Share

Part 2

Kegiatan belajar mengajar di jam pertama akhirnya kelar juga. Guru muda yang bernama pak Askari itu segera minta izin keluar ruangan setelah memberikan tugas. Talita dan anggota gengnya tak tinggal diam, mereka berlarian ke arah meja guru ketika melihat pak Askari bangkit dari tempat duduknya.

 

"Pak....Fotbar boleh dong?" 

 

Talitha mendekat, mengeluarkan ponsel mewahnya dari dalam saku baju memberi kode. "Iya, Pak...Fotbar ya...Sekaliiii aja." sambut yang lain. 

 

Pak Askari tampak bingung. Ia memandangku sesekali dengan menggaruk kepalanya yang mungkin tidak gatal sama sekali. Aku yang sudah kebaperan di tatap seperti itu memutuskan menundukkan kepala, kata ayah wanita itu harus memiliki rasa malu. 

 

"Hmm..Boleh, tapi Maryam tidak ikut?"

 

Pak Askari menatapku lagi. Jantungku sudah berdentum-dentum layaknya pemain drum band. Baru kali ini aku merasakan perasaan aneh kayak begini.

 

"Tidak usah, Pak." jawabku. Memaksa memancarkan seulas senyum di bibir ini.

 

"Maryam jadi tukang foto aja, Pak. Nih, Mar. Fotoin yang bagus!"

 

Talita menghampiriku yang masih duduk di kursi dan menyerahkan ponselnya. Sebenarnya malas juga jika harus menjadi fotoghrafer gratisan mereka, namun aku tidak menemukan cara untuk menolak permintaannya secara elegant.

 

Mereka mulai mengatur posisi. Pak Askari berdiri di tengah, dan di samping kirinya ada Nora, Susi, dan Mira. Sedangkan di sebelah kanan pak Askari ada Talitha, Suri, dan Mita.

 

Aku mulai membidikkan kamera setelah memberi aba-aba. Setelah selesai, Thalita langsung merampas ponselnya dari tanganku untuk memeriksa hasilnya.

 

"Lah...Kok hasilnya kayak begini sih, Mar? Kamu sengaja, kan? Masa iya cuma sebelah tanganku saja yang kelihatan." Wajah Talita tampak memerah. Memeriksa tiga buah hasil bidikanku yang satupun tidak nampak wajahnya di sana. 

 

"Maaf, Ta. Aku tidak biasa memegang ponsel mewah seperti itu. Aku grogi." alibiku. Padahal sebenarnya aku sengaja tidak mengikutkan wajahnya di kamera itu.

 

Ia mendengkus sebal, melirik ke belakang mencari keberadaan pak Askari namun beliau sudah tidak ada lagi di sana.

 

"Gara-gara kamu ini, Mar. Iiih....Kolot amat sih kamu!"

 

Aku hanya diam saja. Tak lagi ku tanggapi ocehannya yang terus mengataiku kolot, kampungan, norak, dan lain-lain. Toh, aku tanggapi pun  sampai dua abad itu foto gak akan berubah lagi.

 

"Guys....Fotbar lagi, yuk."

 

Talita memanggil teman-temannya yang tengah bercerita di dekat meja guru.

 

"Kan pak Askari udah pergi, Ta?"

 

"Yaa...Kita-kita aja. Emangnya gak mau punya foto sama anak kepsek?" 

 

Teman-temannya saling pandang, detik kemudian semuanya langsung berhamburan ke arah Talita bagaikan anak ayam baru keluar dari kandangnya. "Mau dong."

 

"Mar, fotoin lagi ya."

 

Nora melirik ke arahku setelah berhasil mendapatkan tempat berdiri tepat di sebelah Talita.

 

"Gak usah, ah. Tadi aja fotonya gak bagus. Nyesel bet nyuruh dia tadi. Maklum, gak pernah pegang hp mahal guys." sanggah Talita yang membuat semuanya mengangguk.

 

Aku dan Tari memutuskan untuk menggeser tempat duduk agar tidak masuk ke dalam camera ponsel Talita. Membiarkan mereka sibuk dengan adegan selfienya.

 

Saat mereka sibuk selfie, beberapa siswa SMP mengetuk pintu kelas dengan membawa sebuah kotak kardus dengan gambar korban bencana alam di sana. Meminta izin masuk untuk meminta sumbangan. 

 

Di sini, memang tidak hanya ada sekolah menengah atas saja. Tapi sudah lengkap mulai dari TK, SD, SMP, dan SMA dengan basic islam terpadu. Dan rencana ayah yang sempat aku dengar, beberapa tahun ke depan di lahan ini masih akan di dirikan sebuah kampus swasta yang akan mewajibkan semua mahasiswanya menghafal alqur'an dengan  tenaga pengaja lulusan dari negeri unta, serta dosen-dosen yang memiliki hafalan qur'an setidaknya sepuluh juz. Itu sih masih dalam perencanaan. Semoga saja Allah mudahkan.

 

"Maaf, kak...Tujuan kami ke sini dalam rangka meminta sumbangan untuk kecamatan sebelah yang tempo hari di landa banjir." salah seorang dari mereka mulai menyatakan tujuan setelah mengucapkan salam.

 

Talita beserta teamnya menghentikan aksi potret memotrernya. Duduk di kursi masing-masing mendengarkan anak smp yang tengah bercerita kejadian yang menimpa kecamatan sebelah tempo hari. Aku juga sudah mendengar kabar ini dari semalam, banjir bandang yang menyerang perkampungan menyebabkan beberapa rumah rusak dan hanyut, bahkan ada sekitar tiga orang yang meninggal dan lima orang lagi luka-luka karena terbawa arus air yang naik tiba-tiba.

 

"Lit...Kamu dong yang bayarin bagian kita. Duitmu kan banyak. Lima ribu per orang  saja sudah cukup." usul Suri mengerlingkan sebelah mata pada Thalita.

 

Thalita tampak gugup sesaat setelah meluncurnya permintaan sahabatnya itu. Namun, secepat kilat langsung ia sunggingkan senyumnya dan mengangkat kedua jempol tangan. "Ashiaaap. Duit lima ribu berapaan sih. Kecil!"

 

Siswa yang lain ternyata tak tinggal diam. Mereka semua menghampiri Thalita dan minta di bayarin juga. Thalita yang baru saja mampu menyunggingkan bibirnya sudah mulai terlihat panik, menutup telinganya dengan kedua tangan meminta semuanya kembali duduk ke kursi masing-masing.

 

"Ok. Aku bayarin kalian semua lima ribu per orang kecuali Maryam. Jadi, lima ribu di kali tiga puluh tujuh jumlahnya  seratus delapan puluh lima ribu. Nih, dek. Ambil saja kembaliannya." ujarnya menamparkan uang seratus ribuan dua lembar di atas mejanya.

 

"Waaah...Makasih, Lit. Kamu baik banget, dah. Kaya lagi." puji Nora dan di ikuti yang lain untuk berterima kasih.

 

"Mar, kamu bayar sumbangan juga sana." Talita menyuruhku ke depan. "Jangan bilang kalau kamu gak punya uang." sambungnya lagi.

 

Aku hanya diam. Mengantarkan uang sumbangan dan memasukkannya ke dalam kotak tanpa memperlihatkan jumlahnya pada mereka. Kata ayah, sedekah itu tak perlu di pamerkan. Jika sedekah untuk pamer bukan karena kita kaya, melainkan karena banyak gaya.

 

"Maaf kakak-kakak.....Kalau sumbangan untuk membantu pengobatan ayahnya Mesi  siswa kelas delapan yang sedang di rawat di rumah sakit,  apa ada yang mau? Donasi yang di butuhkan sekitar lima ratus ribu lagi."

 

Salah seorang di antara mereka kembali bersuara memberi pengumuman.

 

"Lit...Ayo Lit di bantu. Kasihan si Mesi. Ia tidak punya keluarga lagi loh kecuali ayahnya yang sedang sakit. Ibunya sudah meninggal setahun yang lalu." Nora menyenggol lengan Talitha yang membuat wajahnya seketika pucat pasi.

 

"Berapa lagi tadi yang di butuhkan?"

 

Thalita terdengar gugup. Aku yakin ia tidak ada uang sebesar itu. Walaupun ada, tidak mungkin rasanya ia membawanya ke sekolah.

 

"Lima ratus ri...."

 

"Ups! Tunggu...Tunggu! Ini, ibuku nelvon. Aku keluar sebentar."

 

Thalita merogoh ponselnya dari saku tanpa terdengar dering panggilan sama sekali. Ia keluar dari kelas dengan memberi isyarat agar kami menunggunya kembali.  Tapi kok, aku merasa panggilan yang ia lakukan itu hanya alibnya saja. Apa mungkin hanya perasaanku  saja?

 

 

Bersambung....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status