Share

Ayahku Tidak Tamat SD
Ayahku Tidak Tamat SD
Penulis: Afsana qalbi

Part 1

"Dih,  Mar....Ayahmu rupanya tidak pernah bersekolah, ya?"

 

Aku sempat tersentak kala mendengar pertanyaan Talita teman satu sekolahku yang memeriksa rapor milikku. Hari ini kami di tugaskan untuk mengumpulkan kembali semua rapor, sebab beberapa bulan lagi kami akan mengadakan ujian semester. Baru saja rapor milikku aku letakkan di atas meja, berpaling sebentar, rupanya sudah di ambil begitu saja oleh Talita, anak kepala sekolah di sini.

 

"Yang benar kamu, Ta?"

 

Suara Nora terdengar menyahut dari arah kursinya.

 

"Ya iyalah. Di sini tidak ada di tuliskan sekolah apapun. Sd pun tidak."

 

"Pantas ya selama ini Maryam gak mau memperkenalkan ayahnya sama kita. Hi hi.... Rupanya ayahnya buta pendidikan." sambut Suri, teman satu komplotannya Talita.

 

"Kalau aku sih sebenarnya sudah curiga juga dari awal. Tapi kan, kita perlu bukti juga." sambung Talita dengan gelak tawanya.

 

Posisi kami kini sedang di dalam ruang kelas menanti bel masuk berbunyi. Tapi seperti biasa, keberadaanku di sini terasa bagaikan orang asing. Aku tidak memiliki banyak teman, hanya ada satu orang yang cukup dekat denganku di selolah ini, itupun karena kami sudah kenal sejak kecil. Berada di tengah-tengah mereka, sebenarnya bukan hal yang aku inginkan. Tapi bagaimana lagi,  aku harus bertemu dengan mereka enam hari dalam seminggu karena terikat pendidikan.

 

Sebenarnya, aku murid baru di sekolah ini. Ayah sengaja memindahkanku karena sekolahku yang dulu cukup jauh dan harus tinggal di asrama. Ibu tidak tahan berpisah denganku, meski bisa pulang sekali dalam seminggu.

 

Namun, kehadiranku tampaknya tidak membawa pengaruh baik pada semua teman sekelasku. Mereka begitu membenciku padahal tak pernah ku buat kesalahan apapun pada mereka. Aku tipe wanita yang tak banyak bicara, lebih suka menjadi pendengar dari pada harus banyak cerita. Ayah bilang, diam itu adalah emas. Dan orang yang suka berbicara, maka akan semakin banyak peluang timbul kebohongan di dalam ceritanya.

 

"Jadi, ayahmu kerja apaan Mar? Orang gak tamat sd begini mungkin susah ya cari kerja?"

 

Nora mengambil tempat duduk di sebelahku. Menatapku intens menunggu respon. 

 

"Halah...Paling cuma menggarap sawah doang. Orang gak bersekolah mana ada punya keahlian kecuali mainin tanah." Talita kembali angkat suara. Tapi, Nora sepertinya belum puas jika belum ku katakan langsung.

 

"Apa yang Talitha katakan itu benar, Nor. Ayahku hanya penggarap sawah." ujarku hingga berhasil membuat netranya membola. Aku sama sekali tidak berbohong, kok. Keseharian ayah memang sering ke sawah, menggarap, menanam, dan memanen. Meski sebenarnya ayah adalah seorang juragan tanah dan memiliki ratusan hektar kebun sawit, pinang, coklat, kopi, dan karet. Bahkan, sekolah yang mereka tempati saat inipun adalah tanah milik ayah sendiri. Tapi, pekerjaan ayah tak perlu aku katakan. Toh, kata ayah semua itu hanyalah titipan. Jika tuhan mau, ya tinggal ambil.

 

Jawabanku akhirnya membuat semuanya terbahak, kecuali Tari teman dekatku yang baru saja memasuki ruang kelas.

 

"Tapi kok bisa ya kamu sekolah di SMA berkelas seperti ini. Dapat uang dari mana bapakmu, Mar?"

 

Talitha menghampiriku. Ia duduk di atas meja milikku seolah ia adalah ratu di kelas ini.

 

"Nyopet kali. Ayahnya Maryam kan udah tua banget kayaknya di lihat dari biodatanya. Pasti punya ilmu-ilmu gak jelas begitu." tukas Nora yang berhasil membuat semuanya saling pandang.

 

"Benar juga sepertinya...Iiih..Ngeri juga ya." sambut yang lain.

 

Aku tidak menyela pembicaraan mereka sama sekali. Ku biarkan mereka puas menghina hingga suatu hari mereka akan tahu sendiri tanpa ku beri tahu siapa ayahku yang mereka rendahkan itu.

 

Aku memutuskan keluar kelas . Duduk bersama mereka hanya akan membuat panas hati. Biarlah aku duduk dulu di balkon sembari menunggu bel berbunyi.

 

Tari mengekori langkahku, sepertinya ia pun tak enak hati jika harus duduk bersama Talitha dan komplotannya yang memang doyan mencari gara-gara.

 

"Eh, kok main pergi aja, Mar. Mau ke mana?" Tanya Suri berbasa basi di saat melihatku bangkit dari tempat duduk.

 

"Ke toilet." jawabku asal. Kemanapun aku pergi, apa pula pedulinya?

 

Aku dan Tari duduk di balkon sembari bel di bunyikan. Salahku juga sebenarnya terlalu cepat pergi sekolah. Seharusnya aku tiba di sini menjelang bel berbunyi saja agar tak banyak waktu untuk berkumpul dengan mereka.

 

"Kenapa tidak jujur saja sih, Mar? Emangnya gak capek di bully terus sama mereka?" tanya Tari di sela-sela obrolan ringan kami.

 

" Nanti mereka juga bakalan tahu, Tar."

 

"Kenapa gak kamu saja yang mengatakannya? Aku kok kesel ya sama mereka yang suka membully orang." Tari menggerutukkan giginya. Namun aku tahu, iapun tak berani melawan karena Talitha memiliki banyak teman komplotan. Semua siswa seolah patuh saja padanya. Mungkin, karena ia anaknya kepala sekolah.

 

Saat asyik mengobrol, suara bising dari dalam kelas membuatku dan Tari beringsut dari tempat duduk. Khawatir jika tadi kami tidak menyadari bel berbunyi karena keasyikan bercerita.

 

Kami setengah berlari memasuki kelas, tampak Thalita dan siswi lainnya tengah bergerumul mengelilingi seorang pria yang membelakangi pintu. Siapa dia?

 

"Sepertinya ada murid baru, Mar." bisik Tari hingga membuatku ber 'oh' saja. Ingin aku kembali duduk ke balkon, namun bel masuk sudah berbunyi yang membuatku mengurungkan niat.

 

Seorang lelaki muda tampak tengah duduk di kursi guru. Rasanya, wajahnya begitu familiar di mataku. Seakan pernah bertemu namun aku lupa di mana tempatnya. Aku menyisir ke seluruh sisi ruangan, tak ada terlihat murid baru di sini. Mungkin yang di kerumuni Thalita dan komplotannya memang guru baru ini, bukan siswa baru.

 

"Ganteng amat sih guru barunya. Kalau kayak gini siapa yang gak betah, coba?" bisik Tari yang hanya ku respon dengan senyuman. 

 

"Mana tahu itu laki orang, Tar. Jangan keduluan baper." sambutku juga akhirnya setelah melihat  tingkah Tari yang layaknya ulat pinang.

 

"Ehm....Ini Maryam putrinya pak Abizar Mahavir bukan, ya?"

 

Kepalaku langsung terangkat ketika guru baru itu menyebut nama ayah.

 

"Iya, Pak. Anak dari penggarap sawah warga. Hi...hi..." sambut Thalita yang membuat suasana kelas kembali riuh.

 

Guru baru itu sama sekali tidak menghiraukan makian anak-anak didiknya. Ia hanya menatapku intens dengan senyum mengembang dari bibirnya. Dih...meleleh!

 

 

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status