Share

Part 5

Lagi-lagi Mas Aryo mempertanyakan hal-hal yang seharusnya tak perlu kujawab. Kupikir semuanya sudah berjalan dengan lancar tanpa hambatan. Menikahi pengusaha muda merupakan hal keberuntungan buatku. Kenapa harus terusik karena masalah dengan Fandi?

"Ayu lupa, Mas. Mahasiswa di sana kan banyak. Mana bisa Ayu tandai satu persatu. Apa lagi bukan teman seangkatan. Ayu kan jarang bergaul." Aku terpaksa berdusta demi kebaikanku dan juga Fandi.

"Oh, ya udah kalau nggak kenal." Mas Aryo tersenyum memandangku.

Tapi kali ini senyumnya terkesan datar. Bibirnya tak sampai membentuk bulan sabit seperti biasa.

"Mas Aryo mau Ayu pijat?" bujukku, mengalihkan perhatian.

"Nggak usah, Yu. Mas nggak capek kok. Kita tidur aja, yuk."

"Oh, ya udah, Ayu juga udah ngantuk kok."

.

Aku kembali mengangkat piring kotor bekas santapan gerombolan ibu-ibu arisan. Bayangkan, berapa banyak tisu yang mereka habiskan dan berserakan di atas meja. Air-air dalam gelas bertumpahan membasahi benda berbahan kayu tersebut. Membuatku merasa kesal atas sikap mereka.

Sudah berumah tangga pun masih bersikap seperti ABG. Membuat pekerjaanku jadi bertambah banyak saja. Usai membersihkan semua pekerjaan, aku kembali berdiri menanti perintah selanjutnya.

Sudah menjadi kebiasaan di restoran ini, meskipun sedang tak ada tamu kami harus stay berdiri. Tak boleh bersantai atau sekedar duduk-duduk dan mengobrol.

Namun terkadang ada juga yang sering abai dan melanggar peraturan saat tak ada yang mengawasi. Seperti saat ini misalnya. Beberapa karyawati sedang mengobrol dengan suara agak pelan. Pastilah itu sedang menggibahi seseorang.

Jiwa kepoku meronta-ronta. Indera pendengaranku tak bisa diajak kompromi lagi. Bahan gibahan mereka sepertinya mencium aroma-aroma busuk seorang pelakor. Aku pun mengendap-endap bergeser secara horizontal. Melangkah sedikit demi sedikit layaknya menari poco-poco. Hingga sampailah aku berdiri di samping mereka.

"Iya tuh. Padahal kan Pak Aryo sudah menikah. Tapi Mbak Sinta tetap aja keganjenan kalau di depan Pak Aryo," ucap salah satu dari mereka.

Tiba-tiba saja jantungku terasa panas. Jadi selama ini Mbak supervisor itu naksir sama Mas Aryo? Atau jangan-jangan selama ini mereka pernah pacaran. Kenapa Mas Aryo tidak berterus terang?

"Pak Aryo juga aneh. Menikah kok diam-diam. Mana nggak ngundang-ngundang lagi. Istrinya jelek kali, ya. Makanya Pak Aryo malu." Mereka cekikikan. Aku yang menguping semakin hareudang sembari memegangi wajahku yang mereka bilang jelek.

"Denger-denger sih dijodohin. Makanya Pak Aryo terpaksa menikah. Dengan gadis kampung pula. Pasti Pak Aryo nggak bisa menolak tuh. Padahalkan banyak gadis-gadis kaya dan mahasiswa di kampus depan yang juga naksir sama Pak Aryo," timpal yang satunya lagi.

Waduh. Rasanya ingin sekali buka baju dan berendam di air mancur halaman saking panasnya. Jadi, Mas Aryo juga terpaksa menerima perjodohan ini? 

Ternyata aku salah besar. Bukan aku korbannya, yang dengan senang hati menerima pernikahan ini. jadi, selama ini dia hanya pura-pura bahagia, karena menuruti keinginan orang tua saja?

Detik berikutnya mereka kembali berbisik-bisik dan langsung bubar. Kulihat ke arah mana tadi mereka melirik. Dan benar saja, Mas Aryo jalan beriringan dengan Mbak Super, entah dari mana.

Jangan-jangan tadi habis bermesraan di kantor Mas Aryo. Ish, bikin kesal saja. Mas Aryo jadi tidak seperti apa yang aku pikirkan selama ini. Jahat.

"Kok melamun?" Suara itu mengejutkanku.

"Eh, Fandi. Eh, maksudnya, Pak Fandi." Aku sedikit sungkan.

"Biasa aja lagi, Yu. Kan lagi nggak ada orang. Kita kaya biasa aja," sahutnya dengan ramah.

Hilang sudah amarah dan kebenciannya waktu itu. Seperti tak ada dendam dan berniat membalas perlakuanku waktu itu. Harusnya dengan jabatan kami yang berbeda jauh ini, dia bisa saja membuatku lebih sulit. Tapi dengan berbaik hati dia malah bersikap ramah dan masih perhatian.

"Nggak bisa gitu dong, Pak. Kita kan sama-sama pekerja. Harus bersikap profesional."

"Iya, iya. Aku tau. Kan aku cuma nanyak? Sebagai menejer, boleh dong negur karyawannya yang kerja nggak becus?"

"Nggak becus gimana? Semua pekerjaan udah beres kok."

"Ya, seperti melamun kaya tadi," sindirnya.

Aku tertawa malu. Sedikit merasa terhibur setelah mengalami down dengan yang aku dengar dari rekan-rekanku tadi.

"Aku nggak melamun kok."

"Oh jadi yang tadi itu apa?"

Aku kembali terdiam. Kata-kata mereka tadi memang membuatku syok dan merasa sedikit... cemburu.

Ya, kurasa aku mulai merasakan perasaan itu pada suamiku saat ini. Merasa takut kalau-kalau apa yang mereka katakan tadi benar. Benar-benar merasa takut kalau Mas Aryo sampai berpaling dan memilih wanita lain.

"Udah deh, Fan. Godain terus. Kerja gih!" seruku kemudian.

"Ayu!" tegur seseembak tiba-tiba. "Punya sopan santun nggak sama atasan?" ucapnya dengan nada tidak suka.

Aku dan Fandi saling menoleh. Tak menyangka kalau supervisor itu mendengar ucapanku barusan. Entah sejak kapan dia berada di sana dan mendengarkan percakapan kami.

"Eh, iya Mbak. Maaf." 

"Sebaiknya kamu bisa menjaga sikap. Jangan sok akrab sama atasan. Bisa?"

"Iya, Mbak. Bisa kok."

"Lagian anak baru berani-beraninya bertingkah. Dilarang tebar pesona di sini ya. Di sini tempat anak baik-baik. Mau jadi ayam kampus beneran, ya?"

Deg! Pedas sekali kata-katanya. Lebih pedas dari sambal ayam geprek level sepuluh.

"Maaf, Mbak Sinta. Saya tadi cuman bertanya apa pekerjaannya sudah selesai. Ayu nggak ada bersikap lancang kok." Fandi ikut buka suara membelaku.

"Wah, wah, wah. Kayaknya ada yang lagi pedekate nih. Main bela-belaan segala. Di sini nggak boleh ada yang pacaran ya. Semua harus bekerja secara profesional. Boleh sih pacaran. Tapi harus di luar. Jelas?"

"Ada apa ini?" Kembali suara seseorang muncul di tengah-tengah percakapan kami. Suara bariton yang tak kusangka keluar dari mulut orang itu.

"Siapa yang sedang pacaran?" tegasnya lagi.

                                  *******

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status