Share

STATUS ISTRIKU DI AKUN FACEBOOKNYA
STATUS ISTRIKU DI AKUN FACEBOOKNYA
Author: Langit Senja

BAB 1 Status fesbuk istriku

“Bro, sini deh!” ucap Angga, dia adalah temanku. Tiba-tiba dia melambaikan tangannya, sepertinya ada hal penting.

Aku yang sedang asik ngopi dan main game, buru-buru menghampirinya.

“Lihat! Binilu jual elu di fesbuk!” ucapnya, sambil memperlihatkan layar ponselnya ke arahku.

[Dijual! Suamiku sendiri. Pemakaian lima tahun. Body mulus, cuma satu minusnya yaitu gak mau kerja. Kuy, yang minat bisa chat aku!]

Aku benar-benar tidak percaya, mengapa Rina melakukan hal itu padaku. Tak lupa, dia juga membubuhkan fotoku di atas caption tersebut. Dasar memalukan! Aku mengumpat dalam hati.

“Benar-benar ya, si Rina," gumamku.

“Emangnya, lu habis ngapain aja, sih? Sampai dijual sama bini lu sendiri?” Angga menertawakanku. Astaga, benar-benar malu.

“Lah, gue gak ngapa-ngapain, Ga. masalah gak kerja, ya ... saat ini gue juga lagi berusaha kali. Dasar si Rina aja yang lebay,” ucapku lagi.

“Usaha apa usaha ni, Bro ...? Yang namanya cewek itu butuh kasih sayang dan juga uang. Kerja, kerja, kerja,” seru Angga. Bukannya membelaku, malah menceramahiku.

"Lu gak dengar, apa? tadi kan, gue bilang, kalau gue lagi berusaha sekuat tenaga. Dahlah, elu malah ikut-ikutan kayak bini gue, deh." Si Angga memang benar-benar membuatku kesal.

Kulihat dia hanya menggelengkan kepalanya.

"Bro ...."

Mulai deh, dia ceramah lagi kayaknya.

"Yang namanya usaha itu, bukan seperti ini. Buat lamaran, cari kerja ke sana kemari. Lah elu? Pagi-pagi udah nongkrong di sini, ngopi plus maen game. Enak bener hidup lu. Terus yang biayain hidup lu siapa? jangan bilang istri elu!?" Tukan. Apa kataku, dia memang ahli dalam ceramahi orang lain.

"Berisik dah lu. Lu kira gue kagak ngerti apa, gimana cari kerja? Gue ngerti segalanya. Gue juga udah masukin lamaran, lagi nunggu di terima apa kagak. Ngegampangin orang aja deh, lu!"

"Terus, kalau lamaran lu tak kunjung diterima gimana? Lu gak di panggil-panggil dari perusahaan yang elu lamar?"

"Ya sabarlah, baru juga sebulan yang lalu gue lamar tu perusahaan."

"Astaghfirullahal'adziim ... kalau udah sebulan mah, mungkin elu kagak diterima kali." Si Angga, sok tahu aja.

"Udah ah, berisik lu. Belagu amat, cuma jadi tukang warung kopi aja!" Aku melenggang begitu saja meninggalkan Angga.

"Wei ... maen kabur aja! Sini bayar! Udah ngatain, gak bayar lagi. Elu tuh yang belagu, jadi pengangguran aja belagu lu!" balasnya sambil berteriak.

Lalu, kulemparkan uang receh lima ribu ke dalam warungnya, itu adalah uang pemberian Rina, kemarin.

***

Saat aku berjalan untuk pulang, banyak sekali orang-orang menatapku sinis, ada juga yang berbisik-bisik sampai ketawa-ketawa.

Pasti mereka seperti itu, gara-gara status fesbuk si Rina. Keterlaluan si Rina, mempermalukan suaminya sendiri. Buru-buru aku melangkah, tanpa mempedulikan sekitar, dan akhirnya sampai juga di rumah.

Ini adalah rumah warisan bapakku, walaupun sederhana ... tapi, lumayanlah buat berteduh, mah. Ya walaupun atapnya juga banyak yang bocor, tenang ... kan, ada ember buat nampungin air yang bocor itu.

Begitu aku memasuki rumah, ternyata Rina sedang memakan ramen sambil menatap layar laptopnya. Pasti dia lagi nonton film kesukaannya. Langsung saja aku hampiri dia yang sedang duduk menikmati ramennya.

"Kenapa, Mas? ngopinya sudah beres, kah?" ucap Rina, santai. Tanpa menolehku.

"Rina, kamu itu apa-apaan sih, maksud kamu apa membuat postingan seperti itu di fesbuk?"

"Postingan apa, sih?" tanyanya, pura-pura tidak tahu.

"Jangan pura-pura tidak tahu deh!"

"Hoo ... status itu," ucapnya, dengan ekspresi santai. Dia melahap mie ramen terakhirnya, lalu meminum air dalam gelas, hingga tandas. "Kamu sadar, gak sih? kamu itu beban hidup aku tahu, Mas? Aku pikir, kalau dijual siapa tahu laku dan aku dapat untung banyak."

"Beban hidup? Maksud kamu? Hati-hati ya, kamu bisa jadi istri durhaka!" ucapku, menakutinya.

"Jangan bicara tentang istri durhaka, kalau kamu saja tidak memenuhi kewajibanmu sebagai suami, Mas. Kapan terakhir kamu memberikan nafkah buat aku?" serunya seperti menyudutkan.

"Masalah seperti itu saja dipermasalahkan. Dulu juga waktu aku kerja, aku nafkahi kamu. Membelikan apa yang kamu minta. Sabar dulu kek, aku lagi berusaha cari kerja juga. Lagian, kamu juga kan, bekerja dapat uang. Santai aja kali," tuturku.

"Itu kapan, Mas? Iya, aku akui itu. Tapi, ini sudah hampir tiga tahun kamu gak kerja. Aku udah cukup sabar lho, hidup sama kamu. Kalau saja orang tuaku tidak menyuruh aku sabar, karena mereka yakin, kamu pasti akan berubah. Saat itu juga, aku pergi ke pengadilan untuk mengajukan cerai. Tapi, setelah tahun demi tahun dilewati, sekarang sudah tahun ke tiga, dan sabarku sudah habis, Mas!"

Si Rina memang gak pernah bisa sabar. Toh, selama tiga tahun itu dia juga numpang di rumahku. Aku juga ngojek. Ya meskipun cuma cukup buat bensin dan kopi. Menurutku itu sudah tidak terlalu memberatkan dia, kan? sekarang aku juga lagi lamar pekerjaan. Maunya apa sih, si Rina ini?

"Ya sabar dong, Rin."

"Sabar, sabar, sabaaar ... terus yang kamu ucapkan. Aku udah kenyang, Mas. Makan sabar!" cetusnya membuat hatiku memanas.

"Kamu itu, jadi melawan ya sama aku?" tanyaku mulai terpancing emosi.

"Mas, dengar dulu. Aku melawan karena apa? kamu yang seharusnya introspeksi diri!"

"Ini juga lagi nyari kerja, Rin," kilahku lagi.

"Mas, kamu usaha sendiri, kek. Kalau kamu sudah masukin lamaran sana sini tapi ujungnya gak ada yang nerima kamu, kan?"

Ck! Dari dulu, dia maksa banget nyuruh aku dagang, kalau aku gak mau ya gak mau!

"Maksud kamu, aku harus jualan kayak saudara-saudara kamu, gitu? Ogah-lah, gak level," cibirku.

"Oh, jadi kamu merendahkan pekerjaan mereka, ya Mas?" Si Rina begitu marah, mendengar ucapanku barusan.

"Bukan gitu maksudnya, Rin. Kamu, kan tahu, kalau aku dulunya pekerja kantoran. Lah, masa sekarang jadi tukang jualan keliling?"

"Dengar, ya Mas. Mereka jualan itu membuahkan hasil, dapat penghasilan yang banyak. Terus kamu? Ngasilin apa? Jangan merendahkan pekerjaan orang lain deh, kalau diri sendiri malah pengangguran."

"Ngaco banget si kamu! Siapa yang merendahkan coba?" elakku.

"Udahlah, Mas. Aku capek ngomong sama kamu. Kalau kamu gak mau mengubah diri. Aku minta pisah aja, Mas. Kembalikan aku pada orang tuaku jika kamu tak mampu menafkahiku!" Dia lalu melenggang, menghentakkan kakinya pergi dari hadapanku sambil membawa mangkok yang isinya sudah kosong.

"Rin?"

Elaaah ...! Dia benar-benar marah padaku, harus bagaimana lagi aku. Besok aku harus pergi ke kantor yang aku lamar sebulan yang lalu. Masak pengalaman sepertiku tidak keterima, sih?

Aku menghempaskan tubuhku di sofa, aku ngantuk dan berniat untuk tidur. Baru saja aku memejamkan mata, tiba-tiba guyuran air membasahi wajah dan seluruh tubuhku membuatku terkejut bukan kepalang.

"Enak-enakan terus kamu, Mas. Tuh, rasain buat orang pemalas kayak kamu!" cerca Rina.

"Benar-benar kamu, ya Rin! Gak menghargai aku sebagai suami!"

Mendengar aku marah, dia malah cengengesan menjauh menaruh gayung mandi di meja sana. Lalu dia ngeloyor pergi dengan pakaian yang sudah rapi. Sepertinya dia mau berangkat kerja.

Sialan!

Aku mengomel sendiri karena kebasahan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status