Share

Part 7

"Dek, ini uang yang tadi pagi aku bilang. Titip salam sama Mesi, ya." titahku pada Ayana siswi smp yang tadi pagi meminta sumbangan ke kelas.

 

Ia tampak kikuk merima uang yang aku berikan. Lama memperhatikan lembaran uang berwarna merah itu baru mau memasukkannya ke dalam kotak.

 

"Tenang saja. Itu bukan uang curian kok." ujarku akhirnya. Aku seperti bisa membaca isi fikirannya. Karena yang mereka tahu aku ini hanyalah anak dari penggarap sawah yang tentunya untuk makan saja susah.

 

Ia tersenyum cengengesan. Nampak sekali jika bibirnya di tarik paksa demi menghargai ucapanku. "Iya, kak. Makasih banyak ya. Nanti kami titipin salam kakak, deh."

 

Aku mengangguk. Lalu beralih mengambil sepedaku di sudut parkiran sekolah. Sore ini aku harus  mampir ke pasar sore dulu untuk membeli bahan-bahan kue, kata ayah bahan kue ibu sudah habis dari kemaren. Ibu sebenarnya tidak berjualan kue, namun ibu hobby memasak yang membuatnya seperti seorang pedagang. Seharian bahkan separoh waktunya habis di dapur saja, menghidangkan beragam macam masakan yang sebagiannya di berikan pada para pekerja yang rumahnya ada di dalam PT. 

 

Sekitar lima kilo dari rumah, kebun sawit ayah sudah bisa di temukan. Jalanannya pun sudah beraspal bagus yang tentunya sudah bisa di lewati mobil-mobil besar. Dan di pertengahan kebun akan terlihat  perkampungan kecil dengan rumah-rumah susun yang penghuninya sekitar dua ratus orang. Mereka adalah pekerja perkebunan yang ayah sediakan tempat tinggal.

 

Aku sudah cukup gesit mengelilingi pasar untuk mencari pesanan ibu. Karena setelah kakak keduaku tamat SMA dan kuliah di luar negri, akulah yang melanjutkan aktifitasnya ke pasar jika untuk membeli bahan-bahan kue. Tapi jika untuk mebeli sayuran dan lauk, biasanya ada bi Inah dan bi Saroh. Saudara jauh yang bekerja di rumah untuk membantu-bantu pekerjaan ibu.

 

"Mau bikin kue lagi ya, neng?" 

 

Sapa mang Nardi ramah sesampainya aku di tokonya. Maklum, kami sudah sering ketemu. Jadi sudah cukup kenal.

 

Aku mengangguk. Kemudian menyerahkan secarik kertas yang berisi tulisan bahan-bahan pesanan ibu. Setiap ibu menitip memang selalu beliau tuliskan di kertas, untuk jaga-jaga saja katanya jika aku kelupaan. Apalagi bahan kue yang akan di beli tidak hanya satu dua macam saja.

 

"Ibunya jualan di mana sih, Neng? Rasanya banyak-banyak terus kalau beli bahan kue."

 

Tanya mang Nardi yang masih mondar mandir mengambil pesananku. Sebenarnya pertanyaan ini sudah lebih tiga kali ia lontarkan padaku, dan entah kenapa ia tidak bosan memberi pertanyaan yang berulang-ulang padahal jawabankupun tidak pernah berubah.

 

"Gak jualan, Mang. Untuk di makan di rumah saja." jawabku. Masih sama dengan jawaban sebelumnya.

 

"Wahh....Pasti masakan ibunya enak banget, ya." pujinya. Aku hanya mengangguk saja menanggapi kalimatnya, takut jika terus ku balas ceritanya akan semakin panjang di kali lebar. Dan tidak enak juga di dengar oleh pembeli yang lain.

 

"Totalnya 450.000 ya, Neng."

 

Mang Nardi menyerahkan belanjaanku yang sudah di masukkan ke dalam kantong kresek dan segera ku serahkan uang lima ratus ribu. " Sisanya, tambahin saja tepung panir, tepung serbaguna, terigu dan gula, Mang." pintaku. 

 

Sebenarnya jumlah belanjaan ibu tadinya hampir 600.000. Tapi sebagiannya sengaja aku kurangi dalam catatan karena sebagian uangnya sudah aku masukkan ke dalam kotak donasi. Ibu bilang tidak masalah di saat aku mengabarinya, katanya belanjaannya saja yang di kurangi.

 

"Hati-hati ya, Neng. Lumayan berat ini." ujar mang Nardi setelah menambah pesananku. Aku hanya tersenyum menanggpinya, melihatnya saja sudah terbayang bagaimana tenagaku harus terkuras karenanya. 

 

Duh, ribet juga ini bawanya. Mana aku hanya pakai sepeda. Ku lirik sepedaku yang bertengger di belakang pagar besi, rasanya sulit juga jika harus di paksakan. Nanti, sepedaku hanya akan terseok-seok keberatan tumpangan. Apalagi, jarak rumahku dari sini lumayan jauh. Berada di tengah persawahan yang luas kiri kanannya seluas mata memandang. 

 

"Bisa, neng?"

 

Mang Nardi mendatangiku ke tepi jalan. Rupanya ia kasihan juga melihatku yang terlihat linglung begini.

 

"Apa ada kardus kosong, Mang? Kalau ada, kyaknya belanjaan ini di bikin di kardus saja."

 

Tanpa menjawab pertanyaanku, beliau langsung bergegas ke dalam tokonya. Membawa satu buah kotak kardus beserta tali rafia untuk pengikatnya di belakang. 

 

"Aman, neng?"

 

"InsyaAllah aman, mang. Makasih, ya mang. Assalamu'alaikum."

 

"Wa'alaikumussalam, neng. Hati-hati."

 

Aku mengatupkan kedua tangan ke arahnya setelah bahan kue ini bertengger rapi di belakang. Setelah itu, segera ku lajukan sepeda menuju arah jembatan panjang, dan berbelok ke arah kiri. 

 

Lima belas menit setelah memasuki persimpangan, tugu gapura yang merupakan pintu masuk pedesaan sudah mulai terlihat. Sebuah jalanan beraspal yang tidak terlalu lebar membelah sawah bertingkat-tingkat di bagian sisi kanan dan kiri yang akan menemani perjalanan hingga nanti akan mentok di depan bangunan  masjid megah berwarna putih. 

 

Di desa ini, banyak rumah penduduk yang berdiri di pertengahan sawah. Hingga saat membuka pintu dan jendela keindahan alam yang telanjang langsung terlihat tanpa penghalang dan tidak bising oleh kendraan dari jalanan, meski sebenarnya  suasana di desa ini relatif tenang karena tidak begitu banyak kendraan yang lalu lalang kecuali hanya anak-anak yang pulang pergi sekolah dengan sepeda.

 

Masyarakat hanya akan menggunakan motor jika bepergian ke sawah dan menuju pasar pagi yang letaknya di luar tugu gapura. Dan yang lebih seringnya sepeda dan motor   mereka gunakan untuk membonceng  karung-karung berisi rumput, benih padi, atau bekal bersawah. Setibanya di lokasi, motor hanya akan mereka tinggal begitu saja di tepi jalan seolah tidak takut kehilangan. 

 

Aku mencintai desa ini. Dan aku bangga menjadi orang desa. Aman, damai, sejuk, dan satu lagi, semua masyarakat disini sejahtera. Meski hanya bertani tetapi tidak satupun di antara mereka yang pernah kekurangan. Aksi saling tolong menolong serta rasa kekeluargaan disini masih cukup kental.

 

"Maryam?"

 

Aku yang sedari tadi berhenti sejenak di depan masjid menoleh ke arah lelaki berkaca mata hitam yang baru saja membuka kaca mobilnya. Aku menyipitkan kedua mata agar bisa melihat dengan jelas. Silau matahari menghambat penglihatanku. Apalagi mobil itu seakan berhenti tepat di bawah sinar matahari yang beberapa jam lagi mungkin akan tenggelam.

 

"Silahkan masuk."

 

"Pak Askari?"

 

Aku terpaku. Lelaki yang mengenakan baju batik itu menghampiriku dan memindahkan begitu saja sepeda beserta barang bawaanku ke dalam mobilnya.

 

"Pak...Tidak perlu, lima menit lagi sudah sampai." tolakku mengejar langkahnya. Takut saja, detak jantungku akan melebihi 100 bpm permenit jika harus berduaan dengannya di dalam mobil. Bisa-bisa, bisa mati berdiri.

 

"Sudah, masuk saja. Pak Abi sudah menunggu."

 

Aku mengernyit. Beliau memanggil ayah dengan nama 'Abi'? Bukankah nama itu adalah nama kecil ayah yang sering di pakai oleh nenek dan keluarga besar ayah saja? 

 

"Maaf, Pak. Dari mana  bapak mengetahui panggilan kecil ayah?"

 

Bersambung....

 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status