaupun hidangannya sama seperti warung ayam bakar di pinggir jalan. Pasti mas Aryo harus bayar mahal."

"Nggak kok. Kamunya aja yang nggak pernah masuk ke sini."

Duh, ketahuan deh. Boro-boro makan di sini, akhir bulan bisa makan nasi saja sudah bagus. 

"Namanya juga tau diri, Mas. Kan kasihan Ibuk sama Bapak. Harus nyiapin uang kuliah dan uang jajan bulanan buat Ayu. Makanya harus hemat," ucapku dengan jujur. 

"Hem? Baiknya calon istri Mas ini. Ternyata Mas nggak salah pilih."

Ya ampun. Kenapa dia bicara seperti itu. Membuatku merasa tidak enak saja. 

"Lain kali kalau mau makan, tinggal pesan aja ya, Yu. Ini juga akan jadi milik kamu kok."

Aku yang sedang menyeruput jus jeruk mendadak tersedak.

"Kamu nggak papa, Yu?" tanyanya khawatir. 

"Maksud Mas Aryo apa?" Aku memukul-mukul dadaku yang terasa sakit. 

"Oh, itu. Mas lupa bilang. Restoran ayam ini adalah usaha Mas. Salah satu dari empat cabang yang ada di kota ini."

Eh? Sejenak mataku mengelilingi setiap sudut ruangan. Semua ornamen berhubungan dengan ayam. Menunya pun rata-rata olahan daging ayam. Dan nama restoran ini, disesuaikan dengan nama daerahnya. 

"Restoran Ayam Kampus."

Aku tercengang. Mendapati hal yang begitu mengejutkan. Bukan hanya mendapatkan suami yang kerja kantoran, tapi seseorang yang mampu menggaji pegawai kantoran. 

"Ayu?" panggilnya. 

"Iya, Mas?" jawabku yang baru tersadar dari lamunan. 

"Tadi mau ngomong apa?"

                          ********

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status