Share

BAB 2 Kemarahan Rina

"Van ... Revan!" Di saat badanku basah kuyup, tiba-tiba di luar ada yang manggil. Suaranya seperti aku kenal, Mbak Ratih. Ya, dia kakakku satu-satunya.

Buru-buru aku melangkah, ingin membukakan pintu. Tapi, saat aku mendorong pintunya, ternyata tak bisa dibuka. Astaga ... si Rina benar-benar membuatku emosi hari ini. Dia mengunciku di dalam rumah.

Kulihat dari jendela, Mbak Ratih sedang menunggu di depan teras. Dia menjinjing sebuah kresek besar, pasti membawa makanan untukku.

"Mbak!" teriakku, sambil menggedor jendela.

"Revan, buka pintunya. Mbak mau masuk!" Mbak Ratih melangkah mendekati pintu depan.

"Pintunya dikunci si Rina, Mbak!" teriakku, di balik jendela.

"Apa? Istrimu itu benar-benar kurang ajar ya! Masak, suami sendiri dikunci di rumah!" pekiknya.

"Aku mau lihat dulu pintu belakang, siapa tahu gak dikunci, Mbak!" teriakku lagi.

Aku buru-buru melangkah ke dapur. Pintu belakang memang letaknya ada di dapur.

"Iya, buruan deh!" jawabnya, kesal.

"Gak dikunci, kuncinya ada menggantung."

Aku melihat salah satu kunci ada di lubangnya.

Kuputar kuncinya, dan akhirnya pintu bisa dibuka. Aku melangkah tanpa alas kaki ke depan rumah. Di sana ada Mbak Ratih yang sedang duduk di teras.

"Mbak, ayo masuknya lewat pintu belakang saja!" ajakku.

"Dasar ya, si Rina!" Dia begitu ikutan kesal pada Rina, Mbak Ratih berdiri mengangkat tubuhnya, "Lho, kamu habis ngapain lagi, bajumu basah semua gitu?" Mbak Ratih baru sadar, kalau aku basah kuyup.

"Diguyur si Rina, Mbak. Gara-gara aku gak kerja, padahal aku lagi ngelamar di perusahaan. Emang gak pernah sabar tu, si Rina!" gerutuku,

Membuat mata Mbak Ratih membulat sempurna.

"Kenapa gak pisah aja si, sama istrimu itu!" cetusnya.

"Gak, aku gak mau pisah, Mbak. Aku cinta sama dia," ucapku.

Aku memang tidak mau bercerai dengan Rina. Walaupun dia sekarang kurang aja juga. Sebenarnya bukan karena cinta si, tapi karena uang dia.

"Kamu itu, gimana si? Bodoh apa gimana, istri kayak gitu dipertahankan!" ketusnya.

"Gitu-gitu juga dia punya uang, Mbak," balasku.

"Ck,ck,ck, ayolah masuk, kamu ganti baju dulu!" Mbak Ratih, berdecak kesal mendengar ucapanku.

Tapi emang benar juga aku, kalau aku pisah sama Rina, siapa dong yang ngasih aku uang.

Kami pun, berjalan menuju pintu belakang.

"Revan, kamu ini punya istri gak si, sebenarnya?" tanyanya, dengan nada kesal.

"Make nanya, si Rina kan istriku, Mbak."

"Ini dapur udah kayak pembuangan sampah aja!" Dia bergidik jijik, melihat sekeliling dapur saat kami melewatinya.

"Si Rina belum beres-beres kali, Mbak," ucapku,

Mbak Ratih, lalu masuk ke dalam. Dia duduk di ruang tamu.

"Mbak, jangan duduk di situ, kursinya basah!" sergahku. Namun, dia kadung duduk. Jadinya celananya ikutan basah.

"Kamu, si ... dari tadi kek bilanginnya, mbak udah duduk baru teriak, kan jadi basah, argh!" Mbak Ratih nampak kesal sekali. Merasa celananya basah, dia langsung berdiri lagi.

"Ya sudah, tunggu dulu. Aku mau ganti baju dulu Mbak!" Aku kedinginan dari tadi pakai baju basah, gara-gara si Rina. Dasar, istri gak beradab.

Setelah ganti baju, aku menghampiri Mbak Ratih, dari tadi dia berdiri, padahal ada sofa lain yang kering, mungkin dia tidak nyaman.

"Revan, pinjam dulu celana istrimu lah! Masak, mbak harus pakai celana basah si! dasar ya si Rina, semua jadi kena imbasnya!" Mbak Ratih ngomel lagi.

"Oke Mbak, tunggu dulu!"

Buru-buru ku ambilkan Mbak Ratih celana milik Rina. Aku mengambilnya asal, pasti muat lah badannya juga gak jauh beda.

"Mbak, nih!" ucapku, sambil menyodorkan celana yang dia minta.

Mbak Ratih mengambilnya, lalu pergi ke kamar mandi.

Sementara Mbak Ratih pergi, aku mencoba untuk membuka keresek besar yang dibawanya. Tukan, dugaanku benar, makanan. Mataku begitu berbinar kala melihat ayam goreng, bakso, dan cemilan lainnya. Mbakku emang terbaik deh.

"Van, itu makanan salin ke piring. Biar gak berantakan!" Mbak Ratih, tiba-tiba udah nongol aja, dia menghampiriku duduk di sofa yang tidak basah.

"Oke, Mbak. Ini buatku kan?" tanyaku.

"Buat siapa lagi, Revan? Buat kucing?" ucapnya.

Mendengarnya, aku hanya nyengir kuda, lalu kuambil beberapa piring di dapur.

"Mbak, juga tadi papasan sama si Rina, dia senyum-senyum sendiri pas mbak lihat. Ditegur juga kayaknya gak dengar dia," ucapnya, saat aku sedang mengalihkan makanan ke dalam piring.

Rina dan Mbak Ratih memang tidak pernah akur, pernah juga aku tegur istriku itu agar bersikap baik pada Mbak Ratih, eh dia malah menjawab Mbakku yang kurang ajar.

"Biarin ajalah, Mbak."

"Biarin, biarin. Dia itu kudu diberi pelajaran!" jawabnya.

"Udahlah, jangan ngomongin si Rina terus. Mending kita makan aja!" Aku mulai menyantap makanan yang telah aku hidangkan di atas meja.

"Kamu saja yang makan, Van. Pasti kamu belum makan. mbak mau pulang aja deh, Van." Tiba-tiba Mbak Ratih mau pulang aja, dia mengemasi celananya yang basah.

"Lho, kok pulang si? Ini buat aku aja?" ucapku.

"Iya, itu buat kamu aja," jawabnya.

"Ya sudah. Makasih Mbak," ucapku, senang.

Tanpa menjawab, Mbak Ratih langsung aja keluar. Dia senyum-senyum sendiri, kenapa ya? Ah aku gak peduli.

***

Jam sudah menunjukkan pukul tiga sore, perutku begitu kenyang sekali.

Jam segini biasanya Rina pulang dari pekerjaannya.

Ceklek! terdengar suara kunci.

Tukan bener, dia sudah pulang.

Saat Rina masuk, dia begitu terlihat syok melihat ke dalam ruang tamu.

"Mas, kamu kerjanya apa si? Ini kamu habis ngapain, di atas meja begitu banyak plastik makanan?" Baru pulang langsung ngomel-ngomel.

"Gitu aja di permasalahkan, ya tinggal buang aja," jawabku, santai.

Sepertinya dia tidak peduli aku dapat makan dari mana.

"Ya sudah, buanglah sama kamu, Mas. Jangan taunya cuma makan, tidur, makan, tidur aja!" pekiknya, sambil melengos.

Kuping ini serasa panas mendengar ocehan si Rina terus.

Dengan malas, aku pun membersihkan bekas makanku. Membuangnya ke tempat sampah.

"Mas, kamu lihat jam tanganku gak?" Saat aku duduk kembali di sofa, tiba-tiba si Rina menanyakan jam tangannya padaku.

"Gak tahu, memangnya kamu lupa naro di mana?" tanyaku, barangkali dia lupa.

"Di kamar mandi!" pekiknya, suaranya itu lho! Ngegas mulu.

"Gak tahu," ucapku, jujur.

"Jangan bohong, kamu Mas. Atau jangan-jangan kamu jual ya?" tuduhnya.

"Jangan sembarang nuduh, Rina. Biarpun aku pengangguran tapi aku gak berani ngambil barang orang lain, termasuk barang kamu!" tegasku, enak saja dia main nuduh-nuduh aja.

"Kalau gitu, di mana dong? itu jam tangan mahal!" teriaknya.

Dia marah, matanya juga berkaca-kaca sepertinya mau nangis, biarinlah aku gak peduli.

"Cari lagi aja sana, jangan nuduh-nuduh sembarangan!" ucapku.

Matanya begitu tajam melihat ke arahku.

"Mas! Aku mau pisah sama kamu, kalau kamu gak ceraikan aku, aku yang akan menceraikan kamu, Mas. Aku sudah tidak tahan hidup berdampingan dengan kamu. Hari ini juga aku akan pulang ke rumah orang tuaku!" Dia berteriak, semakin marah padaku.

Jangan sampai aku pisah sama istriku Rina, mana aku pengangguran lagi, cari kerja susah. Batinku.

"Jangan, Rin. Maafkan Mas. Mas janji akan bekerja," ucapku, membujuknya.

Namun, sepertinya Rina tidak peduli dengan ucapanku, dia melenggang begitu saja ke dalam kamar. Apa dia benar-benar akan pulang ke rumah orang tuanya? Gawat! Gimana nasibku?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status