Share

BAB 5 Kejadian usai dari pengadilan agama

Hari ini, adalah hari di mana aku harus datang ke pengadilan agama memenuhi undangan sidang.

Oke, aku siap berpisah dengan Rina. Apalagi keluarganya itu, mereka sama aja tidak sabar menungguku untuk mencari pekerjaan.

Aku akan datang ditemani oleh Mbak Ratih. Mbak Ratih juga setuju kalau aku pisah sama Rina, malah tempo hari dia nyuruh aku pisah, dan akhirnya kejadian juga.

Saat ini, aku dan Rina sudah berada di ruang sidang. Pokoknya semua berjalan lancar, aku gak peduli dia menjelekkan namaku di depan hakim, yang penting aku akan pisah sama dia. Dipikir-pikir, aku juga udah muak hidup sama dia.

Setelah kami keluar dari ruangan, tiba-tiba Rina berteriak menuduh Mbak Ratih mengambil jam tangannya,"Heh, Mbak! itu jam tanganku kan?"

"Eh, jangan asal nuduh ya! ini jam tangan dibeliin suamiku, enak aja dibilang punyamu!" jawab Mbak Ratih.

"Oke, akan aku buktikan kalau itu punyaku!" ucapnya, sambil membuka paksa jam tangan yang sedang dipakai Mbak Ratih, dasar gak sopan.

"Tuh, lihat! Di belakang jam tangan ini ada bertuliskan namaku, RINA. Udah deh, jangan mengelak lagi atau ... mau aku laporin ke polisi kalau Mbak adalah maling?" Benar-benar keterlaluan si Rina, masalah jam tangan aja dia perpanjang. Tidak bisa dibiarkan ini.

"Heh, Rina. Kamu itu, biarin aja kek. Jam tangan butut gitu dipermasalahkan!" Aku mencoba membela Mbak Ratih.

"Kamu, gak usah banyak bacot deh! Mbakmu itu salah, malah dibela. Emang dasar kalian berdua itu sama saja sifatnya. Tidak bisa membedakan mana yang benar dan yang salah," bentaknya padaku, benar-benar sudah keterlaluan.

"Buruan, ngaku gak kalau kamu malingnya! atau kalau enggak, aku laporin sekarang!" teriak Rina, mengancam, sehingga membuat orang-orang yang berada di sekitar memperhatikan kami.

"I-iya, aku yang ngambil. Bener kata Revan, gitu aja dipermasalahkan. Toh jam tangannya juga udah dikembalikan!" jawab Mbak Ratih.

"Hu ...." tiba-tiba orang-orang menyoraki Mbak Ratih, membuat dia malu terlihat dari raut wajahnya yang memerah.

"Benar-benar benalu kalian!" ucap Rina, lalu dia melenggang pergi bersama orang tuanya.

Benar-benar memalukan si Rina! Umpatku dalam hati.

**

"Mbak, jadi mbak ya yang sudah ngambil jam tangannya si Rina?" tanyaku, ingin memastikan.

"Iya, waktu mbak ganti celana. Celana dia juga masih ada di rumah mbak," jawabnya.

"Aduh, Mbak. Kalau Mbak ngambil, ngapain Mbak pakai tadi. Kan jadinya ketahuan si Rina," ucapku.

"Mbak gak sadar, Van," jawabnya.

"Ya sudah deh. Mbak, aku boleh pulang ke rumahmu gak?" pintaku, karena kalau aku tinggal di rumah, aku gak akan makan dong. Aku gak punya uang, cuma ada lima ribu buat bayar hutang ke si Angga.

"Ya sudah, kamu tinggal saja di rumah Mbak," ucap Mbak Ratih, untung saja dia baik padaku.

"Terus, bang Rendi gak bakal marah?"

"Enggaklah, masa sama adik ipar tidak mau serumah."

Aku pun mengangguk. Lalu membereskan baju-bajuku untuk dibawa ke rumah Mbak Ratih.

***

Sesampainya di rumah Mbak Ratih, ternyata di teras ada Bang Rendi, suaminya Mbak Ratih sedang menata tanaman ke dalam pot.

"Lho, Revan. Kamu mau pindah kemana?" Baru saja datang, sudah disuguhi pertanyaan yang tidak enak.

"Anu, Bang. Aku mau tinggal di sini, bolehkan?" pintaku, agak sedikit takut.

Kulihat sorot mata Bang Rendi seperti tidak setuju kalau aku ada di sini. Kalau benar begitu, berarti dia sulit orangnya, tidak mau membantu sesama.

"Memangnya rumahmu kenapa? Digusur? Terus istrimu, Rina kemana?" Astaga ... dia itu bawel sekali si. Memberondong aku dengan pertanyaan.

"Bang, dia cerai sama si Rina. Kalau rumahnya masih ada kok," jawab Mbak Ratih.

Lalu, Bang Rendi malah melihatku keheranan sekarang, kenapa si.

"Kok bisa cerai, Van. Kenapa emangnya?" tanyanya, lagi.

"A-anu Bang, masalah kerjaan," jawabku.

"Masalah kerjaan gimana,?" tanyanya lagi.

Aku sudah tidak mau menjawab pertanyaan dari Bang Rendi, kuarahkan pandanganku pada Mbak Ratih, sebagai isyarat.

"Bang, sudahlah. Kasihan Revan, sementara dia nyari kerja, dia tinggal dulu di sini." Akhirnya Mbak Ratih mengerti aku.

"Ya sudah, masuk masuk," ucapnya.

Nah gitu dong, dari tadi kek. Ini mah udah kayak interview kerja aja pake segala rupa ditanya.

Akhirnya aku masuk ke dalam rumah Mbak Ratih, rumahnya luas dan juga rapi sekali, ternyata Mbakku itu rajin.

"Van, kamarmu di sebelah sana!" Mbak Ratih menunjukkan sebuah kamar yang akan aku tempati.

"Baik, Mbak," ucapku, lalu aku masuk ke dalam sebuah kamar. Di dalam kamar sudah ada lemari pakaian, aku masukkan satu persatu bajuku ke dalam lemari.

'kruuuuk ... kruk ....'

Oh iya, aku kan belum makan dari tadi. Makannya perutku bunyi seperti itu, sebagai tanda mau diisi.

Kuhampiri Mbak Ratih yang lagi asik nonton TV.

"Mbak, aku lapar belum makan." Aku mengelus perutku yang bunyi.

"Mbak sudah masak ikan goreng, kamu makan aja. Tadi mbak taro di meja makan."

Aku melangkah menuju meja makan, kubuka tudung sajinya, dan ternyata benar ikan nila goreng dan sambel sekaligus lalapannya.

Langsung saja aku mengambil piring di dapur, lalu mengambil nasi sepiring penuh. Aku makan begitu lahap, enak sekali masakan Mbak Ratih.

Saat suapan terakhir, tiba-tiba Bang Rendi datang.

"Makan, Van?" tanyanya.

Aku sedikit malu si, kalau ada Bang Rendi.

"Iya, Bang," ucapku.

Aku melahap nasi terakhir yang ada di piring, setelah itu aku minum.

Kulihat Bang Rendi menatapku seperti kesal, kenapa ya? Apa aku melakukan kesalahan? Aneh.

Dia berlalu menuju dapur, tampaknya dia juga mau makan. Dia membawa piring yang berisi nasi. Astaga ... ikan gorengnya tinggal kepalanya doang, gimana ini.

Bang Rendi sudah semakin dekat menuju meja makan. Saat dia duduk, dan akan mengambil ikan gorengnya, tiba-tiba tangannya berhenti di atas piring yang sudah berisi kepala ikan, lalu dia melihat sinis ke arahku.

"Kok kamu habisin lauknya, Van?"

"A-anu maaf, Bang. Aku lapar soalnya," ucapku.

"Ya gak dihabisin juga dong, aku juga belum makan ini, terus aku harus makan kepala ikan sisa kamu gitu?" ucapnya kesal.

"Iya, Bang maaf. Kirain Abang udah makan," kataku.

"Lain kali, kalau makan itu harus ingat sama orang lain. Jangan mementingkan perut sendiri, apalagi di sini bukan tempat kamu, jangan seenaknya." tegasnya, pelit banget jadi orang.

Lalu Bang Rendi melenggang begitu saja, menaruh kembali nasi dan piring yang sudah dibawanya tadi. Sepertinya dia tidak jadi makan. Jadi orang kok baper-an amat. Apalagi dia laki-laki.

"Van, jangan lupa piring bekas makan cuci yang bersih, dan itu kepala ikan juga bawa ke dapur. Nanti biar aku kasih sama kucing."

Apa-apaan Bang Rendi, piring cuma satu aja harus langsung dicuci lagi.

"Iya, Bang. Entar aku cuci kok," ucapku, malas.

"Bagus."

"Abang, gak jadi makan?" tanyaku, basa-basi.

"Mau makan sama apa? makannya Van, jadi orang itu jangan rakus. Orang lain jadi gak kebagian kan? gara-gara kamu habisin semuanya, padahal itu ikan ada lima ekor lho?" jawabnya, membuat perasaanku sedikit tersentak.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status