Aku menyusulnya menuju kamar, dan ternyata dugaanku benar. Dia sedang mengemasi pakaiannya ke dalam koper.
Dia menangis sesenggukan, apa aku telah menyakitinya, ya?"Rin, Rina. Kamu jangan pergi, Mas mohon," ucapku, memohon padanya.Namun dia tidak mendengarkan ku, dia terus saja menangis dan mengambil semua bajunya yang ada di almari.Aku mencoba menyentuh tangannya, dan langsung dia tepis. Membuatku sedikit terkejut."Jangan sentuh aku, Mas. Awas aku mau pergi!" Dia melangkah meninggalkanku sambil menyeret kopernya.Di sini aku tidak bisa berkata apa-apa, dia memang bakalan tetap pergi dari rumah ini, meskipun aku membujuknya dengan seribu kata."Argh, sialan!" umpatku, saat Rina sudah hilang dari pandangan.***Namaku Rina Amelia, aku adalah istri Mas Revan, sudah lima tahun kami menjalani pernikahan. Satu tahun, dua tahun, rumah tangga kami baik-baik saja. Namun setelah tahun ke tiga, Mas Revan dipecat dari kantornya. Aku pikir, Mas Revan bakalan cari kerja lagi. Iya aku tahu, dia juga lagi cari kerja tapi asal-asalan banget. Sekarang sudah tiga tahun, dia jadi pengangguran. Kadang dia juga ngojek tapi hanya buat kebutuhannya sendiri.Jujur, Aku capek banget menjalani rumah tangga seperti ini. Dari dulu aku ingin bercerai dengan suamiku, namun orang tuaku tak menyetujui, mereka yakin kalau Mas Revan akan berubah. Tapi ternyata tidak berubah sampai saat ini.Aku bekerja sebagai penjahit, alhamdulillah penghasilanku lumayan besar. Pergi pagi hari, dan pulang sore hari. Keadaan rumah selalu berantakan. Melihat suamiku, kerjanya cuma tidur dan makan saja. Ingin menangis sejadi-jadinya.Hari ini, sengaja aku tidak bersih-bersih di rumah, biar dia tau rasa. Aku mau ngetes dia, apa dia mau hanya sekadar membersihkan rumah saja, tapi ternyata tidak. Aku lagi, yang harus membereskannya, tapi kali ini aku benar-benar emosi.Pulang kerja disuguhi sampah yang berserakan di ruang tamu, dan jam tanganku hilang. Aku lupa tidak memakainya kembali, saat aku ke kamar mandi. Entah siapa yang mengambilnya, ku tanyai Mas Revan, dia tidak tahu. Masak, setan sih yang ngambil?Keputusanku sudah bulat. Aku ingin berpisah saja dengan Mas Revan. Untungnya, aku belum punya anak. Sengaja, dulu aku nunda kehamilan.Hari ini juga, aku pulang ke rumah orang tuaku. Mas Revan memohon-mohon padaku agar tidak pulang, tapi aku tidak akan pernah peduli lagi sama dia. Tunggu surat cerai dariku, Mas."Rina, kamu kok bawa koper?" tanya Ibu, saat melihat aku berjalan membawa koper. Dia sedang duduk di luar menikmati sore hari yang cerah.Saat itu, langsung saja aku memeluk ibuku, menangis di pelukannya sejadi-jadinya. Aku tidak peduli dengan orang-orang yang melihatku."Kamu kenapa? cerita sama Ibu. Apa karena suamimu?""Aku mau cerita di dalam, Bu."Ibuku menganggukkan kepalanya, melihatku dengan penuh iba."Bu, Mas Revan tidak pernah berubah, sudah tahun ke tiga dia tidak bekerja. Apa aku boleh minta cerai saja, Bu? Jujur ... aku lelah sekali. Tiap hari aku banting tulang, dia kerjaannya hanya tidur saja," keluhku.Ibuku menangis, mendengarkan ceritaku."Maafkan Ibu, Nak. Sekarang terserah kamu saja, apa yang merasa kamu baik, lakukanlah. Kenapa kamu tidak pernah cerita sama Ibu dan Bapak, kalau ternyata Revan masih belum bekerja?""Karena aku kira, Mas Revan akan benar-benar mencari kerja, sama seperti yang kalian kira. Tapi ternyata, tidak ada perubahan sama sekali.""Astaghfirullah ... lebih baik kalian berpisah saja, Rin. Sekarang Ibu dan Bapak pasti mendukungmu.""Aku mau mengajukan perceraian besok, Bu." Karena lebih cepat lebih baik menurutku."Baik. Besok di antar sama Abangmu saja, ya.""Iya, Bu." Aku begitu lega telah menceritakan semuanya pada ibu."Ya sudah, kamu istirahat dulu. Kamu habis pulang kerja kan?""Aku mau mandi, Bu. Badanku terasa begitu lengket.""Kebetulan, ada air panas. Pakai saja buat kamu mandi, sekarang sudah sore, nanti masuk angin kalau kamu mandi air dingin."Aku mengiyakan dengan anggukan, ibuku begitu baik dan perhatian sekali.Setelah mandi, pikiranku sedikit tenang, apalagi ada ibu di sini, dia selalu menguatkan hatiku.Tapi aku tidak melihat bapak dari tadi, mungkin bapak belum pulang dari pekerjaannya, ini sudah jam lima sore, sebentar lagi pasti pulang."Rin, mau makan sekarang apa nanti bareng?""Bareng aja, Bu. Sudah lama rasanya tidak makan bareng lagi," ucapku."Baiklah, kita tunggu Bapak pulang saja, ya."Bapak pulang, dugaanku benar. Jam lima sore bapak pasti pulang. Dia menggarap kebun miliknya, walaupun tidak terlalu besar, kebun itu adalah sumber penghasilan Ibu dan Bapakku. Mereka selalu menanam sayuran untuk dijual. Alhamdulillah, kebutuhan selalu Allah cukupi untuk mereka."Assalamualaikum, Bapak pulang!" Kata-kata itu tidak pernah berubah sejak dulu aku masih kecil, sampai sekarang aku sudah menikah. Aku tersenyum mendengarnya."Wa'alaikumussalam, Pak," ucapku dan Ibu berbarengan.Bapak masuk melalui pintu belakang."Lho, Nak. Kapan kamu ke sini?" tanya Bapak."Tadi, pulang kerja Pak," ucapku. Sebenarnya aku tak enak kalau kepulanganku ke rumah, hanya membawa masalah dari rumah tanggaku."Pak, mendingan mandi dulu gih, biar gak bau keringat. Nanti kita ngobrol lagi," ucap Ibu."Ya ... Bapak mandi dulu." Dengan pakaian yang kotor, Bapak berlalu ke kamar mandi.Aku dan Ibuku menonton TV, di ruang keluarga. Saat ini, aku merasa kembali ke masa lalu. Kalau tahu begini, aku tidak mau dewasa saja, tapi kita tidak bisa menghindari takdir dari Allah. Baik buruknya takdir, kita harus menerimanya."Handuk!" Bapak berteriak di dalam kamar mandi."Iya ..." teriak ibu, "Kebiasaan Bapakmu itu, kalau mandi pasti lupa bawa handuk!" Ibuku mengomel, sambil mengambil handuk yang diminta Bapak.Aku hanya tersenyum melihat tingkah mereka, bersyukur sekali rumah tangga Ibu dan Bapak harmonis sampai sekarang. Kapan aku akan seperti itu Ya Allah.**"Nak, kami mendukung apa pun keputusanmu. Bapak juga tidak rela kalau sampai putri Bapak tidak dinafkahi oleh suamimu. Suami macam apa itu? Aku saja sebagai Bapaknya mati-matian cari uang buat menghidupinya," ucap Bapak, setelah aku menceritakan semua tentang keadaan rumah tanggaku. Bapak marah sekali pada Mas Revan."Iya, Pak. Dulu kita sudah memberikan kesempatan pada Revan. Tapi ternyata, dia enggan berubah juga," timpa Ibuku, sambil meletakkan kopi hitam favorit Bapak, di atas meja."Lebih baik, segera urus perceraianmu dengan Revan, Nak!" ucap Bapak.Aku hanya mengangguk, tanda mengiyakan perintah Bapak."Kamu bawa surat nikahnya, kan?""Aku sudah bawa semuanya, Pak."Aku tidak lupa pada surat-surat itu, karena surat itu wajib aku bawa agar mempermudah jalanku untuk berpisah dengan Mas Revan. Kalau tidak aku bawa, bisa jadi Mas Revan akan menyembunyikannya dan mempersulit."Baiklah, itu buat persyaratan mengajukan cerai nanti."Aku baru teringat, status FB yang aku buat tempo hari. Saat itu juga aku buru-buru membuka aplikasi FB. Ternyata di sana sudah banyak yang berkomentar, teman-temanku juga ada yang komentar."Gak bakal laku, laki-laki kaya gitu mah!""Tampang aja yang bagus, tapi kere dan pemalas. Enggak banget deh!" "Ih, si Mbak ada-ada saja. Tapi bener juga si. Siapa tahu laku." "Jangan ngaco, Rin. Gitu-gitu juga suamimu, haha.""Beneran, Rin?" Itu beberapa komentar yang ada di statusku, dan masih banyak lagi. Aku gak tahu, ini dosa, apa enggak. Aku melakukan ini, karena aku begitu jenuh dan ingin menangis setiap melihat suamiku kerjanya tidur dan nongkrong.Seperti tidak ada beban, aku hanya cengengesan membaca satu persatu komentar teman-temanku.Astaghfirullah .... "Nak, belum tidur?" Tiba-tiba Ibuku menghampiriku ke dalam kamar. "Eh, Ibu. Belum ngantuk, Bu," ucapku."Ini, Ibu buatkan susu hangat buat kamu." Ibu meletakkan sebuah gelas yang berisi penuh dengan susu. "Terima kasih ya, Bu. Ibu
Hari ini, adalah hari di mana aku harus datang ke pengadilan agama memenuhi undangan sidang. Oke, aku siap berpisah dengan Rina. Apalagi keluarganya itu, mereka sama aja tidak sabar menungguku untuk mencari pekerjaan. Aku akan datang ditemani oleh Mbak Ratih. Mbak Ratih juga setuju kalau aku pisah sama Rina, malah tempo hari dia nyuruh aku pisah, dan akhirnya kejadian juga.Saat ini, aku dan Rina sudah berada di ruang sidang. Pokoknya semua berjalan lancar, aku gak peduli dia menjelekkan namaku di depan hakim, yang penting aku akan pisah sama dia. Dipikir-pikir, aku juga udah muak hidup sama dia.Setelah kami keluar dari ruangan, tiba-tiba Rina berteriak menuduh Mbak Ratih mengambil jam tangannya,"Heh, Mbak! itu jam tanganku kan?""Eh, jangan asal nuduh ya! ini jam tangan dibeliin suamiku, enak aja dibilang punyamu!" jawab Mbak Ratih."Oke, akan aku buktikan kalau itu punyaku!" ucapnya, sambil membuka paksa jam tangan yang sedang dipakai Mbak Ratih, dasar gak sopan."Tuh, lihat! Di
Sudah hampir satu bulan, aku berada di rumah Mbak Ratih. Bisa makan enak, santai-santai, main game, nonton TV. Ah pokoknya aku senang banget berada di sini. “Van, ini tugas buat kamu, ya!” Bang Rendi menghampiriku saat sedang menonton TV, lalu memberikan sebuah kertas yang berisi penuh dengan tulisan. “Apa ini, Bang?” Aku menerima sebuah kertas yang dia berikan. “Baca saja,” ucapnya datar. Tugas harian Revan, selama berada di rumah saya, Rendi. - Beres-beres rumah (Ngepel, nyuci baju, nyuci piring, nyapu, lap kaca, sikat kamar mandi dll) - Setrika baju, jemur baju, angkatin jemuran. Catatan: Berlaku setiap hari, jangan malas-malasan. Kalau tidak mau, silakan angkat kaki dari rumah ini. Demikian isi kertas yang diberikan Bang Rendi padaku. Astaga ... dia ini sebenarnya menganggap aku adik ipar, atau babu, sih? Gak habis pikir. “Benaran ini, Bang?” tanyaku. Aku menelan ludahku yang terasa amat berat di tenggorokan. “Apa ada tanda-tanda bercanda dengan diri saya?” Dia berkata
Sampai di rumah, aku semakin malas saja melihat keadaannya. Sebulan lebih ditinggalkan, rumput-rumput sudah memenuhi pekarangan rumah. Belum debu-debu yang ada di dalam dan luar rumah. Huh! Gara-gara Bang Rendi, dasar! Aku berbaring di atas sofa, perutku sudah kelaparan saja. Uang gak punya, beras juga gak ada di sini. Gimana ya, caranya aku mendapatkan uang. Aku berpikir sejenak. Dan ... Aha aku ada ide! Bukannya dari dulu ya, aku coba pinjam uang lewat aplikasi, syaratnya juga mudah cukup pakai foto KTP doang. Aku mulai mencari aplikasi pinjol di internet. Di sana banyak sekali aplikasi-aplikasi serupa yang sedang aku cari, dan aku memilih aplikasi yang berada paling atas. Ratingnya juga bagus. Langsung saja aku klik download. Tak lama kemudian, aplikasi sudah terpasang otomatis. Aku begitu bersemangat membuka aplikasi tersebut. Langsung saja kuajukan pinjaman senilai empat puluh juta rupiah, lalu mengisi syarat-syarat yang ada. Ting! Hanya menunggu beberapa menit, uang sudah m
Setelah menunggu berlalunya malam yang panjang, akhirnya aku bertemu dengan fajar. Aku begitu bersemangat pagi ini. Mulai dari mandi, memilih baju terbagus dan tidak lupa memakai parfum. Mungkin ini parfumnya si Rina ketinggalan, soalnya aku tidak pernah memakai parfum sebelumnya. Aku begitu penasaran ingin mengecek ponselku yang semalaman aku cas. Begitu kulihat, tidak ada pesan masuk dari Nina. Aku akan mencoba mengirimi dia pesan lagi.(Nin? Sudah siap?) Hah? Langsung centang biru.(Iya, deh aku siap bertemu. Kebetulan ini hari libur) "Yes! Yes! Yes!" Aku berteriak kegirangan setelah membaca balasan dari Nina. Huhuuu ... pasti dia mau balikan sama aku. Gak mungkin dia nolak, secara sekarang aku kan banyak duit, udah gitu tampan dari lahir. Tak henti-hentinya aku senyum-senyum sendiri sambil bernyanyi-nyanyi layaknya orang yang sedang kasmaran. Sekali lagi aku bercermin, memastikan kalau penampilanku sudah keren. Dompet berisi uang pinjol itu sudah aku masukkan ke dalam tas k
Mau ngapain dia, apa dia ngintilin aku sama Nina? Bagus deh! Biar aku panas-panasin sekalian dia."Sayang, pokoknya kamu mau apa pun, aku akan belikan. Silakan kamu pilih yang mana saja di mall ini, yang menurut kamu suka!" ucapku pada Nina, sengaja dengan nada yang sedikit keras."Beneran, sayang? Aku mau banget! Ya sudah sekarang kita makan aja dulu, nanti habis makan kamu temani aku belanja baju dan aksesoris lainnya." Nina begitu antusias, dia senang sekali ditraktir olehku.Aku melihat Rina ke belakang, tapi dia sudah tidak ada. Ck! Gagal deh manasin hati dia. Rupanya dia mampir ke stand ice cream, dia begitu banyak membelinya. Ah aku gak peduli, sekarang pokoknya aku harus nyenengin Nina.***"Spaghetti bolognese sama steak sudah siap, Kak," ucap seorang waiters sambil meletakkan makanan tersebut dengan hati-hati. "Terima kasih, Mbak," balasku sambil tersenyum ramah. "Sama-sama, selamat menikmati," ucapnya lagi, sambil berlalu meninggalkan kami berdua. "Apaan sih, kamu sok ra
Hujan begitu deras saat aku sudah sampai di halaman rumah. Buru-buru memasuki rumah, pasti akan banyak yang bocor, aku mengambil ember-ember yang berada di kamar mandi untuk menampung air yang menetes dari langit-langit rumah. "Yap! Beres deh, tinggal bersantai ria." Aku bergumam sendiri. Oh iya aku lupa. Aku harus chat Nina, dia sudah sampai apa belum ya.(yang, gimana kamu sudah sampai belum?)Dua centang biru, pesanku langsung dibacanya.(Sudah, sayang. Aku sudah sampai di rumah) (Baiklah, selamat istirahat sayangku) Baru sadar, kalau aku sekarang sudah menjadi duda, berasa masih ABG aja. Hahaha. Gak papa lah, duda-duda juga keren aku. Ting! Satu pesan baru masuk lagi.(Yang, boleh minta transfer gak?) Apa? Gak salah nih. Nina, baru aja aku traktir udah minta di transfer. Buat apa, coba? (Buat apa, yang?)(Ih, ayang. Emangnya aku gak boleh ya minta uang sama pacar aku sendiri?) (Iya, boleh sayang. Maksudnya berapa yang kamu minta?) (Gak banyak kok, cuma lima juta saja) H
Aku menyangkal prasangkaku yang buruk. Mana mungkin dan mustahil, Nina seperti itu. Dah mendingan aku pulang saja.Ting! Pesan baru masuk.Nina(Terima kasih, sayang)(Sama-sama, sayang) Balasan pesanku hanya dibacanya. Huh! Dasar cewek!Sudah lama aku tidak melihat status teman-temanku. Mataku fokus pada status Nina. Lima menit yang lalu, dia membuat status. Sebuah foto dirinya dan laki-laki berambut putih, namun masih terlihat gagah dengan jas berwarna abu-abu.My sugar daddy love. Caption yang Nina tulis di foto mereka. Membuat hatiku mendadak panas.Apa-apaan ini? Apa Nina selingkuh? Kurang ajar! Saat aku ingin men-screenshot, tiba-tiba statusnya sudah hilang."Dihapus! Argh, apa dia tahu kalau aku sudah melihatnya? Mungkin dia lupa privacy statusnya. Benar-benar kurang ajar si Nina!" Aku marah sekali pada Nina, aku merasa bodoh banget jadi laki-laki yang hanya dimanfaatin doang.Aku kebingungan, harus ngapain sekarang. Apa aku harus ke rumah Nina? Aku mencoba menelponnya, dan