Share

BAB 7 Gagal pamer uang pinjol

Sampai di rumah, aku semakin malas saja melihat keadaannya. Sebulan lebih ditinggalkan, rumput-rumput sudah memenuhi pekarangan rumah. Belum debu-debu yang ada di dalam dan luar rumah. Huh! Gara-gara Bang Rendi, dasar!

Aku berbaring di atas sofa, perutku sudah kelaparan saja. Uang gak punya, beras juga gak ada di sini. Gimana ya, caranya aku mendapatkan uang. Aku berpikir sejenak. Dan ... Aha aku ada ide! Bukannya dari dulu ya, aku coba pinjam uang lewat aplikasi, syaratnya juga mudah cukup pakai foto KTP doang.

Aku mulai mencari aplikasi pinjol di internet. Di sana banyak sekali aplikasi-aplikasi serupa yang sedang aku cari, dan aku memilih aplikasi yang berada paling atas. Ratingnya juga bagus. Langsung saja aku klik d******d. Tak lama kemudian, aplikasi sudah terpasang otomatis.

Aku begitu bersemangat membuka aplikasi tersebut. Langsung saja kuajukan pinjaman senilai empat puluh juta rupiah, lalu mengisi syarat-syarat yang ada.

Ting!

Hanya menunggu beberapa menit, uang sudah masuk ke dalam rekeningku. Rekening ini, dulu suka diisi oleh Rina dan dipakainya. Tapi, saat Rina pergi ke rumah orang tuanya, kartu rekening ini disimpannya di atas nakas.

“Uang sudah ada, saatnya aku tarik!” ujarku bersemangat.

Hari itu juga, aku mendatangi ATM terdekat. Dan uang pun sudah ada dalam genggaman. Hal yang pertama yang aku ingin lakukan adalah makan. Setelah kenyang makan di warteg, sepertinya aku harus isi bensin buat motorku. Sudah lama juga itu motor gak ada bensinnya.

Aku membeli satu liter bensin dan dimasukkan ke dalam plastik bening. Biar nanti aku isi di rumah.

Huh! Aku bahagia banget hari ini. Bisa makan enak, motorku sudah nyala saatnya aku membayar hutangku sama si Angga. Waduh, sudah lama juga itu hutang belum aku bayar! Ya sudah sekarang saja deh, sekalian pamer sama si Angga, kalau aku sudah punya banyak uang sekarang. Hahaha....

Cuma memakan waktu lima menit pakai motor, aku sudah berada di depan warung kopinya Angga. Kuparkirkan motorku di depan warungnya.

“Wuih, ke mana saja, nih? Baru nongol lagi?” Angga menyapaku saat aku turun dari sepeda motorku.

“Halah, gak usah kepo. Nih, gue bayar hutang gue yang tempo lalu. Entah kapan gue juga lupa, sebulan yang lalu mungkin,” ucapku, sembari meletakkan uang sepuluh ribu di tangannya Angga.

“Oke. Makasih Bro! Ngomong-ngomong, sekarang udah ada kerjaan, lu ya?” tanyanya, membuat hati ini sedikit tersinggung.

“Gak usah nanya pekerjaan gue deh. Yang penting sekarang gue punya banyak duit!” tukasku sombong.

“Dasar aneh, lu. Gue tanya baik-baik, jawabannya malah kayak gitu. Gue gak peduli, mau elu banyak duit, banyak hutang kek asal jangan ngutang ke gue. I don’t care!” Hei, si Angga belagu amat ucapannya.

“Dari dulu, elu emang belagu! Sok sok an ngomong bahasa inggris, kerjaan cuma tukang kopi. Hahaha....”

“Sini lu, biar gue jitak palalu pake gelas kaca!” Ucapanku barusan membuat si Angga marah, dia melayangkan gelas kaca di udara.

“Apa? Gak kena, kan?” ucapku memancing emosi Angga.

“Kurang ajar, lu! Paling lu habis ngepet. Kalau lu punya banyak duit,” balasnya, omongan si Angga memang gak bisa dijaga. Membuat aku emosi.

"Jangan asal nuduh ya, ini uang hasil jerih payah gue. Tapi bukan ngepet! Enak aja," timpalku.

"Haha, udahlah terserah lu. Pergi sono kalau udah gak ada urusan! Gedeg gue dengar ucapan lu terus." Si Angga kayaknya udah kesel banget. Biarin dah puas lu!

Aku menggaungkan motorku sekencang mungkin. Bodo amat biar si Angga kupingnya penuh dengan suara knalpot racing.

Plak!

Saat aku sedang asyik memainkan suara knalpot, tiba-tiba ada sandal jepit melayang ke wajahku. Sialan!

"Woi, Bang! Berisik amat lu!" Teriak seorang laki-laki yang sedang ngopi di sana.

"Mau gue lempar lagi pakai sepatu gue, nih?" timpal yang lainnya lagi, sembari membuka sepatunya.

"E-e, ampun-ampun, Bang," ucapku, sembari meletakkan dua tangan di dada.

Si Angga tertawa puas melihatku diomeli pelanggannya. Awas lu ya! Batinku, kesal.

"Udaaah pergi sono, Van. Sebelum ada yang nyiram lu pakai kopi panas. Hahaha!" teriak si Angga. Benar-benar membuatku emosi.

Aku mengacungkan jari tengah padanya sebelum berlalu pergi meninggalkan warung kopi.

"Apa lu? Gue gak takut sama elu. Hahaha...." Si Angga semakin berteriak, dan tawanya semakin kencang. Argh! gagal pamer deh!

Aku melajukan motorku dengan kencang saat meninggalkan warung kopi si Angga. Benar-benar kesal, deh.

Sesampainya di rumah, tiba-tiba aku terbesit ingin mempunyai kekasih lagi.

Hidupku merasa kesepian setelah bercerai dengan Rina satu bulan lalu.

"Apa aku harus mencari pacar?" gumamku, sambil menatap langit-langit rumah yang sudah penuh dengan gambar pulau-pulau karena gentengnya bocor.

"Ya, aku harus punya pacar. Uangku kan banyak ... haha," Aku tergelak menertawakan rencanaku sendiri.

Aku teringat sama mantanku dulu, waktu di kantor. Apa dia sudah menikah belum, ya? Aku belum menghapus nomornya, buru-buru aku cek apakah masih aktif atau tidak, karena sudah lima tahun silam.

Aku mulai mengetik sebuah nama di pencarian.

"Nina."

"Hah? masih aktif, beneran ini?" Aku begitu girang mengetahui nomor Nina mantanku, masih aktif.

Kulihat poto profilnya masih sendirian. Apa dia masih lajang ya?

Tak perlu berpikir panjang, saat ini aku harus kirim dia pesan basa-basi.

(Hai, Nin?)

Pesan terkirim.

Aku begitu deg-degan melihat pesanku masih centang satu. Lima detik kemudian berubah centang dua, aku begitu tambah grogi.

Setelah kutunggu, pesanku belum juga dibalasnya. Aku tahu ini kan lagi jam kantor, pasti Nina sedang bekerja di jam segini. Oke, aku tinggal tidur sebentar.

Ting!

Suara pesan masuk.

Baru saja aku ingin memejamkan mataku, ponselku berbunyi. Aku buru-buru mengeceknya, dan ternyata Nina membalas pesanku.

(Revan? Ada apa?)

Aku bingung, balas apa ya? Duh, grogi banget. Aku berpikir sambil mengetuk-ngetuk layar ponsel.

(Apa kabar, Nin? Masih kerja di kantor lama?)

(Baik Van. Masih dong!)

(Syukurlah. Ngomong-ngomong, kamu sudah nikah belum?)

Tanpa basa-basi, aku tanya saja pada intinya. Biar sekalian gugup ini bertambah parah.

(Ada angin darimana ini? Kok tiba-tiba nanya perihal pernikahan?)

(Gak ada, aku mau ngajak kamu balikan.)

(What? bukannya kamu sudah nikah?)

(Udah pisah, Nin.)

Pesanku sudah dibacanya tapi tak kunjung dibalas. Apa Nina menolak tawaranku untuk balikan lagi ya?

Atau mungkin, dia lagi mikir-mikir?

(Nin, balas dong!)

(Nin, kalau kamu tidak membalas pesan ini, kita bertemu di taman biasa kita nongkrong dulu. Oke!)

(Aku tunggu besok!)

Aku tahu, Nina pasti malu-malu tapi mau balikan sama aku. Pokoknya besok aku harus tampil kece biar Nina pangling dan terkesima sama penampilanku, terus dia klepek-klepek deh. Huhu!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status