Dari kegelapan muncullah seorang pria berjalan mendekat dan lampu terowongan mulai memperlihatkan wujud aslinya.
“Hah?! Apa-apaan ini, gelandangan?!” seru Ian setelah sadar siapa pria di depannya.“Apa kau sudah bosan hidup?!“Gelandangan sialan!”Pria misterius itu tampak tak peduli dengan semua makian Ian, dia semakin mendekat dan menarik lengan sang gadis hingga berhasil direbutnya dari tangan Ian.“Lepaskan dia, bangsat!”Ian tampak sangat murka ketika muncul orang asing yang menurutnya kumal dan menjijikan itu.Sedangkan Jemima sama sekali tak peduli dengan siapa dia ditolong, yang pasti gadis itu sangat mensyukurinya karena ternyata masih ada yang peduli terhadap penderitaannya.“Ayo kita habisi saja gelandangan itu!”Ian dan kedua temannya bersiap untuk memberi ganjaran terhadap pria kumal di depannya, mereka mulai menyerang pria tunawisma yang saat ini wajahnya tertutupi sebagian hoodie jaket yang dikenakannya.“Sejak kapan kita berurusan dengan gelandangan?” ejek Sam sambil mengarahkan tinjunya ke arah pria misterius tadi, tapi gagal karena pria itu dengan cepat bisa menghindari tinjunya.“Belum pernah, piuh!” dengus Mat sedikit bersemangat karena pria itu ternyata cukup cekatan.“Aku takut bajuku terkena penyakit dan kulitku terpapar bakteri dari tubuhnya.” Sambung Mat sedikit sarkas.“Akh, kalian banyak bacot. Cepat ambil kembali Jemima untukku!” seru Ian terdengar tak sabaran.“Hajar gelandangan itu!” lanjutnya memberi perintah.Meskipun tampak enggan, Sam dan Mat maju bersamaan, mereka mengangkat kedua tinjunya, hanya Ian yang terlihat mundur karena menganggap sepele pria misterius itu.Jemima maju selangkah, mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh pria misterius yang dari tadi berusaha melindunginya. Tapi pria misterius itu menarik tubuh Jemima agar berlindung di belakangnya lagi.Sam mengeluarkan senjata tajam, dari niatnya saja pria itu ingin sekali mengakhiri perkelahian itu dengan cepat karena merasa jijik terhadap penampilan lusuh gelandangan di depannya, dia juga tak kuat dengan bau yang ditimbulkan dari tubuh gelandangan itu.Pria misterius bersamaan dengan Jemima kembali mundur beberapa langkah, Sam mulai melayangkan senjata tajamnya tapi sasarannya adalah Jemima, untungnya senjata itu tidak berhasil melukai Jemima, karena ditangkis oleh lengan pria misterius itu.“Hey! apa yang kau lakukan Sam?!” teriak Ian yang melihat Sam hampir saja melukai Jemima.Kedua mata Jemima melebar karena terkejut apalagi saat melihat darah mulai mengalir dari balik lengan baju pria misterius yang kini sedang melindunginya itu.“Bagaimana? Sakit?” ejek Sam dengan seringainya.“Kenapa gelandangan bau ini diam saja, hey! apa kau bisu?” ejeknya lagi, dengan wajah kembali menyeringai tak jelas.Pria misterius itu tak berkutik, dia bahkan tak merasakan perih pada tangannya.“Cih! Pria menyedihkan!” dengus Ian terdengar jelas, entah menghina Sam yang tak mempedulikan perkataannya, entah pada pria misterius itu.“Bunuh saja dia Sam, pemerintah tak akan menyalahkan kita, lagi pula mereka hanyalah hama!” seru Mat.Mendengar itu Sam tertawa senang, hobinya memang menghajar seseorang seperti ini, dia kembali bersiap untuk menyerang.“Lari!” seru Jemima pelan.Pria misterius itu menghentikan geraknya, berharap kalau dia salah dengar.“Ayo kita lari saja, bodoh!” seru Jemima lagi terdengar lirih tapi jelas.“Dalam keadaan begini seharusnya kita menghindar.” Bisik Jemima lagi sambil melihat sana sini, mencari jalan keluar.What? Gadis aneh. Batin pria misterius itu, mendadak kesal.Jemima memegang erat tangan pria misterius itu dan tampak bersiap untuk menariknya kabur, tapi genggaman tangan itu segera pria misterius itu lepaskan.“Hey, apa yang kau pikirkan? Apa kau mau mati untukku?” tanya Jemima, dengan wajah terkejut.Pria misterius itu mengangguk, “a-apa? Dasar pria gila! aku gak mau siapapun berkorban untukku!” seru Jemima kesal.“BODOH!” lanjutnya mendengus.“Apa salahnya berkorban untuk gadis aneh sepertimu.” Gumam pria itu setelah sekian lama membisu. Jemima hanya melirik bingung saat mendengarnya.Sementara itu Sam yang tak sabarkan kembali menyambarkan senjata tajamnya, kali ini Jemima maju hingga senjata itu menggores dalam lengannya.Pria misterius itu amat terkejut hingga dia tak sadar kalau saat ini tubuh mungil si gadis berada dalam dekapannya, Jemima sekilas melihat ke arahnya, kedua mata mereka saling memandang, Jemima tampak tersenyum puas saat tubuhnya berada dalam dekapan pria misterius itu.“Apa yang kau lakukan Sam! Aku ingin kau menusuk gembel itu! Bukan wanitaku!” teriak Ian yang berjalan mendekat sambil membuang puntung rokok tadi ke sembarang arah karena emosinya mulai tersulut oleh kecerobohan Sam.“Ma-ma-maaf Ian, tak sengaja.” Balas Sam, membela diri dengan sangat mudah dan berpura-pura gagap seolah dia takut.Ian menatap murka, dia malas harus menghabiskan tenaganya untuk menghajar Sam. Pria itu melangkah mendekat dan bersiap menendang atau meninju pria misterius itu dengan maksud segera merebut Jemima kembali. Tapi sayangnya, pria misterius itu lebih dulu memukul wajah Ian hingga Ian terhuyung kesakitan.Sam dan Mat segera maju untuk membantu Ian, mereka bersamaan menghajar pria yang mereka anggap seorang gelandangan itu, tapi entah kenapa bahkan mata Ian sendiri melihatnya, kalau yang menjadi sasaran Sam juga Mat adalah Jemima. Kedua pria itu kembali menusukkan senjatanya ke arah Jemima, tapi lagi-lagi pria misterius itu segera melawan hingga pisau itu menusuk telapak tangannya, Jemima mulai sangat ketakutan dan terkejut. Bagaimana dia tidak terkejut saat melihat seseorang yang tak dikenalnya itu terus saja mengorbankan diri untuknya hingga beberapa kali?Melihat keganasan pria bernama Sam juga Mat, kali ini pria misterius itu benar-benar tak mau menyia-nyiakan waktunya, entah kenapa Jemima terus saja jadi sasaran kedua pria itu, dengan cepat pria tunawisma itu menendang dan memukul Mat secara bergantian hingga pisau yang mereka pegang terpental jauh, Sam dan Mat terlihat kewalahan, Mat tak sempat bangun karena di terjatuh cukup keras hingga pinggangnya terasa sakit, sedangkan Sam terlihat didekati pria misterius itu yang dengan cepat menindih tubuhnya dan mencecar Sam dengan pukulan, Mat mencoba bangkit untuk menolong Sam dengan memukul kepala pria misterius itu dari belakang, sayangnya pukulan itu tak mempengaruhinya, yang ada kini pria misterius itu melirik ke arahnya dengan tatapan sadis, Mat terlihat ketakutan karena kini sasaran gelandangan yang menurutnya sangat menjijikan itu adalah dirinya.Mat melihat sekeliling hingga pandangannya tertuju pada pisau miliknya yang segera dia raih, tapi dengan secepat kilat senjata tajam yang ada dalam genggaman Mat segera pria misterius itu rebut, pria itu menjauh lalu bersiap untuk melemparkan pisau itu ke arah Mat, seketika tubuh Mat kaku hingga kedua tangannya diangkat, sayangnya pria misterius itu tak mau meloloskannya, senjata itu tampak melesat dan langsung menancap tepat pada telapak tangan Mat.“ARGH! Tidak… tanganku….” Rintih Mat sambil memegangi telapak tangannya.Mat kini mulai takut saat melihat wajah dan kedua mata tajam pria yang dianggapnya gembel itu, apalagi saat pria itu mulai kembali berbalik ke arah Sam dan memukuli wajah Sam hingga pria itu berdarah-darah, pria itu seperti orang gila bahkan seakan kehilangan akal sehatnya karena pukulannya sangat bar-bar.“Cukup! Hentikan!” seru Ian sambil meringis, seburuk-buruknya sifat Sam, baginya dia tetap teman sejati baginya.“Tolong Jemi, hentikan orang gila itu, Sam bisa mati.” Lanjutnya memohon pada Jemima yang masih terpaku.“Kami akan pergi, kami tak akan mengganggumu. Tolong, hentikan pria gila itu, dia benar-benar tak waras Jemi!” seru Ian lagi.“Hentikan! Jangan membunuhnya!” seru Jemima sambil mendekat dan memegang pundak pria misterius yang sudah menjadi penolongnya itu.Pria itu segera menghentikan aksinya setelah terdengar teriakan Jemima, dia bangun dari tubuh Sam, terlihat Ian yang ketakutan segera berjalan mundur sambil terhuyung-huyung, sedangkan Mat yang tangannya terluka tadi
Jemima segera menoleh kebelakang, dia jadi tidak enak hati.“Bukan.” Jawabnya tegas.Dia merasa malu sendiri karena fantasi konyolnya yang terlintas begiru liar di dalam kepalanya.Saat keluar dari rumah sakit, pria itu pikir wanita aneh itu akan menghentikan taksi untuk transportasi mereka pulang, tapi dia salah karena dia masih harus terus berjalan mengikuti wanita tersebut..“Mau kemana kita?” tanya pria itu lagi, tampaknya dia mulai sangat penasaran.Jemima menunjuk sesuatu yang masih cukup jauh di depan sana.“Halte bus?”Jemima mengangguk dengan wajah datar, “ayo hitung-hitung kita berolahraga.” Katanya.“Tunggu dulu? Ada apa dengan dia, bukannya pekerjaan gelandangan itu berpindah-pindah dan berjalan kaki tanpa akhir?” tanya Jemima, lirih karena tak bermaksud sarkas. Dan tentu saja pertanyaannya itu tak mungkin terdengar oleh pria itu karena dia berbicara sendirian.Akhirnya mereka tiba di halte bus, pria itu mengikuti Jemima dan duduk di kursi yang tersedia, siang bolong di mus
“Kamu mau yang mana? Yang pedas atau yang gak pedas?” tanya Jemima lagi, dia masih menunggu keputusan pria asing itu.“Terserah kamu saja.” Jawab pria itu lirih, sebaiknya kalimat itu saja yang dia katakan dan memendam rasa penasaran terhadap bungkusan itu belakangan saja.Jemima tampak memilih-milih kedua bungkusan mie instan itu, lalu dia mengangguk-angguk sendiri.“Oh iya, nama kamu siapa?”“Namaku Jemima, kamu bisa memanggilku Jemi.” Ungkap Jemima, entah kenapa dia merasa senang saat ada seseorang yang bisa diajaknya bicara seperti ini.Hump… mulutnya benar-benar tak bisa diam. Batin pria itu sambil menghela napas.“Hey! Nama kamu siapa?”“Namaku Jemi.” Tegurnya lagi.“Ekhem! Namaku… namaku… Julian, ya. Julian.” Jawab pria itu terdengar ragu.“Oh ya? Nama yang bagus. Aku yakin kamu hanya bangkrut atau diusir dari rumah.” Kata Jemima berasumsi semaunya sendiri.“Maksudnya?” tanya pria yang yang kini memiliki nama Julian itu, dia tak mengerti maksud dari perkataan gadis itu.“Ya, mak
Jemima hanya berdiri mematung, air matanya terlihat mulai mengalir, gadis itu sudah berusaha tak menjatuhkan air mata dengan menggigit kuat bibir bawahnya. Tapi sepertinya itu tak berhasil, adegan itu terlihat sangat miris hingga rasa sakitnya terasa sampai ke ulu hati Julian.“Hey! Kamu siapanya? Pelanggannya?” tanya wanita itu pada Julian sambil menarik lengannya yang segera Julian tangkis, rasanya jijik dipegang-pegang wanita paruh baya yang dandanannya menor begitu.Julian hanya diam sambil menatap bengis ke arah wanita itu.“Uh! tatapanmu itu sungguh mengerikan.” Cibir wanita itu sambil bergidik.“Apa kau kira aku takut? Hah!” lanjutnya berseru, seolah menantang.Entah mengapa, baru kali ini Julian ingin menampar mulut seorang wanita setelah Sarah.“Dengar anak muda, saya berhak karena saya adalah ibu tirinya.” Ungkap wanita itu.Mendengar perkataan wanita itu, batin Julian merasa lega karena tadi dia sempat menebak profesi Jemima yang bukan-bukan.“Terus apa bagus seorang ibu tir
Jemima tampak terkejut dengan ancaman juga tamparan yang diterimanya barusan, dia refleks memegangi pipinya yang terasa panas, matanya terlihat merah karena amarah tapi dia juga tak bisa berbuat apa-apa.“Kenapa diam, Jemima?!” bentak sang ibu tiri, seolah tak merasa bersalah sedikitpun.Jemima menggeleng lembut, “maaf, Ibu. Aku tak bisa melakukannya.” Jawabnya tak berdaya tapi tetap pada pendiriannya yang keras kepala.Wanita itu tampak marah dan sekali lagi dia mengangkat telapak tangannya, namun entah kenapa dia tak jadi memukul wajah Jemima lagi.“Benar-benar tak tau terimakasih!” dengusnya sambil sesekali melihat ke arah pria asing yang masih duduk membeku di ruangan itu.Wanita itu maju mendekat ke arah Jemima, lalu membisikan sesuatu sebelum akhirnya pergi begitu saja.“Hutang ini harus kamu yang bayar, Ian tidak mau tubuh Sania!”Kedua mata Jemima sampai melotot, dia benar-benar tak habis pikir dengan wanita ini. Bahkan anak kandungnya sendiri pun diperjualbelikan, apalagi dir
Tubuh Julian bergerak disertai kedua matanya yang melebar, lalu dia melirik ke arah Jemima yang dari tadi sudah membuka kedua matanya, mereka saling menatap, Julian merasa terkejut sekaligus canggung.“Maaf.” Ucapnya pendek.“A-a-aku, turut berduka cita.” Lanjutnya lagi.Jemima mengangguk paham.“Lalu, berapa hutangmu hingga ayahmu itu terus menagihnya? Aku benar-benar tak habis pikir?” tanya Julian berupaya agar mereka melanjutkan obrolannya dan membuang jauh rasa canggung serta rasa bersalahnya terhadap Jemima.Jemima memperbaiki posisi duduknya dengan kembali menatap ke arah depan sambil menghela napas.“Delapan ratus lima puluh tiga juta.” Lanjutnya menjawab, kalimat tersebut terdengar begitu berat.“A-apa? Itu uang yang kecil.” Ucap Julian terdengar terkejut.Jemima melirik dan kembali menatap Julian, “apa? Uang kecil?”“Ekhem! ma-ma-maksudku… bagi ayahmu, itu uang yang kecil.” Jawabnya terdengar ragu.“Oh, ya, seharusnya itu uang yang kecil. Sayangnya… dia memang tak memiliki ua
Setelah mendengar pertanyaan dari Jemima kedua mata Julian melebar karena tercengang. Wanita itu masih tampak menatap ke arahnya dengan penuh harap.Berani sekali wanita ini, batin Julian dengan wajah ditekuk dingin.“Ah, lupakan saja. Maafkan aku,” kata Jemima tiba-tiba.“Sungguh pertanyaan yang konyol,” desahnya lagi sambil menahan tawa.Julian hanya melirik dan masih terdiam, sesekali pria itu mengernyitkan dahinya karena bingung.“Akh… lupakanlah pertanyaanku tadi, lagipula kita mau hidup seperti apa nanti.” Kata Jemima lagi.“Kita miskin, kita tak memiliki apapun, meskipun sebenarnya… itu bukan masalah.” Lanjutnya terdengar putus asa.“Ada apa dengan sikapmu?” tanya Julian karena penasaran.Jemima melirik ke arah pria itu sambil mengedikkan bahunya.“Kamu bilang itu bukan masalah, apa kemiskinan bukan masalah bagimu?” tanya Julian lagi.Jemima mengangguk tegas, “tentu saja.” Jawabnya.“Oh ya? lalu… kalau kamu miskin, mau berobat, mau makan enak, mau apapun itu, bukannya susah? me
Malam haripun berlalu, Julian sangat cemas karena sudah jam sepuluh malam, namun Jemima belum juga kembali pulang.Julian keluar dari ruangan itu dan saat berada di luar, dia bisa melihat jalanan dari atas sana, jalan itu adalah jalan yang tadi siang dia lalui bersama Jemima.Itu dia, batinnya saat melihat kemunculan seorang gadis yang dari tadi dicemaskannya.Terdengar suara langkah kaki semakin mendekat, Julian segera masuk kedalam rumah dan berpura-pura tidur.“Aku pu-lang … “ suara Jemima yang tadinya keras langsung dia pelankan.Apa dia sudah tidur? batinnya bertanya.“Sudah pulang?” tanya Julian sambil berpura-pura seakan dia baru saja terbangun dari tidur pulasnya.“Hey! maaf mengganggu,” ujar Jemima dengan tangan masih sibuk membuka sepatunya.“Kenapa tidur di sofa? badan kamu terlalu panjang, terlihat tidak nyaman.” Sambungnya.Julian memperbaiki pos