Sejurus dia menatapku dalam. Kemudian sedikit menahan tawa. Seolah apa yang aku katakan tadi adalah sebuah lawakan untuk menghiburnya."Kamu cemburu?" tanyanya tiba-tiba.Cemburu? Dia sedang bertanya apa aku merasa cemburu? Pertanyaan macam apa itu. Jelas-jelas seorang istri harus bertanya tentang kedekatan suaminya bersama wanita lain yang sama sekali belum di ketahuinya.Apalagi aku dan Mas Aryo menikah karena perjodohan. Pastilah di awal-awal pernikahan merupakan waktu yang tepat tuk saling mengenal satu sama lain. Dan juga mengenalkan orang-orang terdekat mereka."Kenapa, Mas? Apa Ayu nggak punya hak untuk bertanya? Atau memang Ayu nggak boleh tahu apa pun tentang kehidupan Mas Aryo sebelum menikah sama Ayu?""Mas cuman nanyak. Sebagai istri Mas, kamu cemburu nggak?""Ayu nggak tau. Ayu juga nggak tau gimana perasaan kita. Mas Aryo juga belum pasti langsung jatuh cinta sama Ayu secepat itu, kan? Bisa aja Mas Aryo nikahin Ayu karena nggak mau ngelawan perintah orang tua. Benar, ka
Aku masih heran dengan apa yang Wina katakan barusan. Kenapa tiba-tiba dua karyawan itu menghilang? Ingin bertanya pada Mas Aryo, tapi tak bisa. Peraturan di sini, tak boleh memegang ponsel saat jam operasional berlangsung. Semua alat komunikasi itu dikumpulkan, dan hanya boleh diambil saat jam istirahat dan pulang kerja. Jadi, aku harus bertanya pada siapa lagi? Mbak super? Boro-boro dia mau jawab. Menyahut sapaanku pun belum tentu sudi. Kenapa bukan dia saja yang dipindahkan ke cabang lain. Kalau perlu, ke luar negeri sekalian. Biar tidak menggoda suami orang lagi.Tidak ada jalan lain, aku harus bertanya pada Fandi. Hanya dia satu-satunya orang yang punya jawaban atas pertanyaanku saat ini. Aku jadi curiga, jangan-jangan ini perbuatan Mas Aryo.Mungkin dia takut kalau aku akan kembali terpengaruh dengan pembicaraan mereka yang suka bergosip. Atau, agar supaya aku tak lagi mendengar dan tahu apa pun tentangnya yang tak boleh kuketahui.Ish... hal ini membuatku semakin pusing saja.
Apa yang harus aku jawab? Sejenak aku bepikir. Tak ada gunanya aku bersikap egois pada orang lain. Aku yang notabenenya baru saja kenal dan memasuki kehidupan Mas Aryo, tak boleh gegabah dalam bertindak.Tak bisa begitu saja menyingkirkan orang-orang di kehidupan Mas Aryo sebelum mengenalku. Aku tak tahu berapa banyak pengorbanan orang-orang di sekitarnya, guna membuat kehidupan suamiku jadi seperti sekarang ini. Dan aku tiba-tiba saja datang dan bisa menikmati semuanya."Gimana, Yu? Apa Mas harus memindahkan Sinta?" tegur Mas Aryo, dengan tangan yang tidak terlepas dari bahuku.Sejenak aku menatap manik matanya. Ada sebuah ketulusan di dalam sana. Tak pantas rasanya aku bersikap meragukan dan sama sekali tak percaya padanya."Nggak usah, Mas. Ayu percaya kok. Mas Aryo nggak akan berbuat macam-macam di belakang Ayu." Aku mengungkapkan keputusanku."Betulkah? Kamu nggak marah?" "Enggak kok, Mas. Maafin Ayu, ya. Ayu udah salah sangka dan nuduh Mas Aryo macam-macam.""Iya, Yu. Mas juga
"Lho, kok Alhamdulillah, Yu?" tanyanya heran."Eh, maksud Ayu, Alhamdulillah karena cuman kena macet, Mas. Ayu tadi cemas, takutnya Mas Aryo kenapa-napa. Untung cuman kena macet, doang." Lagi-lagi aku beralasan. Dan ini entah untuk yang ke berapa kalinya.Terkadang aku merasa bersalah juga. Selalu berusaha menutup-nutupi dan menyembunyikan masa laluku dari suami sendiri. Hal ini aku lakukan karena belum sepenuhnya mengenal suamiku saat ini. Belum tahu bagaimana perangainya jika tahu aku punya pacar sedang dalam masa perjodohan dengannya.Tidakkah itu artinya aku sudah berselingkuh, meskipun aku sempat lupa kalau ternyata kami telah dijodohkan? Aku juga takut kalau-kalau dia tidak terima dan menjadikannya alasan untuk menceraikan aku.Bagaimanapun juga, aku masih belum yakin dengan perasaan Mas Aryo padaku. Tugasku saat ini adalah membuat Mas Aryo jatuh cinta dan tidak berniat meninggalkanku. Setelah itu, baru aku akan berterus terang dan meminta maaf karena telah membohonginya."Oh,
Aku menelan saliva hingga tenggorokan ini rasa tercekat. Bangunan-bangunan di tempat sunyi ini lebih mirip sebuah villa. Indah dan rapi. Ada danau buatan juga di sampingnya. Gak mungkin tempat ini dijadikan Mas Aryo sebagai kandang ayam.Paling-paling dia hanya mengerjaiku saja. Dia hanya ingin memberi sebuah kejutan manis untukku dengan mengajak jalan-jalan. Eh, tapi tidak. Semua orang memakai pakaian yang sama persis. Ada logo Ayam Kampus di belakang punggung mereka. Duh, bikin aku bertambah bingung saja."Mau liat-liat nggak?" tanyanya membuyarkan lamunanku."Liat apa?""Ya liat ayam dong, Yu? Jadi mo liatin apa? Mantan?" "Mantan siapa? Mantan Mas, ya?" Aku menekuk wajah. Ada rasa hangat menjalar di sekujur tubuhku.Jangan-jangan benar kalau Mas Aryo punya mantan di sini."Enggak lah. Mantan dari mana. Dari kecil kan udah punya calon istri. Ngapain pacaran?"Nyesss... kena lagi aku kan. Kenapa sih candaan Mas Aryo ini selalu tepat sasaran. Membuat aku selalu was-was dan merasa ber
Seperti biasanya, sepulang kuliah aku bersantai di bawah pohon area kampus sembari menunggu jam masuk kerja. Sengaja aku tidak pulang terlebih dahulu karena tak ingin menghabiskan banyak waktu di perjalanan.Lelah membaca buku, aku mengambil telepon genggam dari tas usangku. Kubuka aplikasi whatsapp dan mencari nomor Sari di sana.[Sar, udahan dong ngambeknya.] Aku mengirim pesan pada temanku yang enggan berbicara lagi padaku sejak hari itu.Dia bahkan sama sekali tak menegurku, meski waktu itu ia bergabung dengan yang lain sebagai panitia penjaga hidangan di acara pernikahanku. Apa dia sekecewa itu karena tidak jadi kujodohkan dengan Mas Aryo? Atau mugkin dia juga sudah lama naksir dan benar-benar jatuh cinta sama suamiku. Padahal aku sudah memberikan alasan yang paling masuk akal. Bahwa aku tak bisa menolak keinginan Ibuk yang cerewetnya tak mungkin bisa dibantah.[Sari. Jawab dong.] Kukirimkan lagi pesan berikutnya karena kata-kataku tadi masih juga bercentang dua abu-abu. Dia bel
"Oh, mungkin tau dari Sandi, Yu," jawabnya tenang."Sandi? Sandi siapa?" Aku lupa-lupa ingat."Kan Mas udah pernah bilang kalau Kakak laki-lakinya Sinta itu kerja sebagai pengawas di kandang ayam. Nah, yang kemarin ngantar kita keliling itu namanya Sandi."Benar juga. Mas Aryo sudah pernah bilang rupanya. Hanya saja kemarin mungkin aku yang tidak terlalu fokus saking banyaknya orang di sana.Pantas saja wanita yang tidak mau disapa Ibu itu uring-uringan karena cemburu. Aku menyunggingkan senyum, sembari bangkit dari pangkuannya."Ya udah, Mas Aryo makan ya. Ayu mau lanjutin tugas dulu. Nanti Mbak super ngamuk-ngamuk lagi sama Ayu.""Nggak jadi disuapin?" godanya."Nanti aja di rumah," balasku dengan senyuman nakal. Sebuah senyum yang merekah terlihat indah dari bibirnya."Awas ya kalau Mbak super masuk ke sini terus duduk di pangkuan Mas Aryo kayak Ayu tadi," ancamku sembari memasang tampang horor.Bukannya takut, dia malah semakin tertawa."Memangnya Mas cowok apaan!" Aku ikut tertaw
Lagi-lagi ilmu dukunnya kambuh lagi. Setiap bercanda selalu saja menusuk hati karena kenyataan itu benar adanya. Membuatku jadi paranoid sendiri dan menganggap dia tahu segalanya tentang aku.Tapi mana mungkin. Aku dan dia sama-sama baru bertemu setelah tak tinggal sekampung lagi untuk sekian lama. Bahkan sebelum aku tamat SMA tak pernah lagi saling menyapa, hingga membuatku lupa bahwa dia pernah ada.Si cowok dekil yang kini sudah berubah jadi tampan dan rupawan."Kenapa sih, Mas Aryo godain Ayu terus soal Pak Fandi? Padahal Ayu nggak terlalu dekat sama dia." Aku mulai mengorek informasi. Siapa tahu suamiku memang benar curiga."Mas cuman bercanda kok, Yu," jawabnya penuh kelembutan. Bercanda kok kebetulan benar semua. Apa itu yang disebut insting seorang suami? Eh, bukannya seharusnya seorang istri yang punya insting seperti itu? Kan kebanyakan suami yang selingkuh."Kamu nggak marah atau ngambek lagi sama Mas, kan?"Dih, takut. Kalau takut aku marah, kenapa mengungkit-ungkit lagi