Share

Part 3

Aku mencubit lengannya. Kayaknya ini anak sudah habis kesabarannya supaya tidak tahan menampung rahasia. Wajah putihnya sudah memerah layaknya udang rebus, namun aku hanya berusaha santai seolah makian mereka tidak pernah nyangkut di telinga. 

 

"Sudahlah Tari. Temanmu itu emang kere sejak lahir. Gak usah deh pake di belain segala apalagi ngehaluin dia jadi anak orang kaya. Duit lima ratus ribu itu aja mungkin belum pernah tuh di pegang sama si Maryam seumur hidupnya." Ujar Thalita yang di angguki oleh yang lain.

 

"Benar itu, Tari."

 

"Bener. Jangan ngehalu deh."

 

"Jadi, bagaimana ini kak?"

 

Salah seorang anak smp itu kembali bersuara yang berhasil menghentikan semua cemoohan mereka. Kini, semuanya hanya saling pandang dan mengedikkan bahu masing-masing.

 

Sebenarnya aku ingin sekali membantu Mesi dalam masalah ini, kebetulan tadi pagi ayah memberiku uang kes satu juta karena di minta untuk membeli bahan kue di pasar sore setelah pulang sekolah nanti. Aku fikir ayah tidak akan keberatan jika uang ini aku pakai dalam rangka membantu orang lain. Toh, selama ini ayah selalu mengingatkan agar kami anak-anaknya harus bisa ringan tangan kepada siapapun yang membutuhkan. "Dalam rezeki yang Tuhan titipkan pada kita, ada hak orang lain. Dan tidak ada yang namanya uang hilang ketika kita bersedekah." 

 

Tapi, bagaimana caranya menyerahkan uang ini pada anak-anak itu padahal Thalita dan komplotannya ada di ruangan ini? Jangan sampai mereka tahu siapa aku sebenarnya.

 

"Mar, bantuin gih. Gak kasihan emang?"

 

Ujar Tari yang membuatku semakin serba salah. Akupun tidak tega sebenarnya. Tapi, entah bagaimana caranya mengantarkan uang ini ke depan.

 

"Gimana, kak?"

 

"Hmm....Emangnya donasinya kapan di antarkan ke rumah Mesi, Dek?" tanyaku pada ke tiga anak smp itu. Jika tidak di antarkan saat ini juga, pastilah nanti pulang sekolah masih bisa ku masukkan ke dalam kotak itu.

 

"Nanti sore kak. Setelah pulang sekolah. Rencananya kami akan mengantarnya langsung ke rumah sakit sambil membesuk ayahnya." jawab mereka.

 

"Ehem!!! Kok gerah ya, padahal dingin begini? Yang lain hati-hati tasnya. Entar ada yang hilang, lagi." Thalita mengibas-ngibaskan jilbab segi tiganya. Menatapku sinis dengan mencebikkan bibir atasnya.

 

"Kamu gak salah, Mar nanya-nanya kek begitu? Emangnya kamu ada uang?" tambah Nora menyelidik.

 

"Mungkin uang tabungan yang ia kumpul dari kelas satu sd. Hi...hi...." Suri menimpali.

 

"Duh, kasihan bet sih hidup. Jangan main bodoh gitu deh, Mar. Masa iya karena ingin terlihat keren malah ngegadaian uang tabungan. Lebih baik itu kamu beliin sama beras sekarung dan ayam satu ekor. Biar bisa makan enak sesekali." Thalita memberi saran. Sarannya bagus sih, hanya saja mungkin ia salah sasaran.

 

"Makasih sarannya, Ta." ujarku seadanya. Biarkan ia jungkrak jungkrak karena merasa menang.

 

"Nah, gitu dong. Punya otak kok oon begitu sih." imbuhnya lagi tertawa lepas. Dia gak sadar saja, andai otaknya yang di jual di pasaran pasti harganya cukup mahal karena jarang di pake. Hi..hi...

 

"Ya sudah. Nanti pulang sekolah Maryam yang menutupi kekurangannya." Tari angkat suara seakan tengah memberi pengumuman. Duh, ini anak kenapalah susah sekali di ajak kompromi.

 

"Yang benar kak, Mar?"

 

Ketiga  mata anak smp itu tampak berbinar.

 

"Ya. InsyaAllah. Tunggu aku sepulang sekolah di dekat kantin." ujarku akhirnya yang berhasil membuat semuanya melongo.

 

"Bagaimana mungkin? Ahh...Hati-hati barang curian!"

 

Thalita masih saja berkomentar. Namun aku tidak lagi peduli. Biarlah ia pusing tujuh keliling memikirkan dari mana aku mendapatkan uang sebanyak itu.

 

Bersambung....

 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status