Aku berasa ingin berlari keluar sekarang juga. Untung saja aku diperbolehkan diam saja di ruangan ini hingga jam bekerja selesai. ***"Mas, waktunya pulang. Hati-hati, Mas. Takutnya mereka berkeliaran di jalan." Seorang petugas kesehatan membuka pintu, sembari membangunkan ku yang tengah tertidur. "Sudah waktunya pulang, ya Pak? Baik, Pak. Saya akan hati-hati. Besok saya tidak akan datang lagi ke sini ya, Pak. Gak papa kan gak bilang dulu HRD?" "Lebih baik, Mas bilang dulu. Biar saya yang antar ke ruangan HRD," ucapnya. "Oh, baiklah. Sekarang saja, Pak kita ke sana!" ajak ku. **"Permisi, Pak. Saya mengantarkan pekerja baru ke sini. Mas, ayo masuk!" Ucap Pak petugas kesehatan.Aku memasuki ruangan HRD dituntun petugas kesehatan."Pak, saya izin berhenti dari perusahaan ini, karena tiga karyawan sudah memukuli saya sampai babak belur. Apa tidak ada tindakan dari pihak perusahaan?" "Apa kamu melakukan kesalahan sehingga kalian terjadi keributan?" "Tidak sama sekali, mereka yang s
POV AuthorSiang itu, Revan memasuki pusat perbelanjaan, ia sengaja berdesak-desakan dengan banyak orang agar bisa memulai aksi buruknya. Tangannya merayap ke dalam tas milik seorang ibu-ibu. Namun, si pemilik berjalan buru-buru sehingga aksinya gagal. Tak patah arang, ia mencoba sekali lagi pada orang yang berbeda, dan ... ia berhasil mendapatkan satu buah dompet dan ponsel milik seorang wanita muda."Berhasil! Haha." Ia bersorak girang, setelah keluar dari pusat perbelanjaan. "Wuah, ada kartu ATM-nya lagi. Ternyata menjadi m****g tidak sesusah yang aku bayangkan," ujarnya.Hari sudah hampir larut, Revan berjalan menuju toko-toko yang akan tutup. Ia akan tidur di depan toko tersebut. Sebelum tertidur, ia menyimpan barang curiannya di tempat yang aman. "Besok aku harus beraksi lagi kayaknya!" gumamnya sebelum tidur. ***Sudah hampir setengah tahun, Revan menikmati kehidupannya di jalanan. Ia kini menjadi seorang pencuri. Belum ada satu orang pun yang berhasil menangkapnya. Ia kin
“Bro, sini deh!” ucap Angga, dia adalah temanku. Tiba-tiba dia melambaikan tangannya, sepertinya ada hal penting. Aku yang sedang asik ngopi dan main game, buru-buru menghampirinya.“Lihat! Binilu jual elu di fesbuk!” ucapnya, sambil memperlihatkan layar ponselnya ke arahku. [Dijual! Suamiku sendiri. Pemakaian lima tahun. Body mulus, cuma satu minusnya yaitu gak mau kerja. Kuy, yang minat bisa chat aku!] Aku benar-benar tidak percaya, mengapa Rina melakukan hal itu padaku. Tak lupa, dia juga membubuhkan fotoku di atas caption tersebut. Dasar memalukan! Aku mengumpat dalam hati.“Benar-benar ya, si Rina," gumamku.“Emangnya, lu habis ngapain aja, sih? Sampai dijual sama bini lu sendiri?” Angga menertawakanku. Astaga, benar-benar malu. “Lah, gue gak ngapa-ngapain, Ga. masalah gak kerja, ya ... saat ini gue juga lagi berusaha kali. Dasar si Rina aja yang lebay,” ucapku lagi.“Usaha apa usaha ni, Bro ...? Yang namanya cewek itu butuh kasih sayang dan juga uang. Kerja, kerja, kerja,” s
"Van ... Revan!" Di saat badanku basah kuyup, tiba-tiba di luar ada yang manggil. Suaranya seperti aku kenal, Mbak Ratih. Ya, dia kakakku satu-satunya. Buru-buru aku melangkah, ingin membukakan pintu. Tapi, saat aku mendorong pintunya, ternyata tak bisa dibuka. Astaga ... si Rina benar-benar membuatku emosi hari ini. Dia mengunciku di dalam rumah.Kulihat dari jendela, Mbak Ratih sedang menunggu di depan teras. Dia menjinjing sebuah kresek besar, pasti membawa makanan untukku."Mbak!" teriakku, sambil menggedor jendela."Revan, buka pintunya. Mbak mau masuk!" Mbak Ratih melangkah mendekati pintu depan. "Pintunya dikunci si Rina, Mbak!" teriakku, di balik jendela."Apa? Istrimu itu benar-benar kurang ajar ya! Masak, suami sendiri dikunci di rumah!" pekiknya."Aku mau lihat dulu pintu belakang, siapa tahu gak dikunci, Mbak!" teriakku lagi. Aku buru-buru melangkah ke dapur. Pintu belakang memang letaknya ada di dapur."Iya, buruan deh!" jawabnya, kesal."Gak dikunci, kuncinya ada meng
Aku menyusulnya menuju kamar, dan ternyata dugaanku benar. Dia sedang mengemasi pakaiannya ke dalam koper.Dia menangis sesenggukan, apa aku telah menyakitinya, ya? "Rin, Rina. Kamu jangan pergi, Mas mohon," ucapku, memohon padanya.Namun dia tidak mendengarkan ku, dia terus saja menangis dan mengambil semua bajunya yang ada di almari. Aku mencoba menyentuh tangannya, dan langsung dia tepis. Membuatku sedikit terkejut."Jangan sentuh aku, Mas. Awas aku mau pergi!" Dia melangkah meninggalkanku sambil menyeret kopernya. Di sini aku tidak bisa berkata apa-apa, dia memang bakalan tetap pergi dari rumah ini, meskipun aku membujuknya dengan seribu kata. "Argh, sialan!" umpatku, saat Rina sudah hilang dari pandangan.***Namaku Rina Amelia, aku adalah istri Mas Revan, sudah lima tahun kami menjalani pernikahan. Satu tahun, dua tahun, rumah tangga kami baik-baik saja. Namun setelah tahun ke tiga, Mas Revan dipecat dari kantornya. Aku pikir, Mas Revan bakalan cari kerja lagi. Iya aku tahu,
Aku baru teringat, status FB yang aku buat tempo hari. Saat itu juga aku buru-buru membuka aplikasi FB. Ternyata di sana sudah banyak yang berkomentar, teman-temanku juga ada yang komentar."Gak bakal laku, laki-laki kaya gitu mah!""Tampang aja yang bagus, tapi kere dan pemalas. Enggak banget deh!" "Ih, si Mbak ada-ada saja. Tapi bener juga si. Siapa tahu laku." "Jangan ngaco, Rin. Gitu-gitu juga suamimu, haha.""Beneran, Rin?" Itu beberapa komentar yang ada di statusku, dan masih banyak lagi. Aku gak tahu, ini dosa, apa enggak. Aku melakukan ini, karena aku begitu jenuh dan ingin menangis setiap melihat suamiku kerjanya tidur dan nongkrong.Seperti tidak ada beban, aku hanya cengengesan membaca satu persatu komentar teman-temanku.Astaghfirullah .... "Nak, belum tidur?" Tiba-tiba Ibuku menghampiriku ke dalam kamar. "Eh, Ibu. Belum ngantuk, Bu," ucapku."Ini, Ibu buatkan susu hangat buat kamu." Ibu meletakkan sebuah gelas yang berisi penuh dengan susu. "Terima kasih ya, Bu. Ibu
Hari ini, adalah hari di mana aku harus datang ke pengadilan agama memenuhi undangan sidang. Oke, aku siap berpisah dengan Rina. Apalagi keluarganya itu, mereka sama aja tidak sabar menungguku untuk mencari pekerjaan. Aku akan datang ditemani oleh Mbak Ratih. Mbak Ratih juga setuju kalau aku pisah sama Rina, malah tempo hari dia nyuruh aku pisah, dan akhirnya kejadian juga.Saat ini, aku dan Rina sudah berada di ruang sidang. Pokoknya semua berjalan lancar, aku gak peduli dia menjelekkan namaku di depan hakim, yang penting aku akan pisah sama dia. Dipikir-pikir, aku juga udah muak hidup sama dia.Setelah kami keluar dari ruangan, tiba-tiba Rina berteriak menuduh Mbak Ratih mengambil jam tangannya,"Heh, Mbak! itu jam tanganku kan?""Eh, jangan asal nuduh ya! ini jam tangan dibeliin suamiku, enak aja dibilang punyamu!" jawab Mbak Ratih."Oke, akan aku buktikan kalau itu punyaku!" ucapnya, sambil membuka paksa jam tangan yang sedang dipakai Mbak Ratih, dasar gak sopan."Tuh, lihat! Di
Sudah hampir satu bulan, aku berada di rumah Mbak Ratih. Bisa makan enak, santai-santai, main game, nonton TV. Ah pokoknya aku senang banget berada di sini. “Van, ini tugas buat kamu, ya!” Bang Rendi menghampiriku saat sedang menonton TV, lalu memberikan sebuah kertas yang berisi penuh dengan tulisan. “Apa ini, Bang?” Aku menerima sebuah kertas yang dia berikan. “Baca saja,” ucapnya datar. Tugas harian Revan, selama berada di rumah saya, Rendi. - Beres-beres rumah (Ngepel, nyuci baju, nyuci piring, nyapu, lap kaca, sikat kamar mandi dll) - Setrika baju, jemur baju, angkatin jemuran. Catatan: Berlaku setiap hari, jangan malas-malasan. Kalau tidak mau, silakan angkat kaki dari rumah ini. Demikian isi kertas yang diberikan Bang Rendi padaku. Astaga ... dia ini sebenarnya menganggap aku adik ipar, atau babu, sih? Gak habis pikir. “Benaran ini, Bang?” tanyaku. Aku menelan ludahku yang terasa amat berat di tenggorokan. “Apa ada tanda-tanda bercanda dengan diri saya?” Dia berkata