Share

Part 2

"Ayu?" Sekali lagi dia memanggil. 

Kali ini aku sengaja tak menyahut. Bingung harus mengatakan apa. Tiba-tiba rasanya hatiku tak rela menolak laki-laki sepersepuluhnya sultan ini. Begitu bodohnya jika sampai aku menyia-nyiakan kesempatan langka ini. 

Ternyata tak ada orang tua yang ingin menjerumuskan anaknya. Pilihan mereka tetap yang terbaik. 

Aku masih memandangnya dalam diam. Menatap wajahnya lamat-lamat. Aroma bumbu ayam di penjuru ruangan ini semakin menambah kadar ketampanan wajahnya. Kenapa aku tak menyadari hal itu sebelumnya. 

Lalu sebuah notifikasi w******p membuatku tersentak.

[Ayu, yang sabar ya. Aku udah dapet tumpangan. Sebentar lagi aku sampai. Kamu di mana?]

Tiba-tiba saja pesan dari Sari membuatku merasa sedang berada dalam masalah. 

[Nggak jadi, Yu. Rencana kita batal,] balasku dengan cepat. 

[Kamu balik lagi aja. Mas Aryo nggak bisa berpindah ke lain hati katanya.]

[Maaf, ya, Sar.]

Aku langsung menutup ponsel ke atas meja. Tak ada satu pun balasan yang masuk, meski tadi kulihat semua pesanku berwarna biru. 

"Siapa?" tanya Mas Aryo. 

"Sari."

"Sari, anak Pak Wito?"

"Dih, langsung kenal."

"Kenal dong. Kan teman sekampung juga."

"Akrab?"

"Nggak terlalu sih."

Oh, syukurlah. 

"Tadi mau ngomong apa?"

"Eh, itu, anu, Ayu...." Aku kembali terdiam.

"Kenapa anunya?"

Eh? Hish... Dia tertawa melihatku kebingungan. 

"Maaf. Cuman bercanda," ucapnya merasa sungkan. 

Mendadak senyumnya mengaburkan pikiranku pada Fandi. Cepat sekali hati ini berpaling. Apa karena baru satu bulan ini kami pacaran? Tapi, bukankah sudah hampir setengah tahun juga Fandi mendekatiku?

Aduh, bagaimana ini? 

"Kok bingung sih. Jadi ngomong nggak? Atau...."

"Atau apa?"

"Atau jangan-jangan, kamu mau menolak lamaran Mas kemarin ya?"

Lho, kok merasa sih. Terlalu peka jadi orang. 

"Kalau kamu nggak suka sama Mas, jujur aja. Siapa tau kamu sudah punya pacar."

Kan, kan. Betul lagi tebakannya. Tidak bisa. Mas Aryo tidak boleh tahu soal Fandi. Aku akan bilang terus terang sama Fandi, ini adalah keinginan orang tuaku yang tidak mungkin bisa aku tolak. 

"Enggak kok, Mas. Ayu nggak punya pacar. Kan dari kecil, Ayu udah dijodohin sama Mas Aryo."

Alasan yang masuk akal, bukan? 

"Terus, tadi mau ngomong apa?"

"Ayu... Ayu udah nggak sabar jadi istrinya Mas."

Plak! Ingin sekali aku menampar wajah sendiri. Merasa malu karena terlihat begitu agresif. Pergi ke mana harga diriku selama ini. 

Kulihat Mas Aryo tertawa. Menampakkan gigi putihnya yang berderet rapi seperti kandang ayam. 

"Alhamdulillah...." ucapnya sembari mengelus dada. 

Fiuhh... Aku selamat. 

.

"Tega kamu, Yu. Kita baru aja jadian. Tapi kamu bilang mau menikah," cecar Fandi, saat berkunjung ke kost-kostanku. 

"Maaf, Fan. Aku nggak bisa membantah keinginan Bapak sama Ibuk," sahutku membela diri. 

"Kamu kan masih kuliah, Yu. Sebentar lagi akan wisuda. Apa nggak sayang?"

"Aku masih kuliah, kok, Fan."

"Kamu benar-benar tega, Yu. Selama ini kamu tau sendiri gimana susahnya aku buat dapetin kamu."

Benar juga sih. Fandi sangat baik dan perhatian orangnya. Sering antar jemput aku ke kampus. Sering bayarin makanan kalau akhir bulan. Bahkan selalu membantuku mengerjakan tugas. Dia berjanji akan segera melamarku setelah cita-citaku tercapai menjadi seorang sarjana.

Duh, bagaimana ini? Hatiku kembali bimbang. Pilih Fandi, atau Mas Aryo? 

.

Akhirnya aku dan Mas Aryo menikah. Tentu saja setelah meminta beberapa persyaratan. Mas Aryo sangat baik rupanya. Langsung mengiyakan syarat dariku. Kupikir dia akan menolak, tapi  nyatanya dia mengerti dan menyanggupi. 

"Makasih, ya, Mas," ucapku saat kami berada di dalam kamar pengantin. 

"Nggak usah berterima kasih. Kamu senang, Mas jauh lebih senang."

Duh, kata-kata Mas Aryo bikin hatiku jadi meleleh. Ingin langsung memeluk dan berterimakasih. 

Ibuk, Bapak. Terima kasih sudah memberikan yang terbaik buat Ayu. 

"Yu?"

"Iya, Mas?"

"Ibadah yuk?"

.

Setelah beberapa hari menikah, Mas Aryo langsung memboyongku ke kediamannya. Tak disangka, selama ini kami tinggal di kota yang sama. Bahkan salah satu usahanya berada sangat dekat dengan tempatku menimba ilmu. 

Sebuah kebetulan yang sangat banyak. Andai dari dulu aku tahu, pasti hidupku tidak akan sesulit selama ini. Setidaknya Bapak dan Ibu membiarkanku bekerja di restoran itu. 

Selama ini mereka melarangku bekerja. Alasannya karena harus fokus kuliah. Padahal aku tahu sendiri, uang yang dihasilkan mereka jumlahnya sangat sedikit. 

Entah bagaimana cara mereka memenuhi biaya kuliahku, tanpa terlambat sedikit pun. 

"Ini rumah Mas Aryo?" Aku berdecak kagum.

Ternyata rumah yang ditempati Mas Aryo begitu bagus dan mewah. Rumah bergaya modern dan bertingkat dua. 

"Bukan," sahutnya santai. 

Eh? Jadi rumah siapa? 

"Ini rumah kita," lanjutnya lagi sambil merangkulku untuk masuk. 

Alhamdulillah.... beruntungnya aku. Sama sekali tidak menyangka kalau Mas Aryo sudah mempersiapkan semuanya seperti ini. Aku tak perlu lagi merintis hidup berumah tangga dari nol. Hanya tinggal menikmati apa yang sudah dipersiapkan oleh suamiku. 

Kami masuk, dan Mas Aryo memperkenalkan Mbok Nah sebagai asisten rumah tangga. Aku menyalami dan mencium punggung tangan Mbok Nah. 

"Eh, jangan non. Tangan si Mbok bauk," ucapnya sembari menarik tangannya kembali. 

"Nggak papa, Mbok. Kata Ibuk, Ayu harus menghormati yang lebih tua."

"Iya, non. Makasih." Kulihat Mas Aryo tersenyum sembari kembali merangkulku untuk naik ke lantai dua. 

"Ini kamar kita, Yu. Gimana? Suka?"

Bukan suka lagi, Mas. Ini seperti sebuah mimpi. Bahkan mimpi pun belum pernah aku memiliki kamar sebagus ini.

"Kamarnya bagus. Ayu suka. Makasih ya Mas."

"Makasih-makasih terus."

"Namanya senang. Mas Aryo baik," pujiku, dengan pipi yang terasa panas. 

"Yu?"

"Apa, Mas? Ibadah lagi?"

                           *******

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status