Share

BAB 4 Keputusan cerai

Aku baru teringat, status F* yang aku buat tempo hari. Saat itu juga aku buru-buru membuka aplikasi F*. Ternyata di sana sudah banyak yang berkomentar, teman-temanku juga ada yang komentar.

"Gak bakal laku, laki-laki kaya gitu mah!"

"Tampang aja yang bagus, tapi kere dan pemalas. Enggak banget deh!"

"Ih, si Mbak ada-ada saja. Tapi bener juga si. Siapa tahu laku."

"Jangan ngaco, Rin. Gitu-gitu juga suamimu, haha."

"Beneran, Rin?"

Itu beberapa komentar yang ada di statusku, dan masih banyak lagi. Aku gak tahu, ini dosa, apa enggak. Aku melakukan ini, karena aku begitu jenuh dan ingin menangis setiap melihat suamiku kerjanya tidur dan nongkrong.

Seperti tidak ada beban, aku hanya cengengesan membaca satu persatu komentar teman-temanku.

Astaghfirullah ....

"Nak, belum tidur?" Tiba-tiba Ibuku menghampiriku ke dalam kamar.

"Eh, Ibu. Belum ngantuk, Bu," ucapku.

"Ini, Ibu buatkan susu hangat buat kamu." Ibu meletakkan sebuah gelas yang berisi penuh dengan susu.

"Terima kasih ya, Bu. Ibu memang wanita terbaik yang pernah ada," ucapku, sambil memeluknya.

Ibuku hanya mengangguk lalu tersenyum.

"Jangan tidur terlalu malam, besok harus berangkat kerja, kan."

"Aku sudah izin sama atasan, untuk tidak bekerja dulu satu hari. Kan aku mau ngurus perceraianku dengan Mas Revan, Bu."

"Oh ... iya, Ibu lupa. Ya sudah kamu minum susunya ya, jangan begadang. Ibu sudah ngantuk mau tidur." Ibu pergi menuju kamarnya.

**

"Bu, Bang Hanif belum aku kasih tahu soal masalahku ini," ucapku, membuka percakapan setelah kami beres sarapan.

"Kasih tahu dulu lewat telpon, Rin. Takutnya Abangmu itu kerja," kata Bapak.

"Iya, barusan aku sudah kirim chat sama dia. Tinggal nunggu dibalas," ucapku, sambil menunggu balasan dari Bang Hanif.

"Semoga sidang cerainya berjalan lancar, Nak."

Aku mengamini do'a ibuku.

"Assalamualaikum...." Bang Hanif datang.

"Wa'alaikumussalam...." Jarak rumah Bang Hanif dan rumah Ibu memang tidak jauh, hanya butuh waktu lima menit kalau memakai sepeda motor.

Dia juga sudah berkeluarga, tapi belum mempunyai anak.

"Fatimah tidak ikut, Nif?" tanya Ibu. Saat Bang Hanif masuk ke dalam rumah.

"Enggak, Bu. Dia lagi beres-beres rumah dulu katanya. Oh iya, ini kue buatan Fatimah. Dia titip buat Ibu sama Bapak, katanya." Bang Hanif menyodorkan kotak putih berukuran sedang.

"Sampaikan terima kasih pada istrimu, Nif," ucap Bapak.

Bang Hanif pun, mengangguk.

Alhamdulillah, aku ikut senang keluarga Bang Hanif begitu tentram.

"Rin, kamu sudah yakin dengan keputusan kamu?" tanya Bang Hanif, sebelumnya aku sudah chat dia panjang lebar, dan dia juga sudah tahu bagaimana Mas Revan selama ini.

Aku mengangguk yakin.

"Aku sudah capek, Bang. aku mau menyerah saja kali ini," kataku.

"Bapak dan Ibu, kali ini mendukung keputusan kamu, Rin. Pergilah semoga prosesnya lancar," ucap Bapak menimpali.

"Baiklah, Abang juga kasihan sama kamu, Dek. Lebih baik berpisah jika rumah tanggamu susah diperbaiki. Namanya sifat, kita tidak bisa merubah sifat orang kecuali atas kemauannya sendiri. Revan dari dulu masih seperti itu." tuturnya.

Kulihat Ibu dan Bapak mengangguk, tanda setuju dengan ucapan Bang Hanif.

"Baiklah, kita berangkat sekarang?" tanyanya.

"Iya. Sekarang, Bang."

Aku dan Bang Hanif pun, pergi memakai sepeda motor Bang Hanif. Jarak tempuh hanya memakan waktu satu jam ke pengadilan agama.

Berkas-berkas telah aku serahkan semuanya sebagai syarat perceraian.

***

Setelah tiga hari, surat panggilan dari pengadilan agama sudah datang, Dan aku berniat langsung menuju rumah Mas Revan, aku akan memberikan surat dari pengadilan sebagai undangan prosesi perceraian.

Hari ini, aku pergi bersama Ibu dan Bapak. Begitu sampai di rumah Mas Revan, rumah dalam keadaan kosong. Aku tahu, sekarang jam delapan pasti dia lagi nongkrong di warungnya Angga.

Dan benar saja, saat aku dan orang tuaku sampai di warung kopi Angga, ada Mas Revan sedang asyik dengan gadgetnya ditemani dengan segelas kopi.

Benar-benar tidak berubah, sifatnya itu sudah mendarah daging. Kurasa keputusanku sudah benar seratus persen.

"Mas," panggilku, Lalu dia menoleh ke arah kami bertiga. Ekspresi wajahnya begitu kaget, saat melihat ada Ibu dan Bapak di sini.

"Eh, i-iya, Rin. Kamu kemana saja, Rin?" tanyanya, salah tingkah. Namun, aku tidak menjawabnya. "Pak, Bu. Kalian sehat?" Mas Revan mencium tangan kedua orang tuaku dengan takzim, halah pencitraan doang.

"Revan, lebih baik kita ngobrol di rumahmu saja, apa tidak keberatan?" pinta Bapak.

"Iya, Pak. Mari kita ke rumah." Mas Revan mengantongi ponselnya, dan menghabiskan kopi yang sudah tinggal setengah gelas.

"Van, uangnya mana?" Angga sedikit berteriak saat Mas Revan berlalu begitu saja meninggalkan warung.

"Nanti gue ke sini lagi."

Angga mengacungkan jempolnya.

**

"Masuk. Pak, Bu." Mas Revan mempersilahkan masuk, saat kami sudah sampai di rumahnya.

"Revan, Bapak benar-benar geleng-geleng kepala melihat kamu. Pagi-pagi kamu sudah nongkrong di warung kopi, apa tidak ada kerjaan lagi selain nongkrong? kenapa kamu tidak berusaha mencari pekerjaan?" Tidak ada basa-basi, tiba-tiba Bapak langsung saja menegur Mas Revan, mungkin saking kesalnya. Apalagi aku, istrinya?

"Pak, Bu. Aku juga lagi cari pekerjaan, tapi kemarin lamaranku ditolak."

"Selama ini, kamu kasih makan apa anakku Rina, hah? atau jangan-jangan kamu yang mengandalkan hasil keringat anakku, iya?" tegas Bapak lagi.

"Sudahlah Pak, aku mau ke intinya saja," ucapku, aku tidak mau berbasa-basi lagi di sini. Karena Mas Revan bisanya hanya menjawab berkelit saja.

"Mas, ini surat panggilan dari pengadilan. Kuharap kamu datang." Aku meletakkan kertas berwarna putih itu di atas meja.

"Apa? kamu benar-benar ingin pisah denganku, Rin?" tanyanya, kaget.

"Iya."

"Baiklah, kalian memang keluarga tidak sabaran. Cari kerja itu susah. Lebih baik aku juga cerai deh sama kamu, Rin. Aku juga sudah muak sama kamu yang tiap hari kerjaannya marah-marah terus!" cibirnya.

"Baguslah, kalau begitu. Dengan itu, proses perceraian kita akan berjalan dengan lancar," ucapku, senang.

"Ya sudah, sebaiknya kalian pergi!" Dengan marah, tiba-tiba Mas Revan mengusir kami di sini. Aku tahu, pasti sebenarnya dia gak mau cerai, makannya bersikap seperti itu.

Ibu dan Bapak tak menyangka, Mas Revan mengusir kami. Mereka tidak banyak bicara, langsung saja angkat kaki dari rumah Mas Revan.

"Ayo, Rin. Kita pergi. Kami juga tidak mau lama-lama berada di sini!" Ibu mengomel, sambil melihat sinis pada Mas Revan.

**

"Benar-benar ya, si Revan itu. Masak kita disebut keluarga gak sabaran. Emang agak lain tu laki!" Sudah sampai rumah, Ibuku masih saja mengomel.

"Orang kayak gitu gak usah banyak diladeni. Biarkan saja, Bu." ucap Bapak, "Yang terpenting, proses perceraian lancar, udah itu aja. Mau dia ngatain apa, tidak usah didengar," ucap Bapak lagi.

Akhirnya aku akan bebas. Wanita yang mana, yang mau hidup berdampingan dengan laki-laki yang pemalas. Apalagi dia tidak mau merubah sifat buruknya itu, benar-benar capek jiwa dan raga. Lebih baik berpisah daripada menambah dosa.

Udah suami pemalas, punya Kakak ipar super nyebelin, punya adik pemalas bukannya ditegur dan dinasehati, malah selalu dibela-bela. Benar kata Ibuku, agak lain emang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status