Mat kini mulai takut saat melihat wajah dan kedua mata tajam pria yang dianggapnya gembel itu, apalagi saat pria itu mulai kembali berbalik ke arah Sam dan memukuli wajah Sam hingga pria itu berdarah-darah, pria itu seperti orang gila bahkan seakan kehilangan akal sehatnya karena pukulannya sangat bar-bar.
“Cukup! Hentikan!” seru Ian sambil meringis, seburuk-buruknya sifat Sam, baginya dia tetap teman sejati baginya.“Tolong Jemi, hentikan orang gila itu, Sam bisa mati.” Lanjutnya memohon pada Jemima yang masih terpaku.“Kami akan pergi, kami tak akan mengganggumu. Tolong, hentikan pria gila itu, dia benar-benar tak waras Jemi!” seru Ian lagi.“Hentikan! Jangan membunuhnya!” seru Jemima sambil mendekat dan memegang pundak pria misterius yang sudah menjadi penolongnya itu.Pria itu segera menghentikan aksinya setelah terdengar teriakan Jemima, dia bangun dari tubuh Sam, terlihat Ian yang ketakutan segera berjalan mundur sambil terhuyung-huyung, sedangkan Mat yang tangannya terluka tadi segera menggusur tubuh Sam, berniat segera pergi dari tempat tersebut, meninggalkan jalanan kumuh itu.Setelah ketiga pria tadi pergi, pria misterius itu terduduk lemas, dia tampak kelelahan dan beberapa saat kemudian, tubuhnya terjatuh lalu terkapar tak sadarkan diri.“Hey bangun, apa yang terjadi?” tanya Jemima yang bingung harus berbuat apa.Beberapa gelandangan tiba-tiba berjalan mendekat ke arahnya, Jemima amat ketakutan karena dia pikir mereka semua akan menyerangnya.“Segera panggil ambulance atau taksi, Nona.”“Iya, penolongmu ini pasti terluka berat.”Jemima merasa lega, rupanya para gelandangan itu datang menghampiri untuk membantunya. Tapi Jemima sedikit kesal, kenapa saat dirinya diserang tadi, tak satupun dari para gelandangan itu mau menolongnya, kecuali satu orang ini.Ah, masa bodoh! dengus Jemima di dalam hati, dia segera menelpon ambulan dan beberapa menit kemudian paramedis itu datang membawa serta dirinya juga penolongnya dari tempat itu.***Setibanya di rumah sakit, Jemima dan pria itu langsung ditangani, namun hanya pria itu yang diberi infus serta penanganan serius karena kondisi luka yang dialaminya cukup parah.Malam itu Jemima menginap di rumah sakit untuk menunggu penolongnya siuman, gadis itu tak mau meninggalkan penolongnya begitu saja sebelum berterimakasih atau membalas budi.Keesokan harinya pria itu terbangun dalam keqdaan bingung karena pakaiannya yang lusuh sudah tak menempel lagi di tubuhnya, kini dia memakai setelan baju tidur aneh. Ada selang di tangannya juga beberapa perban yang menutupi luka-luka di tubuhnya, hingga akhirnya dia sadar kalau dia sedang dirawat di rumah sakit.“Apa yang terjadi padaku?” tanyanya bergumam.Pria itu melihat sekeliling karena kepalanya masih sakit dan pikirannya linglung, saat dia akan bangun tangannya terasa digenggam erat oleh seseorang, dia melirik ke samping, ada seorang wanita sedang tidur di sampingnya dan dengan erat memegang tangannya, kepala wanita itu bersandar pada sudut ranjang yang kini sedang ditidurinya.Pria itu mengumpulkan kewarasannya dan mengingat-ingat kembali siapa gadis itu.“Sa-rah… ” panggilnya lirih.Wajah gadis itu sedikit demi sedikit akhirnya terangkat, kedua matanya berbinar bahagia.“Anda sudah bangun? Apa yang Anda rasakan sekarang? Apa ada bagian tubuh lain yang masih terasa sakit?” tanya Jemima tampak bersemangat.Pria itu tampak kecewa karena wanita itu bukanlah Sarah, dia malas untuk menjawab dan kembali menyandarkan kepalanya pada ujung tempat tidur.Eh kenapa dia? Apa bicaraku terlalu formal? batin Jemima sambil mengerutkan dahinya, lalu mengusap-usap wajahnya yang baru bangun karena ketiduran itu.“Kamu boleh pulang kalau sudah siuman,” gumamnya.“Apa kamu memiliki tempat tinggal?” tanya Jemima.“Dimana kamu tinggal? Biar aku antar kamu pulang?” sambungnya lagi.Pria itu terlihat bingung harus menjawab apa.“Ah! Apa gunanya aku terus-terusan mengoceh, kamu pasti tak memiliki tempat tinggal.” Gumam Jemima sambil bangun dari kursinya, dia terlihat kelelahan, pinggangnya dia coba lenturkan karena terasa kaku dan pegal-pegal.“Pakailah baju itu, mudah-mudahan ukurannya sesuai.” Katanya sambil menyerahkan kantong kresek hitam berisi baju atasan, jaket musim dingin berbulu, celana jeans bahkan dalaman pria.Pria yang diajaknya bicara itu terlihat masih lamban.“Hey, cepat dipakai. Biaya rumah sakit akan membengkak kalau kamu berlama-lama begini.” Desak Jemima sambil bersiap merapikan pakaiannya.Mendengar kata ‘biaya’ pria itu jadi sadar diri, bahkan bagi orang yang sudah ditolongnya, nyawanya itu tak sebanding dengan tagihan rumah sakit ini. Melihat perubahan pada wajah pria penolongnya, Jemima jadi tak enak hati, dia tak bermaksud menyinggung perasaan maupun merendahkan harga diri pria penolongnya tersebut.“Maaf, aku tak bermaksud__”“Tidak apa-apa.” Potong pria itu sambil mencabut jarum infus yang masih menempel di lengannya.“Eh, itu seharusnya dilakukan oleh suster!” seru Jemima sambil meringis.“Ceroboh!” lanjutnya mendengus.Pria itu tak peduli, dia segera berganti pakaian, pakaian tersebut benar-benar pas seakan wanita itu mengukur badannya sebelum dia membeli baju untuknya.“Apa kau cabul?” pertanyaan juga kalimat pertama yang terlontar dari mulut pria itu memang cukup mencengangkan bagi Jemima.“Apa kau bilang?” balas Jemima kesal, dia melirik sejenak ke arah pria yang kini di belakanginya itu, pria itu terlihat bertelanjang dada, Jemima segera membuang mukanya dan berbalik ke posisi semula.“Baju lamaku dimana?” pria itu tak peduli meskipun pertanyaan pertamanya belum dijawab wanita itu.“Dibuang.”“Bau!”Pria itu hanya bisa bilang ‘O’ dia tampak kehabisan kata-kata, sedangkan batin Jemima masih menanyakan maksud perkataan pria tadi yang menyebut dirinya cabul?“Selesai.” Kata pria itu.Jemima membalikan badannya, di depannya pria itu berdiri dengan pakaian yang sudah diganti, perawakannya sangat bagus. Jemima sangat terpukau karena dibalik pria berbaju lusuh semalam, rupanya ada pria tampan yang tersembunyi di dalamnya.“Tunggu, pakaian itu sangat pas. Apa kau pikir aku menelanjangimu? Untuk mengukur tubuhmu?” tanya Jemima, memastikan.Wajah pria itu datar, dia pura-pura tak peduli jika gadis itu kebingungan dan membiarkannya berasumsi sendiri.Bukankah menyiksa seseorang tak perlu harus memukulnya? batin pria itu sambil menyeringai.“Cih! Ayo pulang.” Ajak Jemima setelah dirasa semuanya siap.Pria itu mengangguk lalu berjalan lebih dulu.“Hey, bukan ke arah sana.” Cegah Jemima.“Kemana?” tanya pria itu, bingung.“Kemana saja, kecuali kamu punya rumah sendiri.” Jawab Jemima sambil memandang ke arah pria penolongnya itu.“Ah, becanda. Ayo ikuti saja aku, kamu bebas pergi kalau kamu merasa sudah membaik.” Lanjutnya.Pria itu mengangguk sambil menggaruk-garuk rambut kepalanya yang sama sekali tak terasa gatal. Pada akhirnya dia juga memutuskan kalau untuk sementara ini dia hanya akan menjadi orang yang tak tahu malu untuk yang kedua kalinya, lagi pula dia tak memiliki uang sepeserpun, terlebih lagi saat ini perutnya lapar dan tubuhnya masih terasa pegal linu.Berbeda dengan pria itu, Jemima malah berpikir sebaliknya. Gadis itu tak enak hati juga kalau harus meninggalkan pria itu di tempat semula, tempat para gelandangan berada, lagipula setelah melihat penampilan pria penolongnya itu tampaknya dia tak buluk-buluk amat, didandani sedikit saja, sudah terlihat seperti model majalah fashion.Dengan genit dan tanpa disadari pria itu, Jemima mulai memikirkan hal-hal nakal lainnya dalam benaknya.“Ih, pergi. Pergi. Pergi!” usir Jemima entah pada siapa sambil mengibas-ngibaskan tangannya.“Apa kau mengusirku?” tanya pria itu.Jemima segera menoleh kebelakang, dia jadi tidak enak hati.“Bukan.” Jawabnya tegas.Dia merasa malu sendiri karena fantasi konyolnya yang terlintas begiru liar di dalam kepalanya.Saat keluar dari rumah sakit, pria itu pikir wanita aneh itu akan menghentikan taksi untuk transportasi mereka pulang, tapi dia salah karena dia masih harus terus berjalan mengikuti wanita tersebut..“Mau kemana kita?” tanya pria itu lagi, tampaknya dia mulai sangat penasaran.Jemima menunjuk sesuatu yang masih cukup jauh di depan sana.“Halte bus?”Jemima mengangguk dengan wajah datar, “ayo hitung-hitung kita berolahraga.” Katanya.“Tunggu dulu? Ada apa dengan dia, bukannya pekerjaan gelandangan itu berpindah-pindah dan berjalan kaki tanpa akhir?” tanya Jemima, lirih karena tak bermaksud sarkas. Dan tentu saja pertanyaannya itu tak mungkin terdengar oleh pria itu karena dia berbicara sendirian.Akhirnya mereka tiba di halte bus, pria itu mengikuti Jemima dan duduk di kursi yang tersedia, siang bolong di mus
“Kamu mau yang mana? Yang pedas atau yang gak pedas?” tanya Jemima lagi, dia masih menunggu keputusan pria asing itu.“Terserah kamu saja.” Jawab pria itu lirih, sebaiknya kalimat itu saja yang dia katakan dan memendam rasa penasaran terhadap bungkusan itu belakangan saja.Jemima tampak memilih-milih kedua bungkusan mie instan itu, lalu dia mengangguk-angguk sendiri.“Oh iya, nama kamu siapa?”“Namaku Jemima, kamu bisa memanggilku Jemi.” Ungkap Jemima, entah kenapa dia merasa senang saat ada seseorang yang bisa diajaknya bicara seperti ini.Hump… mulutnya benar-benar tak bisa diam. Batin pria itu sambil menghela napas.“Hey! Nama kamu siapa?”“Namaku Jemi.” Tegurnya lagi.“Ekhem! Namaku… namaku… Julian, ya. Julian.” Jawab pria itu terdengar ragu.“Oh ya? Nama yang bagus. Aku yakin kamu hanya bangkrut atau diusir dari rumah.” Kata Jemima berasumsi semaunya sendiri.“Maksudnya?” tanya pria yang yang kini memiliki nama Julian itu, dia tak mengerti maksud dari perkataan gadis itu.“Ya, mak
Jemima hanya berdiri mematung, air matanya terlihat mulai mengalir, gadis itu sudah berusaha tak menjatuhkan air mata dengan menggigit kuat bibir bawahnya. Tapi sepertinya itu tak berhasil, adegan itu terlihat sangat miris hingga rasa sakitnya terasa sampai ke ulu hati Julian.“Hey! Kamu siapanya? Pelanggannya?” tanya wanita itu pada Julian sambil menarik lengannya yang segera Julian tangkis, rasanya jijik dipegang-pegang wanita paruh baya yang dandanannya menor begitu.Julian hanya diam sambil menatap bengis ke arah wanita itu.“Uh! tatapanmu itu sungguh mengerikan.” Cibir wanita itu sambil bergidik.“Apa kau kira aku takut? Hah!” lanjutnya berseru, seolah menantang.Entah mengapa, baru kali ini Julian ingin menampar mulut seorang wanita setelah Sarah.“Dengar anak muda, saya berhak karena saya adalah ibu tirinya.” Ungkap wanita itu.Mendengar perkataan wanita itu, batin Julian merasa lega karena tadi dia sempat menebak profesi Jemima yang bukan-bukan.“Terus apa bagus seorang ibu tir
Jemima tampak terkejut dengan ancaman juga tamparan yang diterimanya barusan, dia refleks memegangi pipinya yang terasa panas, matanya terlihat merah karena amarah tapi dia juga tak bisa berbuat apa-apa.“Kenapa diam, Jemima?!” bentak sang ibu tiri, seolah tak merasa bersalah sedikitpun.Jemima menggeleng lembut, “maaf, Ibu. Aku tak bisa melakukannya.” Jawabnya tak berdaya tapi tetap pada pendiriannya yang keras kepala.Wanita itu tampak marah dan sekali lagi dia mengangkat telapak tangannya, namun entah kenapa dia tak jadi memukul wajah Jemima lagi.“Benar-benar tak tau terimakasih!” dengusnya sambil sesekali melihat ke arah pria asing yang masih duduk membeku di ruangan itu.Wanita itu maju mendekat ke arah Jemima, lalu membisikan sesuatu sebelum akhirnya pergi begitu saja.“Hutang ini harus kamu yang bayar, Ian tidak mau tubuh Sania!”Kedua mata Jemima sampai melotot, dia benar-benar tak habis pikir dengan wanita ini. Bahkan anak kandungnya sendiri pun diperjualbelikan, apalagi dir
Tubuh Julian bergerak disertai kedua matanya yang melebar, lalu dia melirik ke arah Jemima yang dari tadi sudah membuka kedua matanya, mereka saling menatap, Julian merasa terkejut sekaligus canggung.“Maaf.” Ucapnya pendek.“A-a-aku, turut berduka cita.” Lanjutnya lagi.Jemima mengangguk paham.“Lalu, berapa hutangmu hingga ayahmu itu terus menagihnya? Aku benar-benar tak habis pikir?” tanya Julian berupaya agar mereka melanjutkan obrolannya dan membuang jauh rasa canggung serta rasa bersalahnya terhadap Jemima.Jemima memperbaiki posisi duduknya dengan kembali menatap ke arah depan sambil menghela napas.“Delapan ratus lima puluh tiga juta.” Lanjutnya menjawab, kalimat tersebut terdengar begitu berat.“A-apa? Itu uang yang kecil.” Ucap Julian terdengar terkejut.Jemima melirik dan kembali menatap Julian, “apa? Uang kecil?”“Ekhem! ma-ma-maksudku… bagi ayahmu, itu uang yang kecil.” Jawabnya terdengar ragu.“Oh, ya, seharusnya itu uang yang kecil. Sayangnya… dia memang tak memiliki ua
Setelah mendengar pertanyaan dari Jemima kedua mata Julian melebar karena tercengang. Wanita itu masih tampak menatap ke arahnya dengan penuh harap.Berani sekali wanita ini, batin Julian dengan wajah ditekuk dingin.“Ah, lupakan saja. Maafkan aku,” kata Jemima tiba-tiba.“Sungguh pertanyaan yang konyol,” desahnya lagi sambil menahan tawa.Julian hanya melirik dan masih terdiam, sesekali pria itu mengernyitkan dahinya karena bingung.“Akh… lupakanlah pertanyaanku tadi, lagipula kita mau hidup seperti apa nanti.” Kata Jemima lagi.“Kita miskin, kita tak memiliki apapun, meskipun sebenarnya… itu bukan masalah.” Lanjutnya terdengar putus asa.“Ada apa dengan sikapmu?” tanya Julian karena penasaran.Jemima melirik ke arah pria itu sambil mengedikkan bahunya.“Kamu bilang itu bukan masalah, apa kemiskinan bukan masalah bagimu?” tanya Julian lagi.Jemima mengangguk tegas, “tentu saja.” Jawabnya.“Oh ya? lalu… kalau kamu miskin, mau berobat, mau makan enak, mau apapun itu, bukannya susah? me
Malam haripun berlalu, Julian sangat cemas karena sudah jam sepuluh malam, namun Jemima belum juga kembali pulang.Julian keluar dari ruangan itu dan saat berada di luar, dia bisa melihat jalanan dari atas sana, jalan itu adalah jalan yang tadi siang dia lalui bersama Jemima.Itu dia, batinnya saat melihat kemunculan seorang gadis yang dari tadi dicemaskannya.Terdengar suara langkah kaki semakin mendekat, Julian segera masuk kedalam rumah dan berpura-pura tidur.“Aku pu-lang … “ suara Jemima yang tadinya keras langsung dia pelankan.Apa dia sudah tidur? batinnya bertanya.“Sudah pulang?” tanya Julian sambil berpura-pura seakan dia baru saja terbangun dari tidur pulasnya.“Hey! maaf mengganggu,” ujar Jemima dengan tangan masih sibuk membuka sepatunya.“Kenapa tidur di sofa? badan kamu terlalu panjang, terlihat tidak nyaman.” Sambungnya.Julian memperbaiki pos
Julian menggeleng-gelengkan kepalanya setelah puas memandangi Jemima yang tampak mulai tertidur.“Ah… untung saja orang asing itu, aku.” Desahnya lembut sambil berdiri, memadamkan lampu dan tidur di tempat yang sudah Jemima siapakan untuknya.Tanpa mereka berdua sadari, keduanya tertidur dengan pulas, keberadaan Julian membuat Jemima merasa dijaga seseorang sehingga dia bisa tidur pulas dan bagi Julian entah kenapa kasur lantai itu membuatnya terhipnotis hingga bermimpi indah.Sungguh ajaib, batin Julian saat dia terbangun karena sinar matahari dari jendela ruangan itu menyorot tepat pada wajahnya.Beberapa saat kemudian, Jemima terbangun dari tidurnya, namun dia kaget saat kasur lipat yang ditiduri Julian sudah terlipat rapi dan orangnya tidak ada dimanapun,Jemima sampai mencarinya ke kamar mandi hingga ke balkon, sayangnya tidak ada lagi sosok itu.“Apa dia pergi?” tanya Jemima berbicara sendirian.“Ah, aku sungguh konyol.” Sambungnya terdengar putus asa.Bagaimana dia tak merasa put