Ayahku Tidak Tamat SD

Ayahku Tidak Tamat SD

Oleh:  Afsana qalbi  On going
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
10
1 Peringkat
45Bab
2.5KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

Yang mereka tahu aku ini adalah anak dari seorang penggarap tanah yang tak tamat sekolah dasar, padahal asal mereka tahu sekolah yayasan yang mereka tempati hari ini ayahkulah donatur tetapnya.

Lihat lebih banyak
Ayahku Tidak Tamat SD Novel Online Unduh PDF Gratis Untuk Pembaca

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen
user avatar
Afsana qalbi
Mari merapat bestie...cerbung ini cocok banget buat kalian. Baik para remaja, dan emak²......
2023-08-26 17:33:55
2
45 Bab
Part 1
"Dih, Mar....Ayahmu rupanya tidak pernah bersekolah, ya?"Aku sempat tersentak kala mendengar pertanyaan Talita teman satu sekolahku yang memeriksa rapor milikku. Hari ini kami di tugaskan untuk mengumpulkan kembali semua rapor, sebab beberapa bulan lagi kami akan mengadakan ujian semester. Baru saja rapor milikku aku letakkan di atas meja, berpaling sebentar, rupanya sudah di ambil begitu saja oleh Talita, anak kepala sekolah di sini."Yang benar kamu, Ta?"Suara Nora terdengar menyahut dari arah kursinya."Ya iyalah. Di sini tidak ada di tuliskan sekolah apapun. Sd pun tidak.""Pantas ya selama ini Maryam gak mau memperkenalkan ayahnya sama kita. Hi hi.... Rupanya ayahnya buta pendidikan." sambut Suri, teman satu komplotannya Talita."Kalau aku sih sebenarnya sudah curiga juga dari awal. Tapi kan, kita perlu bukti juga." sambung Talita dengan gelak tawanya.Posisi kami kini sedang di dalam ruang kelas menanti bel masuk berbunyi. Tapi seperti biasa, keberadaanku di sini terasa bagai
Baca selengkapnya
Part 2
Kegiatan belajar mengajar di jam pertama akhirnya kelar juga. Guru muda yang bernama pak Askari itu segera minta izin keluar ruangan setelah memberikan tugas. Talita dan anggota gengnya tak tinggal diam, mereka berlarian ke arah meja guru ketika melihat pak Askari bangkit dari tempat duduknya."Pak....Fotbar boleh dong?" Talitha mendekat, mengeluarkan ponsel mewahnya dari dalam saku baju memberi kode. "Iya, Pak...Fotbar ya...Sekaliiii aja." sambut yang lain. Pak Askari tampak bingung. Ia memandangku sesekali dengan menggaruk kepalanya yang mungkin tidak gatal sama sekali. Aku yang sudah kebaperan di tatap seperti itu memutuskan menundukkan kepala, kata ayah wanita itu harus memiliki rasa malu. "Hmm..Boleh, tapi Maryam tidak ikut?"Pak Askari menatapku lagi. Jantungku sudah berdentum-dentum layaknya pemain drum band. Baru kali ini aku merasakan perasaan aneh kayak begini."Tidak usah, Pak." jawabku. Memaksa memancarkan seulas senyum di bibir ini."Maryam jadi tukang foto aja, Pak. N
Baca selengkapnya
Part 3
Aku mencubit lengannya. Kayaknya ini anak sudah habis kesabarannya supaya tidak tahan menampung rahasia. Wajah putihnya sudah memerah layaknya udang rebus, namun aku hanya berusaha santai seolah makian mereka tidak pernah nyangkut di telinga. "Sudahlah Tari. Temanmu itu emang kere sejak lahir. Gak usah deh pake di belain segala apalagi ngehaluin dia jadi anak orang kaya. Duit lima ratus ribu itu aja mungkin belum pernah tuh di pegang sama si Maryam seumur hidupnya." Ujar Thalita yang di angguki oleh yang lain."Benar itu, Tari.""Bener. Jangan ngehalu deh.""Jadi, bagaimana ini kak?"Salah seorang anak smp itu kembali bersuara yang berhasil menghentikan semua cemoohan mereka. Kini, semuanya hanya saling pandang dan mengedikkan bahu masing-masing.Sebenarnya aku ingin sekali membantu Mesi dalam masalah ini, kebetulan tadi pagi ayah memberiku uang kes satu juta karena di minta untuk membeli bahan kue di pasar sore setelah pulang sekolah nanti. Aku fikir ayah tidak akan keberatan jika u
Baca selengkapnya
Part 4
"Keren kamu, Mar. Nyumbang lima ratus ribu loh. Bisa beli paket internet telkomsel lima bulan." puji Tari seraya melirik ke arah Thalita juga teman komplotannya. Mau balas dendam kayaknya ini anak."Halah...Paling itu hasil nuyul. Benar gak guys?"Nora mencebik ke arahku dan menyisir ke seluruh siswa. Namun, tidak semuanya yang tampak mengiyakan. Mereka hanya memandangiku dan Nora bergantian, lalu kembali pada kegiatannya masing-masing. Aku percaya, sebenarnya tidak semuanya yang ingin memuja-muja Thalita di kelas ini. Namun karena ia anak dari kepala sekolah, ia merasa bangga diri dan suka berbuat semena-mena hingga yang level perekonomiannya di bawah Thalita hanya bisa manut dan mau tidak mau nimbrung menjadi pengikutnya jika tidak ingin di jauhi."Sudahlah, Nor. Duit lima ratus ribu gitu aja kok bangga. Itupun belum tentu loh dia benaran ngasih. Kita lihat aja nanti. Mana tahu cuma numpang viral doang. tukas Thalita dan bangkit dari tempat duduknya. Padahal bu Dewi, guru jam ke du
Baca selengkapnya
Part 5
Suri dan Nora segera menarik tangan Thalita yang masih terbaring di lantai. Sedangkan Afkar sudah mendapatkan ponsel yang sedari ia incar dan menghapus vidio Thalita. Setelah itu, ia keluar ruangan dan tidak kembali lagi.Dan aku?Aku malah menjadi salah tingkah sekarang. Antara ingin tertawa dan mengasihani nasib Thalita yang kini keningnya sudah tampak benjolan sebesar bakpau dengan warna kehijau-hijauan. Ia terus meringis kesakitan namun tak juga reda mengumpatiku dengan kata-kata kotor. Begini memang kalau keras kepala, sudah kena karma belum juga sadar diri."Kita bawa ke ruang uks saja, Sur." ajak Nora pada Suri sebelum mereka meninggalkan kelas. Aku dan Tari tidak diam saja, tapi kami masih mengekori ketiganya meski tidak turut membantu menuju ruang uks."Bagaimana ini kejadiannya, kok bisa seperti ini, Tha?" Bu Ririn terlihat panik. Tangannya masih sibuk memberi obat luka ke kening Thalita yang ternyata sempat tergores dan mengeluarkan darah meski hanya beberapa tetes."Itu, B
Baca selengkapnya
Part 6
Kami semua sudah berkumpul di ruang guru, tinggal menunggu pak kepala sekolah keluar dari ruangannya agar sidang ini di mulai. Aku duduk bersebelahan dengan Tari. Sedangkan Thalita duduk di tengah-tengah dua dayangnya, Suri dan Nora yang di batasi satu meja panjang dari kami. Dan di hadapan kami berlima, belasan guru sudah menempati tempat duduknya masing-masing. Silih berganti memperhatikanku dan Thalita, dan saling berbisik-bisik.Aku fikir memasuki ruang guru tidak akan semenegangkan ini karena aku jelas tidak bersalah. Namun nyatanya jantungku masih saja deg-degan tidak karuan. Apalagi, tepat di hadapanku ada pak Askari yang sedari tadi sering kali mencuri pandang. Hingga membuatku semakin serba salah."Kita pasti menang, Beb. Tenang sajalah." terdengar Suri menenangkan Thalita yang tak kalah tegangnya dariku. Tangannya tampak meremas ke dua tangan sahabatnya seraya bibirnya yang terus bergerak sedari tadi. Mungkin saja ia berdzikir minta perlindungan. Eh, apa mungkin manusia seli
Baca selengkapnya
Part 7
"Dek, ini uang yang tadi pagi aku bilang. Titip salam sama Mesi, ya." titahku pada Ayana siswi smp yang tadi pagi meminta sumbangan ke kelas.Ia tampak kikuk merima uang yang aku berikan. Lama memperhatikan lembaran uang berwarna merah itu baru mau memasukkannya ke dalam kotak."Tenang saja. Itu bukan uang curian kok." ujarku akhirnya. Aku seperti bisa membaca isi fikirannya. Karena yang mereka tahu aku ini hanyalah anak dari penggarap sawah yang tentunya untuk makan saja susah.Ia tersenyum cengengesan. Nampak sekali jika bibirnya di tarik paksa demi menghargai ucapanku. "Iya, kak. Makasih banyak ya. Nanti kami titipin salam kakak, deh."Aku mengangguk. Lalu beralih mengambil sepedaku di sudut parkiran sekolah. Sore ini aku harus mampir ke pasar sore dulu untuk membeli bahan-bahan kue, kata ayah bahan kue ibu sudah habis dari kemaren. Ibu sebenarnya tidak berjualan kue, namun ibu hobby memasak yang membuatnya seperti seorang pedagang. Seharian bahkan separoh waktunya habis di dapur
Baca selengkapnya
Part 8
Pak Askari hanya menjawab pertanyaanku dengan senyuman. Lalu membuka pintu mobilnya dan mempersilahkanku masuk. Rasa gugup yang sedari tadi tumbuh semakin membuncah, apalagi melihat senyumnya yang tak putus-putus saat menatapku. Membuatku semakin ge er saja. Emangnya kalau aku jatuh cinta benaran dia mau tanggung jawab?"Silahkan masuk, Nona."Selayaknya gerakan seorang prajurit pada ratunya, pak Askari membungkukkan sedikit badannya seraya mengatupkan kedua tangan sejejer dada. Pandai sekali membuatku meleleh begini. Andai ada jurus menghilang, sudah ku putuskan untuk pergi saja dari hadapannya dari pada membuat otakku semakin tak waras."Maryam duduk di belakang saja, Pak. Segan." ujarku, lalu membuka pintu mobil belakang dan memasukinya.Bukan tidak mau duduk bersebelahan dengan guru tampan seperti dia. Namun aku cukup takut jika rasa janggal ini semakin membahana. Cita-citaku masih tinggi, urusan cinta mundur dulu.Pak Askari terdengar mendengkus, dan menutup kembali pintu mobil y
Baca selengkapnya
Part 9
"Hati-hati di jalan nak Aska. Lain kali mampir lagi ke sini." Ayah melambaikan tangan di saat mobil hitam mengkilat itu berangsur dari parkiran samping rumah yang di sambut dengan klakson mobil pak Aska. Senyum ayah selalu terlihat merekah, begitupun dengan ibu. Nampaknya kehadiran pak Aska memang mengurungkan rindu mereka pada kakakku yang kini jauh di negara orang."Pak Aska itu siapa sih, Bu? Nampaknya akrab banget."Aku menggandeng tangan ibu menuju rumah setelah mobil mewah itu menghilang dari ujung halaman. Rasa penasaranku sudah di ubun-ubun. Jika tidak segera ku utarakan pertanyaan bisa-bisa jadi gila.Sedari tadi saat ku tanyakan, ibu hanya banyak alasan agar menunda penjelasan. Kata beliau, tunggu pak Aska pulang dulu baru aku di beritahu. Nah sekarang, mungkin waktu yang tepat."Dia teman kecilnya kakakmu. Masa lupa?"Ibu menautkan kedua alisnya. Sedang aku kembali berfikir untuk kembali ke masa lalu. Namun yang mananya? Rasanya kak Anjela memiliki banyak teman di masa ke
Baca selengkapnya
Part 10
"Bagaimana Mar? Duh....Udah kebelet ini, sampai mau muntah."Susi terus meringis sembari memegangi perutnya. Kasihan juga, tidak tega aku membiarkannya menahan hajat seperti ini hanya karena ia teman komplotannya Thalita. Dengan lemah aku mengangguk, mengajaknya ke rumah dengan meminjam sepeda salah seorang teman masa kecilku agar kami tidak berjalan kaki. Rumahku memang tidak terlalu jauh dari masjid ini, tapi bagi Susi yang tengah kebelet tentu saja akan merasa sangat jauh."Mar.....Kamu yang benar mau boncengin aku pakai sepeda ini?"Susi tampak ragu. Netranya terus menyisir ke arah sepeda tua yang sudah aku keluarkan dari barisan parkiran."Iya. Emangnya kenapa?"Ia tersenyum kecut, "Gak ada motor atau mobil gitu?""Gak ada. Ini saja sepeda milik temanku. Kalau kamu tidak mau ya sudah. Kita jalan kaki." ujarku dan membelokkan kembali sepeda ini ke dalam parkiran."Eh...Eh...Tunggu, Mar...Jangan gitu, dong. Ayo deh. Udah gak tahan ini."Ia mencekal tanganku. Walau masih tampak tak
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status