[Mar...Kalau sudah pulang sekolah, datang ke rumah sakit, ya. Ayah nanyain kamu dari tadi.]Satu pesan dari ibu di aplikasi hijau membuatku segera menukar seragam sekolah. Sebenarnya belum sampai lima menit aku tiba di rumah, namun sebelum mengganti baju aku lebih dulu menyantap makan siang karena saat di sekolah malas ke kantin. Sekejam itu rupanya jika bermasalah dengan hati. Pantas saja orang-orang bilang lebih baik sakit gigi dari pada sakit hati.Di rumah ini hanya ada aku dan Bibi. Bang Rofiq memang dari semalam belum juga pulang dari rumah sakit karena tak mau membiarkan ibu di sana sendirian. Sedangkan para pekerja perkebunan yang biasa nginap di sini sudah kembali bekerja. Hari ini adalah hari panen sawit dan coklat yang mana besok pagi harus di antarkan langsung ke pabriknya."Mbak Anjela tadi jam sepuluh pulang loh, Neng. Tahu, kan?"Saat aku memasang kaos kaki baru, bibi mendatangiku. Ia tengah membawa mangkok kecil berisi bibit cabe rawit juga bibit terong kampung."Pulan
"Belajar yang baik. Saya yakin suatu saat nanti kamu bakalan menjadi gadis yang sukses dan mendapatkan jodoh yang terbaik."Pak Askari mengelus kepalaku. Ia tersenyum namun bukan denganku. Ku tahu kalau sebentar lagi ia akan menjadi milik wanita lain, namun salahkah jika perasaan ini masih memiliki sisa cinta untuknya? Di balkon ruang kelas ini, aku dan pak Askari menikmati hembusan angin dengan segelintir cahaya yang menyapa kulit. Tak ada perjanjian awalnya, tiba-tiba setelah bel istirahat berbunyi beliau menemuiku dan mengajakku berbicara empat mata.Satu minggu setelah kepergian ayah, aku baru masuk sekolah hari ini. Itupun bukan karena batin dan fisik kembali kuat namun tuntutan pendidikan yang harus bagaimanapun akan aku kejar. Selain demi menjalani permintaan terakhir ayah, tentunya demi masa depan. Ku harap, akan ada pelangi yang menerpa setelah sekian lama di guyur hujan. Semangat memang mungkin sudah berkurang, tapi bukankah tetap akan sampai walau hanya berjalan terseok-seo
"Terima aja, kali bisa ngilangin suntuk." sahut Tari. Mendengarnya, aku kembali berfikir. "Bagaimana kalau dia punya niat buruk?""Masa iya kak Vino kayak gitu?""Yah, namanya juga laki-laki." aku bergidik ngeri mengatakan itu. Pasalnya, akhir-akhir ini sudah cukup banyak para remaja yang punya kelakuan di luar batas. Berprilaku brutal, mengedepankan ego, emosi, dan juga nafsunya. Hingga tak sedikit para wanita yang menjadi korban akibat peegaulan yang tak terjaga.Ku tahu wanita di dalam Islam sangat dijaga kehormatannya, karena dalam Islam wanita dipandang sebagai perhiasan yang harus dijaga dengan sebaik-baiknya. Sebagai bukti bahwa wanita didalam Islam diwajibkan untuk menutupi seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya, secara tidak langsung semua itu menandakan bahwa wanita dalam Islam adalah suatu hal yang berharga.Wanita di dalam Islam memiliki aurat yang harus dijaganya dari orang-orang yang bukan mahramnya. Karena dikhawatirkan bisa mengundang hawa nafsu kaum A
"Dih, Mar....Ayahmu rupanya tidak pernah bersekolah, ya?"Aku sempat tersentak kala mendengar pertanyaan Talita teman satu sekolahku yang memeriksa rapor milikku. Hari ini kami di tugaskan untuk mengumpulkan kembali semua rapor, sebab beberapa bulan lagi kami akan mengadakan ujian semester. Baru saja rapor milikku aku letakkan di atas meja, berpaling sebentar, rupanya sudah di ambil begitu saja oleh Talita, anak kepala sekolah di sini."Yang benar kamu, Ta?"Suara Nora terdengar menyahut dari arah kursinya."Ya iyalah. Di sini tidak ada di tuliskan sekolah apapun. Sd pun tidak.""Pantas ya selama ini Maryam gak mau memperkenalkan ayahnya sama kita. Hi hi.... Rupanya ayahnya buta pendidikan." sambut Suri, teman satu komplotannya Talita."Kalau aku sih sebenarnya sudah curiga juga dari awal. Tapi kan, kita perlu bukti juga." sambung Talita dengan gelak tawanya.Posisi kami kini sedang di dalam ruang kelas menanti bel masuk berbunyi. Tapi seperti biasa, keberadaanku di sini terasa bagai
Kegiatan belajar mengajar di jam pertama akhirnya kelar juga. Guru muda yang bernama pak Askari itu segera minta izin keluar ruangan setelah memberikan tugas. Talita dan anggota gengnya tak tinggal diam, mereka berlarian ke arah meja guru ketika melihat pak Askari bangkit dari tempat duduknya."Pak....Fotbar boleh dong?" Talitha mendekat, mengeluarkan ponsel mewahnya dari dalam saku baju memberi kode. "Iya, Pak...Fotbar ya...Sekaliiii aja." sambut yang lain. Pak Askari tampak bingung. Ia memandangku sesekali dengan menggaruk kepalanya yang mungkin tidak gatal sama sekali. Aku yang sudah kebaperan di tatap seperti itu memutuskan menundukkan kepala, kata ayah wanita itu harus memiliki rasa malu. "Hmm..Boleh, tapi Maryam tidak ikut?"Pak Askari menatapku lagi. Jantungku sudah berdentum-dentum layaknya pemain drum band. Baru kali ini aku merasakan perasaan aneh kayak begini."Tidak usah, Pak." jawabku. Memaksa memancarkan seulas senyum di bibir ini."Maryam jadi tukang foto aja, Pak. N
Aku mencubit lengannya. Kayaknya ini anak sudah habis kesabarannya supaya tidak tahan menampung rahasia. Wajah putihnya sudah memerah layaknya udang rebus, namun aku hanya berusaha santai seolah makian mereka tidak pernah nyangkut di telinga. "Sudahlah Tari. Temanmu itu emang kere sejak lahir. Gak usah deh pake di belain segala apalagi ngehaluin dia jadi anak orang kaya. Duit lima ratus ribu itu aja mungkin belum pernah tuh di pegang sama si Maryam seumur hidupnya." Ujar Thalita yang di angguki oleh yang lain."Benar itu, Tari.""Bener. Jangan ngehalu deh.""Jadi, bagaimana ini kak?"Salah seorang anak smp itu kembali bersuara yang berhasil menghentikan semua cemoohan mereka. Kini, semuanya hanya saling pandang dan mengedikkan bahu masing-masing.Sebenarnya aku ingin sekali membantu Mesi dalam masalah ini, kebetulan tadi pagi ayah memberiku uang kes satu juta karena di minta untuk membeli bahan kue di pasar sore setelah pulang sekolah nanti. Aku fikir ayah tidak akan keberatan jika u
"Keren kamu, Mar. Nyumbang lima ratus ribu loh. Bisa beli paket internet telkomsel lima bulan." puji Tari seraya melirik ke arah Thalita juga teman komplotannya. Mau balas dendam kayaknya ini anak."Halah...Paling itu hasil nuyul. Benar gak guys?"Nora mencebik ke arahku dan menyisir ke seluruh siswa. Namun, tidak semuanya yang tampak mengiyakan. Mereka hanya memandangiku dan Nora bergantian, lalu kembali pada kegiatannya masing-masing. Aku percaya, sebenarnya tidak semuanya yang ingin memuja-muja Thalita di kelas ini. Namun karena ia anak dari kepala sekolah, ia merasa bangga diri dan suka berbuat semena-mena hingga yang level perekonomiannya di bawah Thalita hanya bisa manut dan mau tidak mau nimbrung menjadi pengikutnya jika tidak ingin di jauhi."Sudahlah, Nor. Duit lima ratus ribu gitu aja kok bangga. Itupun belum tentu loh dia benaran ngasih. Kita lihat aja nanti. Mana tahu cuma numpang viral doang. tukas Thalita dan bangkit dari tempat duduknya. Padahal bu Dewi, guru jam ke du
Suri dan Nora segera menarik tangan Thalita yang masih terbaring di lantai. Sedangkan Afkar sudah mendapatkan ponsel yang sedari ia incar dan menghapus vidio Thalita. Setelah itu, ia keluar ruangan dan tidak kembali lagi.Dan aku?Aku malah menjadi salah tingkah sekarang. Antara ingin tertawa dan mengasihani nasib Thalita yang kini keningnya sudah tampak benjolan sebesar bakpau dengan warna kehijau-hijauan. Ia terus meringis kesakitan namun tak juga reda mengumpatiku dengan kata-kata kotor. Begini memang kalau keras kepala, sudah kena karma belum juga sadar diri."Kita bawa ke ruang uks saja, Sur." ajak Nora pada Suri sebelum mereka meninggalkan kelas. Aku dan Tari tidak diam saja, tapi kami masih mengekori ketiganya meski tidak turut membantu menuju ruang uks."Bagaimana ini kejadiannya, kok bisa seperti ini, Tha?" Bu Ririn terlihat panik. Tangannya masih sibuk memberi obat luka ke kening Thalita yang ternyata sempat tergores dan mengeluarkan darah meski hanya beberapa tetes."Itu, B