[Assalamualaikum, Bang. Ini persyaratan untuk melamar kerja]Anak laki-laki itu melampirkan sebuah gambar yang isinya syarat-syarat melamar kerja di sana.[Oke, terima kasih, Dek]Sepertinya semua sudah ada, aku punya berkas-berkasnya. Tapi, baju hitam putih aku tidak punya. Oke besok aku akan belanja dulu deh. ***Pagi-pagi, aku sudah bersiap untuk mencari baju hitam putih. Tak susah mencarinya hingga tidak butuh waktu lama untuk aku mendapatkannya.Semua berkas persyaratan sudah aku siapkan di dalam map. Waktunya bersiap ke pabrik untuk melamar pekerjaan. Semoga saja aku diterima.PT. Konveksi Indonesia, sebuah pabrik besar yang banyak sekali karyawan yang bekerja di sana. Aku melangkah penuh percaya diri ke depan gerbang, dimana ada bapak satpam sebagai penjaga di pos dekat gerbangnya. "Pagi, Pak. Saya mau melamar pekerjaan di sini, saya boleh masuk?" Aku menyapa Pak satpam sekaligus bertanya padanya."Pagi, boleh saya periksa dulu tasnya?" ucapnya, mungkin memang biasanya sepert
Jam enam pagi aku sudah bersiap pergi ke tempat kerja baruku. Saat sudah sampai, ternyata orang-orang yang kemarin keterima seperti sedang berkumpul di depan bangunan putih kemarin. Aku juga ikut kumpul di situ, ternyata pembagian kerja. Aku bagian di pengecekan barang. Okelah, tidak masalah. Katanya nanti bakal ada atasan yang mengajari dulu kami. Jam tujuh, semua karyawan pabrik harus siap dengan tanggung jawabnya di sini. Aku memasuki ruangan yang begitu besar, banyak kain-kain yang tertata rapi di sana. "Kain itu sudah tahap pengecekan ya, Mas. Nah, kalau yang ini belum dicek. Nanti kita harus teliti, apakah ada kain yang melar, bergaris dan terkadang ada yang sedikit sobek. Kita harus teliti jangan sampai ada yang tertinggal. Kalau kain ada yang cacat, di simpan di sebelah kiri. Kalau Yang mulus, di simpan di rak khusus. Mengerti, Mas?" "Siap, Pak. Apa di sini cuma saya saja ya?" "Tidak, itu yang lain lagi siap-siap masuk ke ruangan ini," tuturnya. "Baiklah, saya mulai seka
Aku berasa ingin berlari keluar sekarang juga. Untung saja aku diperbolehkan diam saja di ruangan ini hingga jam bekerja selesai. ***"Mas, waktunya pulang. Hati-hati, Mas. Takutnya mereka berkeliaran di jalan." Seorang petugas kesehatan membuka pintu, sembari membangunkan ku yang tengah tertidur. "Sudah waktunya pulang, ya Pak? Baik, Pak. Saya akan hati-hati. Besok saya tidak akan datang lagi ke sini ya, Pak. Gak papa kan gak bilang dulu HRD?" "Lebih baik, Mas bilang dulu. Biar saya yang antar ke ruangan HRD," ucapnya. "Oh, baiklah. Sekarang saja, Pak kita ke sana!" ajak ku. **"Permisi, Pak. Saya mengantarkan pekerja baru ke sini. Mas, ayo masuk!" Ucap Pak petugas kesehatan.Aku memasuki ruangan HRD dituntun petugas kesehatan."Pak, saya izin berhenti dari perusahaan ini, karena tiga karyawan sudah memukuli saya sampai babak belur. Apa tidak ada tindakan dari pihak perusahaan?" "Apa kamu melakukan kesalahan sehingga kalian terjadi keributan?" "Tidak sama sekali, mereka yang s
POV AuthorSiang itu, Revan memasuki pusat perbelanjaan, ia sengaja berdesak-desakan dengan banyak orang agar bisa memulai aksi buruknya. Tangannya merayap ke dalam tas milik seorang ibu-ibu. Namun, si pemilik berjalan buru-buru sehingga aksinya gagal. Tak patah arang, ia mencoba sekali lagi pada orang yang berbeda, dan ... ia berhasil mendapatkan satu buah dompet dan ponsel milik seorang wanita muda."Berhasil! Haha." Ia bersorak girang, setelah keluar dari pusat perbelanjaan. "Wuah, ada kartu ATM-nya lagi. Ternyata menjadi m****g tidak sesusah yang aku bayangkan," ujarnya.Hari sudah hampir larut, Revan berjalan menuju toko-toko yang akan tutup. Ia akan tidur di depan toko tersebut. Sebelum tertidur, ia menyimpan barang curiannya di tempat yang aman. "Besok aku harus beraksi lagi kayaknya!" gumamnya sebelum tidur. ***Sudah hampir setengah tahun, Revan menikmati kehidupannya di jalanan. Ia kini menjadi seorang pencuri. Belum ada satu orang pun yang berhasil menangkapnya. Ia kin
“Bro, sini deh!” ucap Angga, dia adalah temanku. Tiba-tiba dia melambaikan tangannya, sepertinya ada hal penting. Aku yang sedang asik ngopi dan main game, buru-buru menghampirinya.“Lihat! Binilu jual elu di fesbuk!” ucapnya, sambil memperlihatkan layar ponselnya ke arahku. [Dijual! Suamiku sendiri. Pemakaian lima tahun. Body mulus, cuma satu minusnya yaitu gak mau kerja. Kuy, yang minat bisa chat aku!] Aku benar-benar tidak percaya, mengapa Rina melakukan hal itu padaku. Tak lupa, dia juga membubuhkan fotoku di atas caption tersebut. Dasar memalukan! Aku mengumpat dalam hati.“Benar-benar ya, si Rina," gumamku.“Emangnya, lu habis ngapain aja, sih? Sampai dijual sama bini lu sendiri?” Angga menertawakanku. Astaga, benar-benar malu. “Lah, gue gak ngapa-ngapain, Ga. masalah gak kerja, ya ... saat ini gue juga lagi berusaha kali. Dasar si Rina aja yang lebay,” ucapku lagi.“Usaha apa usaha ni, Bro ...? Yang namanya cewek itu butuh kasih sayang dan juga uang. Kerja, kerja, kerja,” s
"Van ... Revan!" Di saat badanku basah kuyup, tiba-tiba di luar ada yang manggil. Suaranya seperti aku kenal, Mbak Ratih. Ya, dia kakakku satu-satunya. Buru-buru aku melangkah, ingin membukakan pintu. Tapi, saat aku mendorong pintunya, ternyata tak bisa dibuka. Astaga ... si Rina benar-benar membuatku emosi hari ini. Dia mengunciku di dalam rumah.Kulihat dari jendela, Mbak Ratih sedang menunggu di depan teras. Dia menjinjing sebuah kresek besar, pasti membawa makanan untukku."Mbak!" teriakku, sambil menggedor jendela."Revan, buka pintunya. Mbak mau masuk!" Mbak Ratih melangkah mendekati pintu depan. "Pintunya dikunci si Rina, Mbak!" teriakku, di balik jendela."Apa? Istrimu itu benar-benar kurang ajar ya! Masak, suami sendiri dikunci di rumah!" pekiknya."Aku mau lihat dulu pintu belakang, siapa tahu gak dikunci, Mbak!" teriakku lagi. Aku buru-buru melangkah ke dapur. Pintu belakang memang letaknya ada di dapur."Iya, buruan deh!" jawabnya, kesal."Gak dikunci, kuncinya ada meng
Aku menyusulnya menuju kamar, dan ternyata dugaanku benar. Dia sedang mengemasi pakaiannya ke dalam koper.Dia menangis sesenggukan, apa aku telah menyakitinya, ya? "Rin, Rina. Kamu jangan pergi, Mas mohon," ucapku, memohon padanya.Namun dia tidak mendengarkan ku, dia terus saja menangis dan mengambil semua bajunya yang ada di almari. Aku mencoba menyentuh tangannya, dan langsung dia tepis. Membuatku sedikit terkejut."Jangan sentuh aku, Mas. Awas aku mau pergi!" Dia melangkah meninggalkanku sambil menyeret kopernya. Di sini aku tidak bisa berkata apa-apa, dia memang bakalan tetap pergi dari rumah ini, meskipun aku membujuknya dengan seribu kata. "Argh, sialan!" umpatku, saat Rina sudah hilang dari pandangan.***Namaku Rina Amelia, aku adalah istri Mas Revan, sudah lima tahun kami menjalani pernikahan. Satu tahun, dua tahun, rumah tangga kami baik-baik saja. Namun setelah tahun ke tiga, Mas Revan dipecat dari kantornya. Aku pikir, Mas Revan bakalan cari kerja lagi. Iya aku tahu,
Aku baru teringat, status FB yang aku buat tempo hari. Saat itu juga aku buru-buru membuka aplikasi FB. Ternyata di sana sudah banyak yang berkomentar, teman-temanku juga ada yang komentar."Gak bakal laku, laki-laki kaya gitu mah!""Tampang aja yang bagus, tapi kere dan pemalas. Enggak banget deh!" "Ih, si Mbak ada-ada saja. Tapi bener juga si. Siapa tahu laku." "Jangan ngaco, Rin. Gitu-gitu juga suamimu, haha.""Beneran, Rin?" Itu beberapa komentar yang ada di statusku, dan masih banyak lagi. Aku gak tahu, ini dosa, apa enggak. Aku melakukan ini, karena aku begitu jenuh dan ingin menangis setiap melihat suamiku kerjanya tidur dan nongkrong.Seperti tidak ada beban, aku hanya cengengesan membaca satu persatu komentar teman-temanku.Astaghfirullah .... "Nak, belum tidur?" Tiba-tiba Ibuku menghampiriku ke dalam kamar. "Eh, Ibu. Belum ngantuk, Bu," ucapku."Ini, Ibu buatkan susu hangat buat kamu." Ibu meletakkan sebuah gelas yang berisi penuh dengan susu. "Terima kasih ya, Bu. Ibu