Share

BAB 6 Diusir

Sudah hampir satu bulan, aku berada di rumah Mbak Ratih. Bisa makan enak, santai-santai, main game, nonton TV. Ah pokoknya aku senang banget berada di sini.

“Van, ini tugas buat kamu, ya!” Bang Rendi menghampiriku saat sedang menonton TV, lalu memberikan sebuah kertas yang berisi penuh dengan tulisan.

“Apa ini, Bang?” Aku menerima sebuah kertas yang dia berikan.

“Baca saja,” ucapnya datar.

Tugas harian Revan, selama berada di rumah saya, Rendi.

- Beres-beres rumah (Ngepel, nyuci baju, nyuci piring, nyapu, lap kaca, sikat kamar mandi dll)

- Setrika baju, jemur baju, angkatin jemuran.

Catatan: Berlaku setiap hari, jangan malas-malasan. Kalau tidak mau, silakan angkat kaki dari rumah ini.

Demikian isi kertas yang diberikan Bang Rendi padaku. Astaga ... dia ini sebenarnya menganggap aku adik ipar, atau babu, sih? Gak habis pikir.

“Benaran ini, Bang?” tanyaku.

Aku menelan ludahku yang terasa amat berat di tenggorokan.

“Apa ada tanda-tanda bercanda dengan diri saya?” Dia berkata begitu menakutkan sambil menatap tajam ke arahku. Membuat nyali ini semakin ciut.

“Ba-baik, Bang,” ucapku, mengangguk ragu.

“Oke, tidak ada yang gratis di dunia ini, Revan!” sindirnya, lalu beranjak pergi meninggalkanku.

“Argh! Sialan Bang Rendi! Apa-apaan coba, ingin memperlakukan aku seperti seorang babu!” umpatku, kesal.

**

Gara-gara aturan dari Bang Rendi. Pagi-pagi buta ini, aku harus bersih-bersih seluruh isi rumah. Capek banget rasanya. Huh! Ini baru mengepel, belum yang lainnya.

“Lho, Revan. Kok, kamu tumben rajin?” Mbak Ratih yang baru saja bangun tidur, merasa heran melihat aku sedang mengepel lantai.

“Ini semua gara-gara Bang Rendi, aku disuruh mengerjakan seluruh pekerjaan rumah,” sahutku, kesal.

“Jangan bilang karena gara-gara saya, Revan. Ini semua gara-gara sifat kamu yang pemalas. Sekarang kamu harus bisa keluar dari zona itu.” Jantungku serasa mau copot, tiba-tiba Bang Rendi menyahut dari dalam kamarnya.

Sok ngatur hidup orang banget, sih. Batinku.

Aku gak tahu, kenapa Mbak Ratih cuma diam saja melihat aku diperlakukan seperti ini. Apa dia takut sama suaminya? Argh. Pokoknya aku harus bilang sama Mbak Ratih, kalau aku tidak mau diperlakukan seperti pembantu, di rumah ini.

Setelah beres mengepel lantai, aku harus segera mencuci baju. Huh! Melelahkan sekali. Saat aku pergi ke laundry room yang melewati dapur, di sana ada Mbak Ratih sedang memasak. Masakannya begitu wangi, membuat perut ini keroncongan.

Aku lebih memilih menunggu cucian selesai di laundry room, ogah-lah kalau harus nunggu di ruang tengah. Di sana ada Bang Rendi si nyebelin dan sok ngatur itu.

“Van! Sarapan dulu!” Mbak Ratih berteriak menyuruh aku sarapan.

Kebetulan, cucian sudah beres dan sudah aku jemur. Aku menghampiri Mbak Ratih dan Bang Rendi yang sudah berada di meja makan.

Wow! Masakan Mbak Ratih banyak sekali. Aku tahu, pasti dia kasihan sama aku. Makannya masak banyak, pasti itu buat aku, dong.

Aku mengambil nasi sepiring penuh. Pokoknya aku mau makan sepuasnya, suruh siapa aku dijadikan pembantu di rumah ini.

Nasi dan berbagai macam lauk sudah aku ambil satu persatu ke dalam piringku. Saatnya eksekusi ....

“Revan!” Bang Rendi membentakku, saat aku mau melahap nasi pertama. Membuat aku terkejut dan urung memasukkan ke dalam mulut.

“Kenapa, Bang?” tanyaku.

“Sudah saya bilang, kamu kalau makan jangan rakus. Di sini bukan cuma kamu yang mau makan!” bentaknya lagi.

“Maaf, Bang. Tapi aku capek banget dan lapar banget,” jawabku, aku tidak boleh lemah pokoknya di hadapan Bang Rendi.

Mendengar jawabanku, Bang Rendi hanya menggelengkan kepalanya, tak lupa dengan sorot matanya yang tajam.

“Bang, kasihanlah Revan. Dia kayaknya capek habis bersih-bersih rumah kita. Biarlah dia makan sepuasnya dia.” Kali ini Mbak Ratih membelaku di depan Bang Rendi.

“Kamu dan dia itu sama saja, Ratih. Apa kamu tidak bisa membedakan mana yang benar dan salah? Harusnya kamu tegur Adik kamu itu!” tegas Bang Rendi.

“Sudah, Revan. Makanlah yang banyak.” Mbak Ratih sepertinya tidak menganggap ucapan Bang Rendi.

Aku pun mengangguk, dan tidak memedulikan ucapan Bang Rendi.

**

“Van, maafkan abangmu itu ya? Jangan dianggap apa pun yang dia katakan.” Mbak Ratih tiba-tiba menghampiriku saat aku sedang santai di luar rumah.

“Iya, harusnya Mbak ngomong dong sama Bang Rendi. Bang Rendi itu udah pelit, ngatur-ngatur hidupku lagi. Sebel deh,” selorohku.

“Ya sudah, nanti Mbak bilang ya,” ucapnya, lalu pergi lagi ke dalam rumah

Aku tersenyum senang, mendengar ucapan Mbak Ratih.

“Dengar ya, Ratih. Kalau kamu tidak menuruti apa perkataanku, lebih baik kamu pergi dari sini. Ikuti aturanku, atau kalian minggat dari sini!” Suara Bang Rendi begitu menggelegar, terdengar sampai teras rumah.

Mendadak senyumku hilang. Apa mereka bertengkar? Mungkin karena Mbak Ratih bicara sesuatu tentang aku. Buru-buru aku masuk ke dalam, dan melihat apa yang sedang terjadi.

“Maaf, Bang. Aku hanya kasihan sama Revan.” Mbak Ratih tampak memelas pada Bang Rendi.

“Ratih, dia itu bukan lagi seorang bayi yang apa-apa harus dilayani! Sekarang dia sudah punya tanggung jawab buat dirinya sendiri! Kalau kamu terus saja membela kesalahannya dan tidak menerima bila ada yang menegurnya, lantas akan seperti apa kehidupannya? Kapan dia akan dewasa?” Bang Rendi begitu marah pada Mbak Ratih, dia juga menunjuk-nunjuk wajahku.

Aku yang berada di sini hanya bisa menunduk dalam, takut sekali menatap wajah Bang Rendi.

“Dan kamu, Revan. Kehadiran kamu di sini sangat membuatku risi. Apalagi kamu tukang ngadu kerjanya. Kamu pemalas dan juga rakus, maaf aku harus mengusirmu dari rumah saya,” tegasnya.

Di sini, aku hanya menatap Mbak Ratih, siapa tahu dia akan membelaku lagi.

“Maaf, Revan. Mbak harus mengikuti apa kata suami Mbak. Mbak gak mau rumah tangga Mbak jadi berantakan. Kamu pulang saja ke rumahmu.” Harapanku sia-sia, mendengar Mbak Ratih juga menyuruhku untuk pulang.

“Mbak, aku gak punya siapa-siapa lagi selain Mbak. Masak Mbak tega sama aku?” Aku mencoba meminta belas kasihan pada Mbak Ratih, siapa tahu hatinya tergugah.

“Revan, kamu sudah dewasa. Silakan kamu mencari pekerjaan yang layak buat kamu! Harus berapa kali aku menasihati kamu? Silakan pergi dari sini kalau kamu tidak bisa mengubah sifatmu,” ucap Bang Rendi, dia seperti kesal sekali pada diriku.

Aku hanya mengangguk, lalu memasuki kamar untuk mengemasi baju-bajuku. Buru-buru aku pergi, aku sudah tak betah berada di sini. Bang Rendi begitu membenciku, seketika Mbak Ratih juga tidak peduli padaku.

“Van!” Mbak Ratih memanggilku saat aku sudah berada di ambang pintu. Aku tidak memedulikannya, langsung saja aku keluar dari rumah ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status