“Kamu mau yang mana? Yang pedas atau yang gak pedas?” tanya Jemima lagi, dia masih menunggu keputusan pria asing itu.
“Terserah kamu saja.” Jawab pria itu lirih, sebaiknya kalimat itu saja yang dia katakan dan memendam rasa penasaran terhadap bungkusan itu belakangan saja.Jemima tampak memilih-milih kedua bungkusan mie instan itu, lalu dia mengangguk-angguk sendiri.“Oh iya, nama kamu siapa?”“Namaku Jemima, kamu bisa memanggilku Jemi.” Ungkap Jemima, entah kenapa dia merasa senang saat ada seseorang yang bisa diajaknya bicara seperti ini.Hump… mulutnya benar-benar tak bisa diam. Batin pria itu sambil menghela napas.“Hey! Nama kamu siapa?”“Namaku Jemi.” Tegurnya lagi.“Ekhem! Namaku… namaku… Julian, ya. Julian.” Jawab pria itu terdengar ragu.“Oh ya? Nama yang bagus. Aku yakin kamu hanya bangkrut atau diusir dari rumah.” Kata Jemima berasumsi semaunya sendiri.“Maksudnya?” tanya pria yang yang kini memiliki nama Julian itu, dia tak mengerti maksud dari perkataan gadis itu.“Ya, maksudku… maaf sebelumnya ya, setelah kamu berganti baju yang sedikit lebih cerah begitu, kamu tak tampak seperti tunawisma.” Jawab Jemima, menjelaskan.Julian mengangguk-angguk sambil melihat-lihat pakaian yang kini sedang dikenakannya, jaket berwarna navy kombinasi bulu-bulu berwarna cream, kaos berwarna abu muda dan celana jeans berwarna denim, hanya sepatunya saja yang masih belum diganti. Itu adalah sepatu bawaannya pribadi saat keluar dari Apartemen Sarah, yaitu Air Jordan Silver shoes.“Oh iya, hanya sepatu yang tidak aku beli. Sepatu itu tampak bagus, meskipun… sepertinya… palsu.” Celetuk Jemima saat melihat Julian sedang membuka sepatunya.“Uhuk!” Julian sampai terbatuk karena kaget mendengar penuturan gadis itu.“Apa kamu baik-baik saja?” tanya Jemima.Julian mengangguk sambil meraba lehernya, “tidak apa-apa. Hanya kedinginan saja,” jawabnya.Jemima mengangguk paham.“Asal kamu tahu saja, itu termasuk sepatu yang unik dan langka. Sejak dirilis pertama kali, sneakers ini jadi incaran sebagian besar pria di seluruh dunia karena langsung ditandatangani oleh sang legenda NBA, yaitu Michael Jordan.” Jelas Jemima tampak percaya diri.“Kamu tahukan Michael Jordan?” tanyanya.Yang ditanya hanya berekspresi clingak clinguk.“Tapi… aku gak tahu kalau ada edisi palsunya.” Celetuknya lagi.Apa? Dia bilang sepatu ini palsu? Batin Julian tersentak kaget.Andai saja dia tahu harganya berapa? batinnya lagi sedikit tercubit hatinya. Karena ternyata, jika dia bukan siapapun, saat memakai barang bermerek sekalipun, tetap tak ada harganya di mata orang asing yang tak mengenalnya.“Apa kamu tersinggung? Bukankah aku sudah meminta maaf dulu?” tanya Jemima sambil datang dengan membawa dua mangkok mie yang baru selesai dimasaknya.Julian menggeleng, “lalu kenapa diam?” tanya Jemima lagi.Mata Julian hanya tertuju pada dua mangkuk makanan di depannya, di atas makanan itu ada potongan daging juga sayuran, terlihat tampak lezat meskipun aneh karena ini pertama kali dia melihatnya.“Hey, kok gak jawab?” tegur Jemima lagi.“Eh maaf, jadi apa yang harus aku jelaskan?” jawab Julian balik bertanya.“Ah sudahlah… lupakan saja, ayo kita makan dulu saja. Julian,” jawab Jemima karena pikirnya seorang seperti Julian yang hidupnya di jalanan, mana mungkin tahu urusan sneaker palsu tidaknya, bisa pakai alas kaki saja sudah bersyukur.“Hump… yummy… “ gumam Jemima sambil bersiap menyendok kuah di mangkuk tersebut, tapi saat gadis itu akan memasukkannya ke dalam mulut, tiba-tiba seseorang menggedor pintu rumahnya.DOR! DOR! DOR!Kedua mata Jemima melotot ke arah pintu lalu bergantian kearah Julian, keduanya saling memandang dan Julian yang tidak tahu apa-apa itu terlihat tak begitu peduli.“Jemima! Keluar!” teriak seorang wanita di luar sana.“Siapa?” tanya Julian.“Sttt!” balas Jemima sambil mengangkat jari telunjuknya.Meskipun tak mengerti, Julian membalasnya dengan mengangguk dan melakukan hal yang sama, yaitu mengangkat jari telunjuknya tepat di atas bibirnya.“Keluar kau Jemima, aku tahu kamu ada di dalam!” panggil wanita itu lagi, terdengar berteriak-teriak.Kedua mata Julian mencuri-curi pandang ke arah Jemima, wajah gadis itu tampak sangat kebingungan.“Sebaiknya kamu buka saja,” bisik Julian.Jemima tak menggubris perkataan pria di sampingnya, dia malah menggigit kuku jari telunjuknya.“Jemima! Keluar kau! Apa mau ku dobrak saja pintunya, hah?!” teriak wanita itu lagi.Bibir Jemima tampak meringis, gadis itu akhirnya berdiri dan berjalan ke arah pintu rumah yang hanya ada satu-satunya itu.Kunci dibuka dan wanita di luar sana dengan segera membuka lebar pintu itu, hampir saja wajah Jemima terhantam daun pintu kalau saja Julian tak segera menarik baju gadis itu hingga membuat tubuhnya mundur.“Oh! Rupanya sedang berduaan dengan seorang pria?!” dengus wanita setengah baya yang langsung saja menerobos masuk ke rumah itu.Jemima hanya menunduk, gadis itu tampak sungkan bahkan tak berani membalas kekasaran wanita itu.“Cih! Buah tidak jatuh jauh dari pohonnya, like mother, like daughter.” Cibir wanita itu lagi.“Ah terserah-terserah, saya tak peduli. Pantas saja kau tak mau menikahi Ian, rupanya kau sudah selingkuh dengan pria lain.” Sambungnya.Julian melirik ke arah Jemima, gadis itu tampak ketakutan dan bingung.“Ingat Jemima, hutang kamu itu sangat banyak. Ian tak butuh dibayar balik, pria itu hanya butuh dibayar oleh tubuhmu.”Julian sangat kaget bahkan pikirannya mulai bertanya-tanya tentang pekerjaan Jemima, mungkinkah dia seorang pekerja sex? batinnya sambil melihat dan memperhatikan tubuh Jemima yang mulai bergetar ketakutan.Belum sampai Jemima membela diri, tiba-tiba saja semangkuk mie yang masih panas itu diambil wanita itu, lalu disiramkan ke atas kepalanya.“Akh!” Jemima meringis kepanasan.“Apa-apaan ini? Apa kau gila!” bentak Julian yang tiba-tiba saja reflek memaki wanita paruh baya itu sambil segera berlari dan mencari sesuatu untuk mengelap mie yang disiramkan ke tubuh Jemima.“Kamu tidak apa-apa?” lanjutnya bertanya.Jemima hanya berdiri mematung, air matanya terlihat mulai mengalir, gadis itu sudah berusaha tak menjatuhkan air mata dengan menggigit kuat bibir bawahnya. Tapi sepertinya itu tak berhasil, adegan itu terlihat sangat miris hingga rasa sakitnya terasa sampai ke ulu hati Julian.“Hey! Kamu siapanya? Pelanggannya?” tanya wanita itu pada Julian sambil menarik lengannya yang segera Julian tangkis, rasanya jijik dipegang-pegang wanita paruh baya yang dandanannya menor begitu.Julian hanya diam sambil menatap bengis ke arah wanita itu.“Uh! tatapanmu itu sungguh mengerikan.” Cibir wanita itu sambil bergidik.“Apa kau kira aku takut? Hah!” lanjutnya berseru, seolah menantang.Entah mengapa, baru kali ini Julian ingin menampar mulut seorang wanita setelah Sarah.“Dengar anak muda, saya berhak karena saya adalah ibu tirinya.” Ungkap wanita itu.Mendengar perkataan wanita itu, batin Julian merasa lega karena tadi dia sempat menebak profesi Jemima yang bukan-bukan.“Terus apa bagus seorang ibu tir
Jemima tampak terkejut dengan ancaman juga tamparan yang diterimanya barusan, dia refleks memegangi pipinya yang terasa panas, matanya terlihat merah karena amarah tapi dia juga tak bisa berbuat apa-apa.“Kenapa diam, Jemima?!” bentak sang ibu tiri, seolah tak merasa bersalah sedikitpun.Jemima menggeleng lembut, “maaf, Ibu. Aku tak bisa melakukannya.” Jawabnya tak berdaya tapi tetap pada pendiriannya yang keras kepala.Wanita itu tampak marah dan sekali lagi dia mengangkat telapak tangannya, namun entah kenapa dia tak jadi memukul wajah Jemima lagi.“Benar-benar tak tau terimakasih!” dengusnya sambil sesekali melihat ke arah pria asing yang masih duduk membeku di ruangan itu.Wanita itu maju mendekat ke arah Jemima, lalu membisikan sesuatu sebelum akhirnya pergi begitu saja.“Hutang ini harus kamu yang bayar, Ian tidak mau tubuh Sania!”Kedua mata Jemima sampai melotot, dia benar-benar tak habis pikir dengan wanita ini. Bahkan anak kandungnya sendiri pun diperjualbelikan, apalagi dir
Tubuh Julian bergerak disertai kedua matanya yang melebar, lalu dia melirik ke arah Jemima yang dari tadi sudah membuka kedua matanya, mereka saling menatap, Julian merasa terkejut sekaligus canggung.“Maaf.” Ucapnya pendek.“A-a-aku, turut berduka cita.” Lanjutnya lagi.Jemima mengangguk paham.“Lalu, berapa hutangmu hingga ayahmu itu terus menagihnya? Aku benar-benar tak habis pikir?” tanya Julian berupaya agar mereka melanjutkan obrolannya dan membuang jauh rasa canggung serta rasa bersalahnya terhadap Jemima.Jemima memperbaiki posisi duduknya dengan kembali menatap ke arah depan sambil menghela napas.“Delapan ratus lima puluh tiga juta.” Lanjutnya menjawab, kalimat tersebut terdengar begitu berat.“A-apa? Itu uang yang kecil.” Ucap Julian terdengar terkejut.Jemima melirik dan kembali menatap Julian, “apa? Uang kecil?”“Ekhem! ma-ma-maksudku… bagi ayahmu, itu uang yang kecil.” Jawabnya terdengar ragu.“Oh, ya, seharusnya itu uang yang kecil. Sayangnya… dia memang tak memiliki ua
Setelah mendengar pertanyaan dari Jemima kedua mata Julian melebar karena tercengang. Wanita itu masih tampak menatap ke arahnya dengan penuh harap.Berani sekali wanita ini, batin Julian dengan wajah ditekuk dingin.“Ah, lupakan saja. Maafkan aku,” kata Jemima tiba-tiba.“Sungguh pertanyaan yang konyol,” desahnya lagi sambil menahan tawa.Julian hanya melirik dan masih terdiam, sesekali pria itu mengernyitkan dahinya karena bingung.“Akh… lupakanlah pertanyaanku tadi, lagipula kita mau hidup seperti apa nanti.” Kata Jemima lagi.“Kita miskin, kita tak memiliki apapun, meskipun sebenarnya… itu bukan masalah.” Lanjutnya terdengar putus asa.“Ada apa dengan sikapmu?” tanya Julian karena penasaran.Jemima melirik ke arah pria itu sambil mengedikkan bahunya.“Kamu bilang itu bukan masalah, apa kemiskinan bukan masalah bagimu?” tanya Julian lagi.Jemima mengangguk tegas, “tentu saja.” Jawabnya.“Oh ya? lalu… kalau kamu miskin, mau berobat, mau makan enak, mau apapun itu, bukannya susah? me
Malam haripun berlalu, Julian sangat cemas karena sudah jam sepuluh malam, namun Jemima belum juga kembali pulang.Julian keluar dari ruangan itu dan saat berada di luar, dia bisa melihat jalanan dari atas sana, jalan itu adalah jalan yang tadi siang dia lalui bersama Jemima.Itu dia, batinnya saat melihat kemunculan seorang gadis yang dari tadi dicemaskannya.Terdengar suara langkah kaki semakin mendekat, Julian segera masuk kedalam rumah dan berpura-pura tidur.“Aku pu-lang … “ suara Jemima yang tadinya keras langsung dia pelankan.Apa dia sudah tidur? batinnya bertanya.“Sudah pulang?” tanya Julian sambil berpura-pura seakan dia baru saja terbangun dari tidur pulasnya.“Hey! maaf mengganggu,” ujar Jemima dengan tangan masih sibuk membuka sepatunya.“Kenapa tidur di sofa? badan kamu terlalu panjang, terlihat tidak nyaman.” Sambungnya.Julian memperbaiki pos
Julian menggeleng-gelengkan kepalanya setelah puas memandangi Jemima yang tampak mulai tertidur.“Ah… untung saja orang asing itu, aku.” Desahnya lembut sambil berdiri, memadamkan lampu dan tidur di tempat yang sudah Jemima siapakan untuknya.Tanpa mereka berdua sadari, keduanya tertidur dengan pulas, keberadaan Julian membuat Jemima merasa dijaga seseorang sehingga dia bisa tidur pulas dan bagi Julian entah kenapa kasur lantai itu membuatnya terhipnotis hingga bermimpi indah.Sungguh ajaib, batin Julian saat dia terbangun karena sinar matahari dari jendela ruangan itu menyorot tepat pada wajahnya.Beberapa saat kemudian, Jemima terbangun dari tidurnya, namun dia kaget saat kasur lipat yang ditiduri Julian sudah terlipat rapi dan orangnya tidak ada dimanapun,Jemima sampai mencarinya ke kamar mandi hingga ke balkon, sayangnya tidak ada lagi sosok itu.“Apa dia pergi?” tanya Jemima berbicara sendirian.“Ah, aku sungguh konyol.” Sambungnya terdengar putus asa.Bagaimana dia tak merasa put
Cukup sabar Julian menghadapi tatapan hina sopir taksi tersebut, dengan tenang dia mengeluarkan beberapa lembar uang, dia rasa uang itu cukup untuknya pulang ke kota Redapple.Julian menghela napas panjang, untung saja selama pengalamannya hidup di luaran dan jauh dari keluarganya, dia telah belajar sabar yang cukup banyak.“Ini, bukankah ini lima ratus dolar?” tanya Julian sambil menunjukkan uangnya.“Hump! cih!” decih sang sopir seakan masih belum puas mengejek Julian.“Apa kau mencurinya?” lanjutnya.“ … “Julian hanya terdiam dengan banyak pemikiran di dalam kepalanya, bagaimana mungkin ada manusia seperti sopir ini? dia bahkan sudah sabar menghadapi hinaannya, dia minta diperlihatkan uang, sudah Julian keluarkan uangnya, tapi apa yang terjadi? sopir itu masih belum puas terhadapnya, bukankah cukup sudah urusannya mengantar dia ke tempat yang mau ditujunya? tanpa harus banyak bertanya dia dapat u
“Bangun, ayo cepat.” Katanya lagi dan kali ini wanita itulah yang meraih tangan Julian dan menarik tubuh pria itu agar kembali berdiri tegak.“Apa kau mencariku? ada apa?” tanya wanita itu terdengar manis bahkan dia tak malu menepuk-nepuk baju Julian yang terkena kotor serta merapikannya.“Jemi? apa Kamu kerja disini?” tanya Julian karena wanita lemah lembut itu tampak tak asing di matanya.Jemima membalas dengan senyuman dan anggukkan.“Ada apa? kenapa kamu bisa ada di depan Hotel ini?”Julian belum sempat menjawab pertanyaan wanita itu karena seseorang memotong pembicaraan mereka.“Nona Jemima, apa benar ini kenalan Anda?” tanya penjaga Hotel yang menghina dan mengusir Julian tadi.“Ah, iya Pak Hans. Maaf kalau mengganggu ketenangan lingkungan hotel, saya akan segera menyuruhnya pulang.” Jawab Jemima terdengar tak enak hati.“Oh ya? sejak kapan Nona kenal orang begini?” tanya penjaga yang diketahui bernama Hans Johnson itu.Apa katanya? sejak kapan Hotel ini merekrut orang-orang ber