Share

Part 6

Kenapa tiba-tiba Mas Aryo bertanya hal seperti itu? Apa karena dia mendengarkan ucapan Mbak super tadi? Kenapa aku sampai tak menyadari kehadirannya.

"Ini, Mas. Sepertinya ada yang cinlok," sahutnya sok imut.

Bersikap sangat manis dan lemah lembut. Tak seperti saat menegur kami barusan.

Sebentar-sebentar. Mas? Dia memanggil suamiku dengan sebutan Mas? Bukannya dia sendiri yang memarahiku barusan karena memanggil dan menyebut nama Fandi? 

Jadi benar, ternyata selama ini hubungan mereka memang sedekat itu. Ternyata selama ini aku memang belum mengenal Mas Aryo seutuhnya. Ternyata meskipun sudah menikah, Mas Aryo belum sepenuhnya menjadi milikku. Masih ada banyak rahasia dan kehidupannya yang belum kuketahui.

"Siapa?" selidik Mas Aryo.

"Sama-sama anak baru dong, Mas. Mereka cocok juga, ya?"

Mas Aryo langsung melirik ke arahku. Lalu kembali menoleh ke arah Mbak super.

"Kenapa kamu bisa menyimpulkan kalau mereka terlibat cinta lokasi? Apa yang mereka lakukan?"

Seketika aku langsung menoleh ke arahnya. Ingin menyaksikan sendiri bagaimana ekspresi wajah suamiku. Ucapannya terlihat tegas dan berwibawa. Sangat berbeda sekali dengan cara bicaranya saat bersamaku. Apakah ini memang karakter aslinya?

"Mereka cuma terlihat akrab kok, Mas. Kalau sampai mereka berbuat yang enggak-enggak, aku pasti udah langsung kasi sangsi sama mereka. Emang begitu peraturannya, kan?"

"Sepertinya anda salah paham, Mbak Sinta. Saya dan Ayu tidak mungkin selancang itu. Apalagi kami sama-sama karyawan baru. Mana mungkin berani bertingkah yang tidak masuk di akal. Sebaiknya Mbak Sinta jangan asal memfitnah." Ucapan Fandi tak kalah tegas.

Benar juga. Meskipun Mbak super lebih dulu bekerja di sini, namun jabatan Fandi lebih tinggi darinya. Seharusnya dia juga ikut menghargai dan menghormati Fandi sebagai atasan. Bukan malah memperlakukan Fandi layaknya karyawan training sepertiku.

Fandi terdengar tak terima dengan tuduhan yang memang tak pernah kami lakukan. Hubunganku dan Fandi sudah berakhir. Meski kurasakan masih ada perhatiannya padaku.

"Eh, begini. Maksud saya...."

"Saya harap Mbak Sinta dan Pak Aryo tidak salah paham lagi. Saya hanya berusaha menegur Ayu yang kedapatan sedang melamun saat sedang bekerja. Apa itu salah?"

Mereka berdua terdiam. Begitu pun aku yang tak sanggup lagi mengatakan apa pun. Entah apa yang ada dalam benakku saat ini. Rasanya ingin menangis saja. Entah karena perihal yang mana. Apakah karena kedekatan Mas Aryo dan Mbak yang tidak mau dipanggil Ibu, atau karena tuduhan dan kecurigaan Mas Aryo padaku.

"Maaf, saya yang salah. Saya minta maaf. Lain kali saya tidak akan berbuat lancang dan tidak sembarangan lagi bersikap tidak sopan pada atasan."

Aku langsung pamit dan berlari ke toilet. Menghidupkan keran air sekencang-kencangnya agar tak ada yang mendengar suara perutku yang dari tadi memang mulas. Tentu saja sambil menangis.

.

Seperti malam-malam sebelumnya, supir pribadi yang bekerja pada Mas Aryo menjemputku untuk segera pulang. Sengaja Mas Aryo menyiapkan sebuah mobil, lengkap dengan supirnya untuk mengantar jemput. Seandainya orang lain bertanya, aku bisa saja mengatakan kalau itu adalah taksi online.

Mereka tak akan mungkin memperhatikan secara detil, bahwa yang mengantarku mobilnya itu-itu saja.

"Mas cuman mau kamu merasa nyaman jadi istri Mas. Mas nggak suka kalau nanti ada karyawan lain yang nawarin diri buat ngantar kamu pulang. Apa lagi karyawan cowok," ucapnya kala itu.

Kata-kata yang saat itu membuatku merasa diperhatikan. Merasa kalau Mas Aryo benar-benar sayang dan takut kehilanganku. Tapi kenyataannya sekarang apa? Dia malah terlihat berbeda dari yang kukenal selama ini.

"Capek, Yu?" Seperti biasa, dia yang sudah bersantai memakai piyama sedang menungguku di tempat tidur.

Mas Aryo memang selalu pulang lebih dulu. Tentu saja karena dia pemiliknya. Sementara karyawan yang lain harus pulang hingga restoran tutup sesuai shift kerja.

"Iya, capek banget!" ketusku. Lalu mengambil handuk dan bergegas ke kamar mandi.

Setelah selesai, aku membaringkan diri ke sampingnya yang tengah duduk di sisi ranjang.

"Kok langsung tidur? Capek banget, ya?" Dia menyentuh dan mulai memijat betisku.

Dengan sigap aku menarik diri dan bergerak agak menjauh. Masih tetap dalam mode diam.

"Kenapa, Yu? Kamu nggak suka lagi kalau Mas nyentuh kamu?"

Lagi-lagi aku diam, dan mencoba memejamkan mata. Kata-katanya kembali seperti Mas Aryo yang kukenal sebagai suamiku. Lembut dan perhatian. Bukan lagi pria tegas dan berwibawa seperti Bos Ayam Kampus di restoran sore tadi.

"Yu? Ada apa? Bukannya seharusnya Mas yang marah atas sikap kamu?" Dia mulai membahas masalah tadi.

"Kenapa diam aja? Mas salah apa? Mas percaya dan tidak mempermasalahkan ucapan Sinta. Bukannya seharusnya kamu mengucapkan sesuatu sama Mas? Seperti terima kasih misalnya."

Aku masih terdiam. Ada yang terasa perih di hati ini. Mataku mulai menghangat.

"Yu?" Dia mencoba menyentuh bahuku. Namun lagi-lagi aku mengelak dan semakin menjauh.

"Kamu benar-benar udah nggak mau bersentuhan lagi dengan Mas? Atau sekarang kamu sedang membayangkan menejer baru itu yang seharusnya ada bersama kamu saat ini?"

"Mas!" Aku langsung berbalik dan membentaknya.

Dengan air mata yang sudah membasahi pipi tentunya. Merasa sakit karena akhirnya dia juga termakan dengan ucapan Mbak super.

"Ayu?" Dia tampak terkejut dengan wajahku yang kini basah oleh air mata. Dia bahkan tak tahu kalau aku sedang menangis.

"Mas jahat! Tega-teganya Mas nuduh Ayu kek gitu. Padahal Mas sendiri yang pacaran sama Mbak super itu. Iya, kan?"

"Mbak super?" Dahinya mengernyit. "Super apa?"

"Supervisor!" tegasku. "Mas Aryo pacaran sama dia kan? Kalau Mas yang selingkuh, kenapa pake nuduh-nuduh Ayu segala? Kalau memang Mas Aryo nggak suka dengan perjodohan ini, seharusnya Mas Aryo bilang. Nggak usah sok baik dan sok mesra sama Ayu. Ayu benci sama Mas. Mas Aryo jahat!" Aku kembali menangis sembari menutup wajahku dengan telapak tangan.

"Ayu...? Siapa yang udah ngomong kek gitu?" tanyanya dengan lembut. Mencoba meraih tangan yang menutupi wajahku.

"Semua karyawan Ayam Kampus tau kalau Mas Aryo dan Mbak super pacaran. Mau nyangkal apa lagi? Sampai kapan Mas mau bohongin Ayu?"

"Itu, nggak benar, Yu. Mas nggak ada hubungan apa-apa dengan Sinta."

"Kalau nggak ada apa-apa, kenapa dia lancang sekali berani manggil Mas Aryo dengan sebutan Mas juga? Kenapa nggak manggil Bapak kayak yang lain? Tadi sore ngapain di kantor berduaan? Apa sebenarnya Mbak super itu juga istrinya Mas Aryo?"

Kulihat dia menelan saliva dengan pertanyaan beruntun dariku.

"Jawab, Mas! Kenapa diam?"

                        ************

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status