Share

BAB 3 Pulang ke rumah orang tua

Aku menyusulnya menuju kamar, dan ternyata dugaanku benar. Dia sedang mengemasi pakaiannya ke dalam koper.

Dia menangis sesenggukan, apa aku telah menyakitinya, ya?

"Rin, Rina. Kamu jangan pergi, Mas mohon," ucapku, memohon padanya.

Namun dia tidak mendengarkan ku, dia terus saja menangis dan mengambil semua bajunya yang ada di almari.

Aku mencoba menyentuh tangannya, dan langsung dia tepis. Membuatku sedikit terkejut.

"Jangan sentuh aku, Mas. Awas aku mau pergi!" Dia melangkah meninggalkanku sambil menyeret kopernya.

Di sini aku tidak bisa berkata apa-apa, dia memang bakalan tetap pergi dari rumah ini, meskipun aku membujuknya dengan seribu kata.

"Argh, sialan!" umpatku, saat Rina sudah hilang dari pandangan.

***

Namaku Rina Amelia, aku adalah istri Mas Revan, sudah lima tahun kami menjalani pernikahan. Satu tahun, dua tahun, rumah tangga kami baik-baik saja. Namun setelah tahun ke tiga, Mas Revan dipecat dari kantornya. Aku pikir, Mas Revan bakalan cari kerja lagi. Iya aku tahu, dia juga lagi cari kerja tapi asal-asalan banget. Sekarang sudah tiga tahun, dia jadi pengangguran. Kadang dia juga ngojek tapi hanya buat kebutuhannya sendiri.

Jujur, Aku capek banget menjalani rumah tangga seperti ini. Dari dulu aku ingin bercerai dengan suamiku, namun orang tuaku tak menyetujui, mereka yakin kalau Mas Revan akan berubah. Tapi ternyata tidak berubah sampai saat ini.

Aku bekerja sebagai penjahit, alhamdulillah penghasilanku lumayan besar. Pergi pagi hari, dan pulang sore hari. Keadaan rumah selalu berantakan. Melihat suamiku, kerjanya cuma tidur dan makan saja. Ingin menangis sejadi-jadinya.

Hari ini, sengaja aku tidak bersih-bersih di rumah, biar dia tau rasa. Aku mau ngetes dia, apa dia mau hanya sekadar membersihkan rumah saja, tapi ternyata tidak. Aku lagi, yang harus membereskannya, tapi kali ini aku benar-benar emosi.

Pulang kerja disuguhi sampah yang berserakan di ruang tamu, dan jam tanganku hilang. Aku lupa tidak memakainya kembali, saat aku ke kamar mandi. Entah siapa yang mengambilnya, ku tanyai Mas Revan, dia tidak tahu. Masak, setan sih yang ngambil?

Keputusanku sudah bulat. Aku ingin berpisah saja dengan Mas Revan. Untungnya, aku belum punya anak. Sengaja, dulu aku nunda kehamilan.

Hari ini juga, aku pulang ke rumah orang tuaku. Mas Revan memohon-mohon padaku agar tidak pulang, tapi aku tidak akan pernah peduli lagi sama dia. Tunggu surat cerai dariku, Mas.

"Rina, kamu kok bawa koper?" tanya Ibu, saat melihat aku berjalan membawa koper. Dia sedang duduk di luar menikmati sore hari yang cerah.

Saat itu, langsung saja aku memeluk ibuku, menangis di pelukannya sejadi-jadinya. Aku tidak peduli dengan orang-orang yang melihatku.

"Kamu kenapa? cerita sama Ibu. Apa karena suamimu?"

"Aku mau cerita di dalam, Bu."

Ibuku menganggukkan kepalanya, melihatku dengan penuh iba.

"Bu, Mas Revan tidak pernah berubah, sudah tahun ke tiga dia tidak bekerja. Apa aku boleh minta cerai saja, Bu? Jujur ... aku lelah sekali. Tiap hari aku banting tulang, dia kerjaannya hanya tidur saja," keluhku.

Ibuku menangis, mendengarkan ceritaku.

"Maafkan Ibu, Nak. Sekarang terserah kamu saja, apa yang merasa kamu baik, lakukanlah. Kenapa kamu tidak pernah cerita sama Ibu dan Bapak, kalau ternyata Revan masih belum bekerja?"

"Karena aku kira, Mas Revan akan benar-benar mencari kerja, sama seperti yang kalian kira. Tapi ternyata, tidak ada perubahan sama sekali."

"Astaghfirullah ... lebih baik kalian berpisah saja, Rin. Sekarang Ibu dan Bapak pasti mendukungmu."

"Aku mau mengajukan perceraian besok, Bu." Karena lebih cepat lebih baik menurutku.

"Baik. Besok di antar sama Abangmu saja, ya."

"Iya, Bu." Aku begitu lega telah menceritakan semuanya pada ibu.

"Ya sudah, kamu istirahat dulu. Kamu habis pulang kerja kan?"

"Aku mau mandi, Bu. Badanku terasa begitu lengket."

"Kebetulan, ada air panas. Pakai saja buat kamu mandi, sekarang sudah sore, nanti masuk angin kalau kamu mandi air dingin."

Aku mengiyakan dengan anggukan, ibuku begitu baik dan perhatian sekali.

Setelah mandi, pikiranku sedikit tenang, apalagi ada ibu di sini, dia selalu menguatkan hatiku.

Tapi aku tidak melihat bapak dari tadi, mungkin bapak belum pulang dari pekerjaannya, ini sudah jam lima sore, sebentar lagi pasti pulang.

"Rin, mau makan sekarang apa nanti bareng?"

"Bareng aja, Bu. Sudah lama rasanya tidak makan bareng lagi," ucapku.

"Baiklah, kita tunggu Bapak pulang saja, ya."

Bapak pulang, dugaanku benar. Jam lima sore bapak pasti pulang. Dia menggarap kebun miliknya, walaupun tidak terlalu besar, kebun itu adalah sumber penghasilan Ibu dan Bapakku. Mereka selalu menanam sayuran untuk dijual. Alhamdulillah, kebutuhan selalu Allah cukupi untuk mereka.

"Assalamualaikum, Bapak pulang!" Kata-kata itu tidak pernah berubah sejak dulu aku masih kecil, sampai sekarang aku sudah menikah. Aku tersenyum mendengarnya.

"Wa'alaikumussalam, Pak," ucapku dan Ibu berbarengan.

Bapak masuk melalui pintu belakang.

"Lho, Nak. Kapan kamu ke sini?" tanya Bapak.

"Tadi, pulang kerja Pak," ucapku. Sebenarnya aku tak enak kalau kepulanganku ke rumah, hanya membawa masalah dari rumah tanggaku.

"Pak, mendingan mandi dulu gih, biar gak bau keringat. Nanti kita ngobrol lagi," ucap Ibu.

"Ya ... Bapak mandi dulu." Dengan pakaian yang kotor, Bapak berlalu ke kamar mandi.

Aku dan Ibuku menonton TV, di ruang keluarga. Saat ini, aku merasa kembali ke masa lalu. Kalau tahu begini, aku tidak mau dewasa saja, tapi kita tidak bisa menghindari takdir dari Allah. Baik buruknya takdir, kita harus menerimanya.

"Handuk!" Bapak berteriak di dalam kamar mandi.

"Iya ..." teriak ibu, "Kebiasaan Bapakmu itu, kalau mandi pasti lupa bawa handuk!" Ibuku mengomel, sambil mengambil handuk yang diminta Bapak.

Aku hanya tersenyum melihat tingkah mereka, bersyukur sekali rumah tangga Ibu dan Bapak harmonis sampai sekarang. Kapan aku akan seperti itu Ya Allah.

**

"Nak, kami mendukung apa pun keputusanmu. Bapak juga tidak rela kalau sampai putri Bapak tidak dinafkahi oleh suamimu. Suami macam apa itu? Aku saja sebagai Bapaknya mati-matian cari uang buat menghidupinya," ucap Bapak, setelah aku menceritakan semua tentang keadaan rumah tanggaku. Bapak marah sekali pada Mas Revan.

"Iya, Pak. Dulu kita sudah memberikan kesempatan pada Revan. Tapi ternyata, dia enggan berubah juga," timpa Ibuku, sambil meletakkan kopi hitam favorit Bapak, di atas meja.

"Lebih baik, segera urus perceraianmu dengan Revan, Nak!" ucap Bapak.

Aku hanya mengangguk, tanda mengiyakan perintah Bapak.

"Kamu bawa surat nikahnya, kan?"

"Aku sudah bawa semuanya, Pak."

Aku tidak lupa pada surat-surat itu, karena surat itu wajib aku bawa agar mempermudah jalanku untuk berpisah dengan Mas Revan. Kalau tidak aku bawa, bisa jadi Mas Revan akan menyembunyikannya dan mempersulit.

"Baiklah, itu buat persyaratan mengajukan cerai nanti."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status