Share

Part 3

"Mas, pulang kuliah, Ayu kerja di restoran, ya?" pintaku saat kami bersantai di balkon kamar. 

"Ngapain kerja, Yu. Kalau mau apa-apa bilang aja sama, Mas," sahutnya dengan lembut. 

"Biar nggak bosan, Mas. Dari dulu Ayu ingin sekali bekerja bantu Ibu sama Bapak. Tapi nggak pernah diijinin."

"Itu kan karena kamu harus fokus kuliah dulu."

"Lho, Mas kok tau?"

"Tau dong. Semua orang tua kan inginnya begitu."

"Boleh ya, Mas?"

"Belum ada lowongan yang kosong, Yu. Lagian kan kamu kuliahnya pagi. Gimana mau kerja di kantor?"

Kenapa sih Mas Aryo selalu peka. Selalu tahu tentang keinginan dan cita-citaku bekerja sebagai pegawai kantor. 

"Ayu kan belum jadi sarjana, Mas. Mana mungkin Ayu minta posisi di kantor."

Lagi pula mana mungkin aku berani, sedangkan aku tahu bahwa Fandi sudah duluan bekerja di kantor mereka. Aku tidak mungkin bertemu dengannya. Apa lagi membiarkan Mas Aryo sampai tahu kalau kami pernah pacaran. 

"Boleh ya, Mas?" Aku kembali merengek. 

Dia diam sejenak, lalu tersenyum mengangguk. 

"Nanti Mas bilang sama SPV nya, ya. Biar dia yang nentuin kamu di posisi mana."

"Makasih ya, Mas." Aku memeluknya dengan erat. 

"Oh iya, Mas. Boleh minta sesuatu lagi nggak?"

"Apa lagi, Yu?"

"Jangan bilang, kalau Ayu istrinya Mas Aryo, ya?"

.

Sepulang kuliah aku langsung menuju restoran. Menemui seorang wanita muda yang tak lain adalah SPV yang disebut Mas Aryo semalam. 

"Untuk saat ini posisi yang lain masih full. Jadi sementara ini, kamu kerjanya jadi 'joker' dulu," ucap wanita berkulit kuning langsat itu. 

Joker? Apa itu? 

Setahuku joker adalah badut psikopat di film Batman. Apa maksudnya saat ini aku menjadi tukang potong dan mencincang ayam laksana seorang psikopat?

Ish, apa-apaan ini. Padahal bayangan menyentuh ayam kemarin sudah terbang bersama angin, begitu aku tahu kalau suamiku adalah Bos 'ayam kampus'. Masa aku harus bekerja seperti itu lagi. 

Ada hasrat tuk mengurungkan niat. Ternyata meniti karir di awal bekerja itu memang sulit. Apa lagi tanpa ijazah sarjana. Semua orang pasti memandang rendah dan sepele dengan kemampuan kita. 

"Bagaimana? Bersedia?"

"Maaf, Bu. Saya tidak bisa memotong ayam. Biasanya kalau ke pasar minta dibersihkan dan dipotong sekalian sama penjualnya," sahutku penuh sesal. 

"Yang nyuruh kamu motong ayam siapa?" Kulihat matanya menyipit memandangku. 

Apa aku salah? 

"Jadi, joker itu apa, Bu?"

"Joker itu istilah untuk karyawan yang kerjanya ke sana kemari. Kadang jadi waittress, kadang menggantikan kasir, kadang yang menyambut tamu sebagai greeter. Sudah mengerti?"

Oh, begitu. Jadi istilah itu seperti pada permainan kartu. Lambang joker bisa masuk ke permainan mana saja, tanpa harus menunggu lambang yang sama dengan lambang yang lain. 

Haish, apa sih. Kenapa harus memakai filosofis segala. Bilang saja kalau posisiku sekarang sebagai pesuruh atau jongos. Kenapa harus memakai istilah yang mengerikan. Tapi ya sudahlah. Tak ada salahnya mencoba. Kalau mau sukses kan harus mulai dari bawah dulu. Sembari menunggu Ijazah sarjanaku tahun depan. 

"Iya, Bu. Saya bersedia."

"Baguslah. Satu lagi, ya. Nama kamu Ayu, kan?"

"Iya, Bu. Saya Ayu."

"Jangan panggil saya Ibu. Panggil aja Mbak Sinta. Saya masih singel."

Ouh... Tidak penting!

.

Hari ini aku mulai bekerja, setelah melakukan Interview kemarin. Tak apa menjadi pesuruh, yang penting di rumah Mas Aryo tetap memperlakukanku seperti nyonya Bos. 

"Ayu, tolong lap meja delapan, ya!"

"Ayu, angkat piring kotor di lesehan, ya!"

"Ayu, meja nomor dua puluh minta bill!"

"Ayu, antar minuman ini ke ruang VIP."

"Ayu!"

"Ayu!"

"Ayu!"

Huft... Aku terduduk lemas di sudut dapur tempat cuci piring, setelah mengantarkan setumpuk piring kotor. Ternyata ini tidak mudah. Tapi sudah terlanjur malu sama Mas Aryo. 

Kemarin dia sudah memperingatkan. Namun aku tetap bersikeras dan meyakinkan bahwa aku ini seorang pekerja keras. Gengsi dong kalau harus menarik ucapanku kembali karena masalah sepele seperti ini. 

Baru juga beberapa hari. Lama-kelamaan aku pasti terbiasa. 

.

"Capek, Yu?" tanya Mas Aryo sembari memijat kakiku yang sedang rebahan di atas ranjang. 

Aku mengangguk dengan bibir mengerucut. Dia tertawa. Dicubitnya pipiku dengan gemas. 

"Ya udah. Nggak usah kerja. Nanti kalau butuh apa-apa tinggal bilang sama Mas."

"Ayu nggak papa, Mas. Pekerjaan kek gitu gampang. Ayu udah biasa kok ngerjain pekerjaan rumah kaya gitu. Cuman jumlahnya lebih banyak aja," sanggahku dengan menggerakkan bola mata ke atas. 

Lagi-lagi Mas Aryo tertawa. 

"Ish, istri Mas ini makin hari makin nggemesin aja. Lucu," ucapnya lagi. Kali ini dengan menarik hidungku. 

"Lama-lama juga terbiasa kok. Mas Aryo tenang aja. Ayu kuat. Pokoknya Mas Aryo jangan khawatir. Ayu profesional. Meskipun Ayu istri Bos Ayam, tapi ayu tetap nurut kaya anak ayam."

Dia tak henti-hentinya tertawa. 

Ya, aku harus kuat. Kasihan Ibu dan Bapak kalau terus-terusan memberikan uang padaku. Eh, tapi setelah menikah, Ibu dan Bapak masih mengirim uang tidak, ya? Terus, uang kuliah siapa yang bayar?

Mana mungkin kutanyakan hal ini pada suamiku. Bisa-bisa dia benar-benar menganggapku matrealistis. Walaupun itu benar. Tapi kan tidak harus ditunjukkan sekarang juga.

Aku harus benar-benar membuat Mas Aryo bangga dan tidak sia-sia memperistri wanita sepertiku. 

.

Semakin hari semakin terbiasa. Di hari ke tujuh aku bekerja, sudah bisa menyesuaikan diri. Karyawan lain banyak yang membantu. Kecuali seseembak yang tidak mau dipanggil Ibu. 

Semuanya berjalan lancar-lancar saja. Bahkan saat berpapasan dengan suami sendiri. Kami pura-pura tidak saling mengenal. Walaupun terkadang Mas Aryo nakal dengan mencolek daguku saat bersisian. 

Duh, kalau dilihat orang bagaimana? Apa lagi terkadang aku juga ikut-ikutan nakal dengan mencubit perutnya sambil lalu. Eh! 

Tapi untungnya semua tidak terjadi masalah. Meski aku dan Fandi bekerja pada Bos yang sama, tapi kami tidak pernah bertemu sekali pun. 

Dia hanya bertugas di kantor pusat. Tak pernah terjun langsung ke Restoran. Jadi semuanya aman-aman saja. Fandi tidak akan tahu aku bekerja di sini. Dan Mas Aryo pun juga tidak akan menyadari kalau sebelum menikah dengannya, aku masih punya pacar yang sekarang ini juga menjadi anak buahnya. 

Lagi pula, setelah percakapan aku dan Fandi malam itu, dia langsung memblokir nomorku. Mungkin sangat sakit hati dan tak ingin lagi berhubungan denganku. 

Sejak saat itu kami putus kontak. Dan kurasa memang itu lah jalan yang terbaik. 

"Perhatian semuanya." Si Mbak yang tidak mau dipanggil Ibu itu mulai memulai pengumuman. Sore ini seluruh kru mengadakan briefing. 

"Kita kedatangan menejer baru. Mulai sekarang, kalian harus menjaga sikap. Mengerti?" Kami semua mengangguk. 

Tak lama muncullah dua orang pria berpostur yang hampir sama tinggi. Mereka berjalan dari arah kantor sang pemilik. Dan aku mengenal keduanya. Apakah salah satu dari mereka adalah menejer baru yang disebutkan Mbak Supervisor tadi? 

Ya, dua orang laki-laki yang kini berdiri dihadapan kami adalah Mas Aryo_suamiku_dan juga....Fandi. 

                            ********

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status