Share

Part 5

Suri dan Nora segera menarik tangan Thalita yang masih terbaring di lantai. Sedangkan Afkar sudah mendapatkan ponsel yang sedari ia incar dan menghapus vidio Thalita. Setelah itu, ia keluar ruangan dan tidak kembali lagi.

 

Dan aku?

 

Aku malah menjadi salah tingkah sekarang. Antara ingin tertawa dan mengasihani nasib Thalita yang kini keningnya sudah tampak benjolan sebesar bakpau dengan warna kehijau-hijauan. Ia terus meringis kesakitan namun tak juga reda mengumpatiku dengan kata-kata kotor. Begini memang kalau keras kepala, sudah kena karma belum juga sadar diri.

 

"Kita bawa ke ruang uks saja, Sur." ajak Nora pada Suri sebelum mereka meninggalkan kelas. Aku dan Tari tidak diam saja, tapi kami masih mengekori ketiganya meski tidak turut membantu menuju ruang uks.

 

"Bagaimana ini kejadiannya, kok bisa seperti ini, Tha?" Bu Ririn terlihat panik. Tangannya masih sibuk memberi obat luka ke kening Thalita yang ternyata sempat tergores dan mengeluarkan darah meski hanya beberapa tetes.

 

"Itu, Bu. Di dorong sama Maryam." tuduhnya asal yang membuatku seketika mengangkat kepala. Jahat sekali.

 

"Kok malah aku yang kamu salahin, Tha? Bukannya kamu sendiri yang awalnya membuat ulah?" sanggahku. Di rendahkan karena terlihat miskin mungkin tidak masalah bagiku. Tapi jika sudah di fitnah aku tidak bisa terima. Semua itu, menyangkut harga diri. Jika sampai Thalita menyebar kebohongan semakin buruklah namaku di sekolah ini.

 

"Benar itu, Bu. Thalita yang duluan membuat masalah." bela Tari. Ia mencebikkan mulutnya ke arah Thalita dan dua sahabatnya.

 

"Halah....Dari keadaan Thalita saja kita sudah bisa menilai siapa di sini yang bersalah." Suri tak mau kalah. Ia menunjuk-nunjuk kening Thalita yang kini benjolannya semakin membesar. Padahal sudah di beri obat oleh bu Ririn. 

 

"Nah, bener itu Sur. Ibu lihat deh kening Thalita, benjol kayak begitu. Bagaimana mungkin bisa seperti itu kalau tidak ada yang mendorongnya? Benar kan, Tha?" tambah Nora memprovokasi. Memang kalau otak-otak licik ya begini. Tidak mau kalah meski sudah jelas bersalah.

 

Bu Ririn tampak bingung. Melihat ke arahku dan Thalita bergantian. Mungkin beliau pun belum bisa memutuskan siapa di sini yang salah dan siapa yang benar. Namun, beliau masih belum memberikan keputusan. Beliau terus mendengarkan ocehan dari dua belah pihak.

 

"Kalau udah berani mencelakai orang kayak gini, sebaiknya kita panggil saja orangtuanya, Bu. Biar tau nih kelakuan si Maryam di sekolah. Udahlah miskin, belagu lagi. Di kiranya ayahnya banyak duit untuk bayarin biaya rumah sakit?" imbuh Thalita memberi saran.

 

"Wah....Ide bagus itu, Tha. Biar orang-orang pada tahu gimana bentuk wajahnya ayah si Maryam yang kerjanya main lumpur itu. Iiih....Gak kebayang pokoknya." Suri memberi dukungan dengan menjujukan dua jempol tangannya, kemudian lanjit mengapit hidungnya. Seolah-olah begitu jijik dengan ayahku.

 

"Sudahlah, Thalita....Kalian saling memaafkan saja ya, Nak.  Mungkin Maryam tidak sengaja." bu Ririn menengahi. Tapi Thalita dan dua temannya langsung menolak, dengan alasan yang bersalah harus mendapatkan ganjaran.

 

Akupun sama sekali tidak memberontak. Jika mereka maunya di perpanjang ya sudah. Toh aku tidak bersalah, untuk apa harus takut?

 

"Jadi bagaimana lagi, Tha? Masalah kecil seperti ini tidak perlu kita perpanjang. Saling memaafkan saja, ya. Ini lukanya juga sebentar lagi akan sehat, kok." pinta bu Ririn lagi. Berharap agar Thalita melunak hatinya namun sayangnya malah semakin melunjak. "Tidak bisa, Bu. Di sini aku adalah korbannya. Masa iya aku biarkan penjahatnya lepas begitu saja."

 

"Ya sudah. Kita selesaikan masalah ini ke kantor!"

 

Ketiganya terbelalak. Saling pandang dan langsung menggeleng tidak setuju. "Tidak usah di sidang segala dong, Bu. Orangtuanya langsung di panggil saja. Toh, sudah jelas aku yang menjadi korban."

 

"Jelaskan nanti di kantor. Ayo, Maryam. Kita ke kantor sekarang." Bu Ririn berjalan lebih dulu meninggalkan ruang uks.

 

Aku mengangguk, menggandeng tangan Tari untuk mengikutiku ke dalam kantor. Rasanya, sudah tidak sabar ingin melihat Thalita dan dua sahabatnya menahan malu karena telah membuat tuduhan palsu. Untung saja Tari cepat tanggap dengan menyalakan kamera ponselnya di saat Thalita mulai membuat ulah. Vidio itu cukup kami perlihatkan pada kepala sekolah dan para guru, aku percaya dengan melihat itu saja sudah bisa menjelaskan semuanya.

 

"Maryam, ada apa?"

 

Langkahku seketika terhenti dengan meremas erat jari jemari Tari kala melihat pak Askari berdiri beerapa senti di hadapanku. Sepertinya guru muda ini baru saja keluar dari mushalla sekolah yang letaknya memang berdekatan dengan ruang uks. Terlihat dari rambutnya yang masih menyisakan tetes-tetesan air wudhu' hingga menambah aura ketampanannya. Ya Allah....Himpit hati ini, jangan sampai terlepas.

 

"Ti-Tidak ada apa-apa, Pak." jawabku gelagapan. Entah kenapa berhadapan dengan guru muda ini malah membuatku salah tingkah sendiri. Jantung berdentum-dentum dan keringat dingin.  Apakah ini yang di namakan cinta? Orang bilang, jika jantung berdebar-debar saat bertemu lawan jenis itu pertanda cinta. Namun, rasanya jika berpapasan dengan preman pasarpun jantungku berdebar-debar juga. Hufh....Terus, ini apa?

 

 

Tuhan....

 

Beri petunjukmu.

 

"Baiklah. Saya masuk ke kantor dulu." ujarnya tersenyum. Manis sekali. Bukan semanis gula, tapi semanis madu asli. Hingga semutpun tak bisa mengerubungi kecuali hanya aku. Eh....

 

 

Sadar Maryam.....Sadar.... 

 

Cita-citamu masih tinggi. Jangan macam-macam!

 

Aku menepuk-nepuk sebelah pipiku. Rasanya sebal juga dengan perasaan langka ini. 

 

"Pipinya jangan di pukul seperti itu. Entar cantiknya hilang."

 

 

Deg!

 

 

Dia bilang apa tadi?

 

 

Pak, bisa di ulang lagi gak kalimatnya?

 

Bersambung.....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status