Share

Part 6

Kami semua sudah berkumpul di ruang guru, tinggal menunggu pak kepala sekolah keluar dari ruangannya agar sidang ini di mulai. Aku duduk bersebelahan dengan Tari. Sedangkan Thalita duduk di tengah-tengah dua dayangnya, Suri dan Nora yang di batasi satu meja panjang dari kami. Dan di hadapan kami berlima, belasan guru sudah menempati tempat duduknya masing-masing. Silih berganti memperhatikanku dan Thalita, dan saling berbisik-bisik.

 

Aku fikir memasuki ruang guru tidak akan semenegangkan ini karena aku jelas tidak bersalah. Namun nyatanya jantungku masih saja deg-degan tidak karuan. Apalagi, tepat di hadapanku ada pak Askari yang sedari tadi sering kali mencuri pandang. Hingga membuatku semakin serba salah.

 

"Kita pasti menang, Beb. Tenang sajalah." terdengar Suri menenangkan Thalita yang tak kalah tegangnya dariku. Tangannya tampak meremas ke dua tangan sahabatnya seraya bibirnya yang terus bergerak sedari tadi. Mungkin saja ia berdzikir minta perlindungan. Eh, apa mungkin manusia selicik dia akan di lindungi?

 

"Tapi kok aku takut gini ya. Padahal aku yakin kalau kita bakalan menang karena kepala sekolahnya kan ayahku." balas Thalita setelah menghembuskan nafasnya.

 

"Mungkin karena belum pernah masuk kantor aja. Tenang....Tenang....Kita pasti menang." Nora menimpali.

 

"Tapi malu banget tau di sidang begini di hadapan pak Askari. Serasa menjatuhkan harga diri. Entar dikiranya aku anak gak baik lagi."

 

"Santai aja, beb. Senakal apapun kamu kami yakin kok kalau pak Askari akan kepincut juga sama kamu. Kamu kan cantik, kaya, pintar lagi. Sempurna deh pokoknya." puji Suri mengacungkan dua jempolnya.

 

"Yakin?"

 

"Ya, harus dong."

 

"Huffh...Okelah!"

 

Aku dan Tari hanya mendengarkan obrolan mereka. Meski di dalam sini ada gurat kesal di saat mendengarnya menyebut-nyebut nama pak Askari. Padahal pak Askari sendiri bukan siapa-siapaku. Keluarga bukan, tetangga juga bukan.

 

Menit berikutnya, seorang lelaki bertubuh gempal yang menggunakan jas casual dan kaca mata  bening tampak keluar dari sebuah ruangan. Beliau berdiri di depan pintu ruangannya yang sudah tertutup seraya menyisir ke arah kami berlima dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Mungkin beliau sudah mengetahui permasalahan ini.

 

Jantungku semakin berdentum tak teratur. Secara aku bukanlah anak dari seorang guru apalagi anak kepala sekolah seperti Thalita yang mungkin akan mendapat pembelaan. Takut saja, jika hukum di sekolah ini sama saja dengan hukum di negara konoha. Bukan yang bersalah yang menerima ganjaran, melainkan yang bukan siapa-siapa. 

 

Kehadiran pak kepala sekolah di ruangan ini, tidak satupun di antara kami yang berani mengangkat kepala. Baik Thalita maupun para guru. Sepertinya beliau memang kepala sekolah yang bersahaja, lantas banyak orang yang menyegani dirinya. 

 

Mungkin saja begitu. Bukan karena sebaliknya.

 

"Ehm...!!"

 

Hampir saja jantungku melompat kala mendengar batuk pak kepala sekolah yang rasanya seperti di sengaja. Ingin aku menoleh, tapi hatiku menyuruh jangan. Kira-kira, apa yang akan terjadi di detik berikutnya?

 

"Thalita....."

 

Pak kepala sekolah memanggil putrinya.  Lalu, diam sesaat dan menoleh ke arahku. Ku tarik ulur nafas berulang kali dengan meremas sebelah tangan Tari seolah di sana bisa ku dapatkan kekuatan.

 

Tidak sabar menunggu lanjutan ucapannya, namun rasa takut malah semakin besar.

 

"Meminta maaflah pada Maryam!"

 

Deg!

 

Kepalaku reflek terangkat begitupun dengan Thalita dan kedua sahabatnya.

 

Kenapa tiba-tiba?

 

Tidak perlukah kami menunjukkan buktinya terlebih dahulu supaya lebih jelas pada semuanya siapa yang bersalah? 

 

"Kenapa malah Itha yang meminta maaf, Yah?"

 

Thalita bangkit dari tempat duduknya. Ia menatapku sinis seolah akulah yang merayu ayahnya  agar berkata seperti itu.

 

"Jangan panggil saya Ayah jika di dalam sekolah. Bukankah sudah saya beritahu sebelumnya?"

 

Suara pak Fajri terdengar datar, namun penuh penekanan. Sorot matanya yang tajam bahkan tak surut memandangi wajah putrinya.

 

"Karena kamulah yang bersalah. Lebih baik meminta maaf sekarang!" imbuh beliau lagi.

 

Anehnya, bukan rasa lega yang timbul melainkan rasa penasaran. Aneh saja, beliau menyuruh putrinya yang meminta maaf padahal belum ada sesi pertanyaan pada ke dua belah pihak.

 

"Tidak mau. Dia yang bersalah kenapa harus aku yang meminta maaf? Eh, kamu....Pelet apa yang kamu kasih ke ayahku agar dia membelamu?"

 

Thalita berkacak pinggang dengan sebelah tangannya. Sedangkan tangan yang satunya ia gunakan untuk menunjuk-nunjuk wajahku. Suaranya melengking layaknya orang kesetanan, tidak ia hiraukan siapa saja yang tengah duduk di hadapannya.

 

Sebagian guru mulai terlihat mengelus dada, dan yang lainnya berjalan ke arah Thalita untuk menenangkannya.

 

"Sabar, Tha. Dengarkan dulu pak kepala sekolah berbicara. Kita selesaikan baik-baik." ujar bu Dewi mengelus punggungnya.

 

"Bagaimana mungkin aku bisa sabar sedangkan di sini aku tersudutkan? seharusnya dia yang meminta maaf padaku karena telah membuatku terluka." bantahnya yang masih menatapku dengan tajam.

 

 

"THALITHA!!"

 

 

Kami semua kembali tertunduk. Suara pak Fajri menggelegar dengan sorot matanya yang sudah memerah menahan amarah.

 

"Cepat minta maaf pada Maryam. Jangan banyak alasan!!"

 

 

Thalita tak lagi bersuara. Ia menundukkan kepalanya sesaat dan memukul meja di hadapannya hingga bunga mawar rias dengan vas kaca itu terjatuh dan beradu dengan lantai.

 

 

PRANG!!!

 

 

"Jijik meminta maaf sama orang miskin sepertinya!"

 

Thalita berlari meninggalkan ruangan yang di susul oleh dua sahabatnya. Sedangkan pak Fajri seketika memegangi dadanya dengan ke dua tangan dan hampir tumbang ke lantai jika saja pak Askari tidak cepat menahan tubuhnya.

 

"Ta...Li...Ta..."

 

Masih terdengar suara lirih pak Fajri memanggil nama putrinya, dan detik kemudian kedua matanya langsung terpejam tak sadarkan diri.

 

Semua guru mulai panik, menghubungi pihak rumah sakit meminta pertolongan. Ya Tuhan....Lindungi pak Fajri. Dia orang baik.

 

_____

 

 

"Pak Fajri terkena serangan jantung, Bu?"

 

Aku cukup kaget saat mendengar cerita dari bu Dewi. Pasalnya, selama ini pak Fajri terlihat sehat-sehat saja. Mungkin tadi karena kaget saja melihat tingkah putrinya hingga penyakitnya tiba-tiba kambuh. Kasihan sekali.

 

"Iya, Mar. Kita do'akan saja semoga beliau baik-baik saja." jawab bu Dewi. Posisi kami kini masih di ruang guru. Setelah pak Fajri di larikan ke rumah sakit, aku mengurungkan niat untuk langsung keluar dari sini karena masih ada yang ingin aku pertanyakan.

 

"Bu, boleh tidak Maryam bertanya sesuatu?" tanyaku pada bu Dewi setelah perbincangan mengenai pak Fajri berhenti.

 

"Boleh, Mar. Ada apa?"

 

"Kenapa pak Fajri malah menyuruh Thalita meminta maaf padaku padahal kami belum menceritakan permasalahannya?"

 

"Kan ada cctv di kelas, Mar."

 

Hah?

 

Ada cctv di dalam kelas? Kira-kira dimananya? Rasanya aku sudah pernah memeriksa ruangan itu apakah ada di kasih cctv, namun tidak kelihatan olehku.

 

 

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status