Share

Part 4

"Keren kamu, Mar. Nyumbang lima ratus ribu loh. Bisa beli paket internet telkomsel lima bulan." puji Tari seraya melirik ke arah Thalita juga teman komplotannya. Mau balas dendam kayaknya ini anak.

 

"Halah...Paling itu hasil nuyul. Benar gak guys?"

 

Nora mencebik ke arahku dan menyisir ke seluruh siswa. Namun, tidak semuanya yang tampak mengiyakan. Mereka hanya memandangiku dan Nora bergantian, lalu kembali pada kegiatannya masing-masing. Aku percaya, sebenarnya tidak semuanya yang ingin memuja-muja Thalita di kelas ini. Namun karena ia anak dari kepala sekolah, ia merasa bangga diri dan suka berbuat semena-mena hingga yang level perekonomiannya di bawah Thalita hanya bisa manut dan  mau tidak mau nimbrung menjadi pengikutnya jika tidak ingin di jauhi.

 

"Sudahlah, Nor. Duit lima ratus ribu gitu aja kok bangga. Itupun belum tentu loh dia benaran ngasih. Kita lihat aja nanti. Mana tahu cuma numpang viral doang. tukas Thalita dan bangkit dari tempat duduknya. Padahal bu Dewi, guru jam ke dua sudah berjalan menuju kemari.

 

"Kemana Thalita?"

 

Sapa bu Dewi ramah saat menyaksikan anak didiknya yang keluar begitu saja padahal beliau baru saja akan masuk kelas.

 

"Beli minum, Bu. Di kelas ini gerah." jawabnya tanpa menoleh sama sekali. Memang minim sekali akhlak Thalita ini. Tapi anehnya semua guru tetap menyayanginya, entah karena ia anak kepala sekolah, atau karena  seperti itu cara mereka mendidik, tidak tahu. Padahal,  tujuan orang bersekolah tinggi-tinggi bukan hanya untuk menerima transferan ilmu kecuali untuk memperbaiki akhlak. Dan itu lebih utama.

 

Pembelajaran berlangsung dengan lancar seperti biasa. Bu Dewi menerangkan pembelajaran kemudian lanjut pada sesi diskusi dan tanya jawab. Semua siswa tampak antusias menyimak pembelajaran, suasana di kelas kali ini rasanya cukup tentram karena Thalita tak kunjung kembali setelah izin keluar satu jam yang lalu. Bu Dewi pun tidak ada mempertanyakannya, mungkin saja ia sudah faham bagaimana karakter muridnya itu yang suka semena-mena. Ayahnya yang menjabat sebagai kepala sekolah, malah dia yang merasa berkuasa.

 

"Kamu yang sabar ya, Mar. Thalita sikapnya emang begitu. Sok berkuasa. Mentang-mentang ayahnya kepala sekolah."

 

Usai kepergian bu Dewi, Afkar mendekatiku yang tengah bersiap keluar kelas karena bel istirahat sudah berbunyi. Melihatnya yang duduk di depan mejaku mau tidak mau aku mengurungkan niat dan menahan Tari agar tidak meninggalkanku dan Afkar berduaan di ruang kelas ini.  Bagaimanapun kami sudah sama-sama baligh. Walau tidak ada perasaan apapun, belum tentu jika yang ke tiga tidak hadir. 

 

Mendengar penuturan Afkar aku hanya manggut-manggut saja. Entah kalimat apa yang harus aku keluarkan untuk menanggapi ucapannya. Jujur, berbicara dengan lawan jenis bagiku sebuah tantangan paling berat setelah aku mencapai masa baligh saat kelas satu SMP tiga tahun yang lalu. Nasehat-nasehat ayah mengenai batasan-batasan pergaulan remaja selalu terngiang dan tidak akan mungkin berani ku langgar.  

 

Ayah tidak pernah mengekangku dalam hal apapun. Beliau hanya akan memberi nasehat dan pilihan. Sebab itu pulalah, rasa cintaku untuk ayah belum mampu terbagi dengan lelaki manapun sampai hari ini.

 

Ayah memang tidak memiliki ijazah pendidikan apa-apa. Dulu, beliau sekolah hanya sampai kelas 6 sd namun tidak sempat ikut ujian karena tidak memiliki uang. Kakek dan nenek hanya bekerja serabutan. Jangankan untuk membayar uang sekolah, untuk makan sekali sehari saja mereka susah. Namun, meski begitu bagiku ayah seorang lelaki luar biasa. Otaknya cerdas, pekerja keras, dan akhlaknya patut di tiru.  

 

Aku bangga menjadi putrinya. Bahkan jikapun beliau tak memiliki banyak harta, beliau tetap menjadi cinta abadi di dalam dada. 

 

"Kalau boleh tahu, kenapa sampai hari ini ayahmu tidak pernah berkunjung ke sekolah ini, Mar? Saat penerimaan rapor saja ayahmu tidak hadir."

 

Tambah Afkar lagi. Namun kali ini ia mulai menyinggung perihal ayah yang mungkin lumayan misterius bagi sebagian orang. Apa yang Afkar katakan memang benar, di saat penerimaan rapor semester ganjil kemaren ayah tidak hadir ke sekolah ini padahal beliau akan maju ke depan untuk menerima piala putrinya yang berhasil mendapatkan juara umum setingkat aliyah. 

 

Saat itu, hanya kakak tertuaku yang bisa hadir untuk menggantikan ayah. Alasannya bukan karena tidak ingin menghadiri kecuali sedang ada urusan penting di luar kecamatan tepat di hari itu. Kalau tidak salah mengurus sertivikasi tanah kaveling yang baru ayah beli. Tidak bisa di tunda karena sudah memberi janji dan tanah itu akan segera di berdirikan bangunan kontrakan petakan di atasnya. 

 

"Maklumlah, Kar. Ayah  cukup sibuk." jawabku seadanya.

 

"Ya... Padahal di ajak keluar dari sawah sesekali bagus loh, Mar. Biar gak suntuk liatin lumpur tiap hari."

 

Aku mengangguk. "Benar juga, sih. Tapi kalau gak kerja gimana dengan nasib kami, Kar." balasku merendah hingga ia pun terlihat bingung. Merendahlah serendah-rendahnya hingga orang-orang kehabisan cara untuk merendahkanmu. Begitu sebuah kata hikmah yang pernah aku baca di salah satu sosial media saat itu.

 

"Semoga rezeki ayahmu Allah perluas ya, Mar." ujarnya akhirnya dan langsung ku aminkan. 

 

"Cieeee...Anak penjual bakso dengan anak penggarap sawah lagi pdkt nih, ye?"

 

Kami bertiga seketika menoleh ke arah pintu kelas. Di sana tampak Talita, Suri, dan Nora tengah mengarahkan ponsel ke arah kami. Sepertinya mereka sedang membuat vidio, dan sasarannya adalah aku dan Afkar. 

 

"Guys....Anak penjual bakso sama  anak tukang garap sawah ini menurut kalian cocok gak sih? Kalau menurutku sih cuoccok banget. Mereka kayak rok sama baju, gak layak jika tidak berpadu. Hi..hi..."

 

Talitha terus berceloteh di depan ponsel mewahnya dengan berjalan perlahan-lahan hingga tubuhnya cukup dekat dengan kami.

 

"Talita, kamu ini apa-apaansih?" 

 

Wajah Afkar tampak memerah. Berusaha merampas ponsel milik Talitha untuk menghentikan aksi gilanya.

 

"Kamu jangan buat ulah lagi deh, Ta. Mentang-mentang anak kepala sekolah kau malah semena-mena begini." imbuh Afkar lagi.

 

"Lah..lah....kok pangerannya ngamukan gini ya guys? Kayaknya dia gak mau deh ngakuin anak tukang garap sawah ini  sebagai pacarnya. Ululu...Kasihaaan...."

 

Thalita mencolek sebelah pipiku dengan matanya yang masih fokus ke layar hp.  Mendekatkan cameranya ke arah wajahku yang mungkin sudah terlihat memerah di sana.

 

Namun, kejadian itu tidak berlangsung lama. Karena di detik berikutnya,

 

 

BRUK!!!

 

 

"AWWW...."

 

 

"Arghh....Afkaaaaaaaarrrr!!"

 

Tubuh Talitha  terjungkal ke lantai dan kepalanya mengenai sudut meja di saat Afkar merampas ponselnya secara paksa. Parahnya lagi, Afkar malah menindih tubuhnya yang masih merebut ponsel dari tangannya.

 

"Yes. Berhasil!"

 

Tari berjingkrak-jingkrak di iringi suara tawanya yang seketika pecah. Sedang aku masih shock melihat keduanya menempel seperti itu apalagi mendengar teriakan Talitha yang memekakkan telinga.

 

"Kamu kenapa, Tar? Ini orang lagi bahaya." omelku. Padahal akupun sedari tadi hanya mematung menyaksikan keduanya.

 

"Nih, aku punya vidio baru di tiktok."

 

Ia merogohkan ponselnya, nampak jelas kejadian Talitha yang memvidiokanku hingga akhirnya terkena karma di dalam sana. Memalukannya lagi, vidio itu langsung mendapatkan like ratusan dan banjir dengan komentar netizen.

 

Wuiih...

 

Sepertinya akan ada vidio viral!

 

 

 

bersambung....

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status