“Apa? Calon istri dari desa?” “Pasti kampungan dan tidak modis.” Itulah ucapan Dante Julian Vascos saat sang nenek akan menjodohkannya dengan seorang gadis yang bukan dari kota tempat tinggalnya juga tidak selevel dengannya. Bak menelan ludahnya sendiri, seakan terkena karma atas ucapannya itu, Dante yang dalam pengasingan bertemu seorang gadis yang tak pernah dibayangkannya. “Ayo kita pura-pura menikah saja, biar saudara-saudaramu itu tak berbuat seenaknya lagi.” Ajak Dante. Ayo lanjut baca dan support karyaku dengan komentar membangun, folow akun GN atau IG @authorparadista. Semoga buku ini menjadi buku dengan tulisan yang lebih baik dari buku-buku sebelumnya, maaf apabila masih banyak kekurangan :) Terimakasih dan selamat membaca.
Lihat lebih banyakJulian menggeleng-gelengkan kepalanya setelah puas memandangi Jemima yang tampak mulai tertidur.“Ah… untung saja orang asing itu, aku.” Desahnya lembut sambil berdiri, memadamkan lampu dan tidur di tempat yang sudah Jemima siapakan untuknya.Tanpa mereka berdua sadari, keduanya tertidur dengan pulas, keberadaan Julian membuat Jemima merasa dijaga seseorang sehingga dia bisa tidur pulas dan bagi Julian entah kenapa kasur lantai itu membuatnya terhipnotis hingga bermimpi indah.Sungguh ajaib, batin Julian saat dia terbangun karena sinar matahari dari jendela ruangan itu menyorot tepat pada wajahnya.Beberapa saat kemudian, Jemima terbangun dari tidurnya, namun dia kaget saat kasur lipat yang ditiduri Julian sudah terlipat rapi dan orangnya tidak ada dimanapun,Jemima sampai mencarinya ke kamar mandi hingga ke balkon, sayangnya tidak ada lagi sosok itu.“Apa dia pergi?” tanya Jemima berbicara sendirian.
Malam haripun berlalu, Julian sangat cemas karena sudah jam sepuluh malam, namun Jemima belum juga kembali pulang.Julian keluar dari ruangan itu dan saat berada di luar, dia bisa melihat jalanan dari atas sana, jalan itu adalah jalan yang tadi siang dia lalui bersama Jemima.Itu dia, batinnya saat melihat kemunculan seorang gadis yang dari tadi dicemaskannya.Terdengar suara langkah kaki semakin mendekat, Julian segera masuk kedalam rumah dan berpura-pura tidur.“Aku pu-lang … “ suara Jemima yang tadinya keras langsung dia pelankan.Apa dia sudah tidur? batinnya bertanya.“Sudah pulang?” tanya Julian sambil berpura-pura seakan dia baru saja terbangun dari tidur pulasnya.“Hey! maaf mengganggu,” ujar Jemima dengan tangan masih sibuk membuka sepatunya.“Kenapa tidur di sofa? badan kamu terlalu panjang, terlihat tidak nyaman.” Sambungnya.Julian memperbaiki pos
Setelah mendengar pertanyaan dari Jemima kedua mata Julian melebar karena tercengang. Wanita itu masih tampak menatap ke arahnya dengan penuh harap.Berani sekali wanita ini, batin Julian dengan wajah ditekuk dingin.“Ah, lupakan saja. Maafkan aku,” kata Jemima tiba-tiba.“Sungguh pertanyaan yang konyol,” desahnya lagi sambil menahan tawa.Julian hanya melirik dan masih terdiam, sesekali pria itu mengernyitkan dahinya karena bingung.“Akh… lupakanlah pertanyaanku tadi, lagipula kita mau hidup seperti apa nanti.” Kata Jemima lagi.“Kita miskin, kita tak memiliki apapun, meskipun sebenarnya… itu bukan masalah.” Lanjutnya terdengar putus asa.“Ada apa dengan sikapmu?” tanya Julian karena penasaran.Jemima melirik ke arah pria itu sambil mengedikkan bahunya.“Kamu bilang itu bukan masalah, apa kemiskinan bukan masalah bagimu?” tanya Julian lagi.Jemima mengangguk tegas, “tentu saja.” Jawabnya.“Oh ya? lalu… kalau kamu miskin, mau berobat, mau makan enak, mau apapun itu, bukannya susah? me
Tubuh Julian bergerak disertai kedua matanya yang melebar, lalu dia melirik ke arah Jemima yang dari tadi sudah membuka kedua matanya, mereka saling menatap, Julian merasa terkejut sekaligus canggung.“Maaf.” Ucapnya pendek.“A-a-aku, turut berduka cita.” Lanjutnya lagi.Jemima mengangguk paham.“Lalu, berapa hutangmu hingga ayahmu itu terus menagihnya? Aku benar-benar tak habis pikir?” tanya Julian berupaya agar mereka melanjutkan obrolannya dan membuang jauh rasa canggung serta rasa bersalahnya terhadap Jemima.Jemima memperbaiki posisi duduknya dengan kembali menatap ke arah depan sambil menghela napas.“Delapan ratus lima puluh tiga juta.” Lanjutnya menjawab, kalimat tersebut terdengar begitu berat.“A-apa? Itu uang yang kecil.” Ucap Julian terdengar terkejut.Jemima melirik dan kembali menatap Julian, “apa? Uang kecil?”“Ekhem! ma-ma-maksudku… bagi ayahmu, itu uang yang kecil.” Jawabnya terdengar ragu.“Oh, ya, seharusnya itu uang yang kecil. Sayangnya… dia memang tak memiliki ua
Jemima tampak terkejut dengan ancaman juga tamparan yang diterimanya barusan, dia refleks memegangi pipinya yang terasa panas, matanya terlihat merah karena amarah tapi dia juga tak bisa berbuat apa-apa.“Kenapa diam, Jemima?!” bentak sang ibu tiri, seolah tak merasa bersalah sedikitpun.Jemima menggeleng lembut, “maaf, Ibu. Aku tak bisa melakukannya.” Jawabnya tak berdaya tapi tetap pada pendiriannya yang keras kepala.Wanita itu tampak marah dan sekali lagi dia mengangkat telapak tangannya, namun entah kenapa dia tak jadi memukul wajah Jemima lagi.“Benar-benar tak tau terimakasih!” dengusnya sambil sesekali melihat ke arah pria asing yang masih duduk membeku di ruangan itu.Wanita itu maju mendekat ke arah Jemima, lalu membisikan sesuatu sebelum akhirnya pergi begitu saja.“Hutang ini harus kamu yang bayar, Ian tidak mau tubuh Sania!”Kedua mata Jemima sampai melotot, dia benar-benar tak habis pikir dengan wanita ini. Bahkan anak kandungnya sendiri pun diperjualbelikan, apalagi dir
Jemima hanya berdiri mematung, air matanya terlihat mulai mengalir, gadis itu sudah berusaha tak menjatuhkan air mata dengan menggigit kuat bibir bawahnya. Tapi sepertinya itu tak berhasil, adegan itu terlihat sangat miris hingga rasa sakitnya terasa sampai ke ulu hati Julian.“Hey! Kamu siapanya? Pelanggannya?” tanya wanita itu pada Julian sambil menarik lengannya yang segera Julian tangkis, rasanya jijik dipegang-pegang wanita paruh baya yang dandanannya menor begitu.Julian hanya diam sambil menatap bengis ke arah wanita itu.“Uh! tatapanmu itu sungguh mengerikan.” Cibir wanita itu sambil bergidik.“Apa kau kira aku takut? Hah!” lanjutnya berseru, seolah menantang.Entah mengapa, baru kali ini Julian ingin menampar mulut seorang wanita setelah Sarah.“Dengar anak muda, saya berhak karena saya adalah ibu tirinya.” Ungkap wanita itu.Mendengar perkataan wanita itu, batin Julian merasa lega karena tadi dia sempat menebak profesi Jemima yang bukan-bukan.“Terus apa bagus seorang ibu tir
“Kamu mau yang mana? Yang pedas atau yang gak pedas?” tanya Jemima lagi, dia masih menunggu keputusan pria asing itu.“Terserah kamu saja.” Jawab pria itu lirih, sebaiknya kalimat itu saja yang dia katakan dan memendam rasa penasaran terhadap bungkusan itu belakangan saja.Jemima tampak memilih-milih kedua bungkusan mie instan itu, lalu dia mengangguk-angguk sendiri.“Oh iya, nama kamu siapa?”“Namaku Jemima, kamu bisa memanggilku Jemi.” Ungkap Jemima, entah kenapa dia merasa senang saat ada seseorang yang bisa diajaknya bicara seperti ini.Hump… mulutnya benar-benar tak bisa diam. Batin pria itu sambil menghela napas.“Hey! Nama kamu siapa?”“Namaku Jemi.” Tegurnya lagi.“Ekhem! Namaku… namaku… Julian, ya. Julian.” Jawab pria itu terdengar ragu.“Oh ya? Nama yang bagus. Aku yakin kamu hanya bangkrut atau diusir dari rumah.” Kata Jemima berasumsi semaunya sendiri.“Maksudnya?” tanya pria yang yang kini memiliki nama Julian itu, dia tak mengerti maksud dari perkataan gadis itu.“Ya, mak
Jemima segera menoleh kebelakang, dia jadi tidak enak hati.“Bukan.” Jawabnya tegas.Dia merasa malu sendiri karena fantasi konyolnya itu.Saat keluar dari rumah sakit, pria itu pikir wanita aneh itu akan menghentikan taksi untuk transportasi mereka pulang, tapi dia salah karena dia masih harus terus berjalan mengikuti wanita tersebut..“Mau kemana kita?” tanya pria itu lagi, dia mulai sangat penasaran.Jemima menunjuk sesuatu yang masih cukup jauh di depan sana.“Halte bus?”Jemima mengangguk dengan wajah datar, “ayo hitung-hitung kita berolahraga.” Katanya.“Tunggu dulu? Ada apa dengan dia, bukannya pekerjaan gelandangan itu berpindah-pindah dan berjalan kaki tanpa akhir?” tanya Jemima, lirih karena tak bermaksud sarkas. Tentu saja pertanyaannya itu tak mungkin terdengar oleh pria itu karena dia berbicara sendirian.Akhirnya mereka tiba di halte bus, pria itu mengikuti Jemima dan duduk di kursi yang tersedia, siang bolong di musim dingin begini tak ada satu orang pun penumpang yang m
Mat kini mulai takut saat melihat wajah dan kedua mata tajam pria yang dianggapnya gembel itu, apalagi saat pria itu mulai kembali berbalik ke arah Sam dan memukuli wajah Sam hingga pria itu berdarah-darah, pria itu seperti orang gila bahkan seakan kehilangan akal sehatnya karena pukulannya sangat bar-bar.“Cukup! Hentikan!” seru Ian sambil meringis, seburuk-buruknya sifat Sam, baginya dia tetap teman sejati baginya.“Tolong Jemi, hentikan orang gila itu, Sam bisa mati.” Lanjutnya memohon pada Jemima yang masih terpaku.“Kami akan pergi, kami tak akan mengganggumu. Tolong, hentikan pria gila itu, dia benar-benar tak waras Jemi!” seru Ian lagi.“Hentikan! Jangan membunuhnya!” seru Jemima sambil mendekat dan memegang pundak pria misterius yang sudah menjadi penolongnya itu.Pria itu segera menghentikan aksinya setelah terdengar teriakan Jemima, dia bangun dari tubuh Sam, terlihat Ian yang ketakutan segera berjalan mundur sambil terhuyung-huyung, sedangkan Mat yang tangannya terluka tadi
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.