Share

Nasi Sudah Menjadi Bubur

“Nayya, mari kita bicarakan dengan ayah dan ibu. Tolong jangan begini, Nay. Percayalah, ini hanya salah paham. Aku akan menjelaskan semuanya.” Rafan masih terlihat berusaha. Walaupun ini sudah yang ke tiga kalinya ia membujuk sang istri agar mau keluar dari kamar.

Sejak menemui ayah dan ibunya subuh tadi, Nayya belum juga keluar dari kamarnya. Ia mengunci rapat pintu. Mengurung diri. 

“Apanya yang salah paham? Mau ngasih penjelasan kayak gimana lagi? Jelas-jelas dia yang bilang sendiri kalau pernah nikah sama wanita lain. Udah gitu, punya anak dari wanita itu lagi,” rutuk Nayya pada diri sendiri. “Siapa juga yang mau nikah sama laki-laki yang punya anak?”

Nayya tidak pernah membayangkan sebelumnya. Bagaimana komentar orang-orang mengenai dirinya yang dipersunting oleh duda. Ia meratapi nasibnya. Meringkuk di atas kasur empuknya.

“Nayya sayang, ibu sudah masak nasi goreng pete kesukaanmu. Ayo turun! Kita sarapan sama-sama,” bujuk rayu seorang ibu terhadap putrinya. Bergantian dengan Rafan. Rohana berharap ini akan berhasil. 

Nayya bangkit. Ia terngiang-ngiang aroma petai. Ia bangkit dan hendak menarik engsel pintu. Ah tidak, wanita itu akhirnya menyadari. Ia sedang marah kepada semua orang yang tinggal di rumahnya. 

“Betapa pintarnya ibu mau mengelabuiku,” ujarnya pelan. Kembali ke ranjang. 

“Yang benar saja? Cara ini tidak berhasil,” keluh Rohana mulai menuruni anak tangga.

 

“Bagaimana, Bu? Nayya mau mendengarkanmu?” tanya Sahid penuh harap.

Rohana menggeleng. Beralih pandangan kepada sang menantu. Mereka duduk di ruang makan untuk menikmati sarapan.

“Sebenarnya apa yang Nak Rafan katakan kepada Nayya?” selidik Rohana. Menatap pada sang menantu yang duduk di hadapannya persis.

Rafan urung menyuapkan sendok pertamanya ke dalam mulut. Ia sedang berusaha merangkai kata agar tidak salah jawab.  

 

“Saya kira Nayya sudah tahu mengenai status saya yang bukan lagi perjaka. Saat mengungkit sedikit hal itu, amarahnya langsung naik.” Rafan buru-buru memasukkan sendok berisi nasi goreng buatan ibu mertuanya. Sebenarnya nasi gorengnya enak. Sayang agak bau petai. Rafan tidak pernah memakan makanan beraroma bau itu sebelumnya. Ia meminggirkan potongan-potongan petai itu di tepi piring.

“Ini salah kami. Seharusnya dari awal kami berkata jujur pada Nayya.” Ucapan Sahid terdengar penuh penyesalan.

“Walau begitu, kita tidak sepenuhnya salah,” sahut Rohana tiba-tiba. Ia mengambil telur ceplok di atas piring. “Kita hanya berusaha memberikan yang terbaik sebagai orang tua.” Rohana sudah terlalu lelah dengan banyak lamaran yang ditolak oleh sang putri selama ini. Menurut ia dan Sahid, Rafan adalah laki-laki yang paling cocok untuk Nayya.

“Anak itu, kalau sudah sakit hati bisa lama sembuhnya,” ungkap Sahid.

“Benarkah?” tanya Rafan penasaran.

“Jangan dikira Nayya mirip denganmu. Sifatnya menurun dariku,” sela Rohana lagi.

 “Nak Rafan tenang saja, marahnya Nayya tidak lama. Tidak seperti ayahnya.”

Sahid sudah memelototi istrinya yang bicara sembarangan di depan sang menantu. Akan tetapi, kalau dipikir-pikir betul juga. Sahid kalau marah bisa sampai berminggu-minggu. 

Usai makan pagi, Rafan mencoba kembali mengetuk pintu kamar. Senyap. Tidak ada tanda-tanda sang istri mau memberikan pintu untuknya. Sementara itu, kedua mertuanya di bawah sedang bersiap-siap. Mereka hendak bergegas membuka toko kelontong. Jaraknya hanya 300 meter dari rumah.

Sepuluh menit berlalu. Rafan harus pergi untuk mengikuti acara majelis ta’lim di Masjid Raya Bogor. Ia menuju lantai bawah. Di ruang makan, sudah tidak ada siapa pun. Dua mertuanya telah pergi. Lelaki bertubuh tinggi itu memasuki kamar tamu. Kamar yang sempat ditinggalinya sebentar sebelum sah menjadi suami Nayya.

Rafan membuka pintu lemari. “Syukurlah pakaianku masih ada.” 

Bergegas ia berganti pakaian. Meluncur ke Bogor meninggalkan rumah.

Nayya melihat cahaya matahari yang hangat menerobos lubang ventilasi. Dengan rasa malas, ia membuka tirai dan kaca jendela.

“Hah? Apa?” Buru-buru Nayya bersembunyi di balik tirai. Ia mengintip diam-diam suaminya yang berjalan cepat keluar dari gerbang rumahnya.

“Mau ke mana dia?” gumamnya.

Tiba-tiba Nayya teringat sesuatu. “Astagfirullah, Mas Rafan pasti melupakan sesuatu.”

Benar saja. Nayya menemukan ponsel suaminya di atas nakas. Kemudian membuka laci dan ditemukannya sebuah kunci mobil dan buku agenda kecil milik sang suami. Ada rasa bersalah yang sekarang menyelimuti hati Nayya. 

“Ah, enggak boleh kayak gini. Ngapain harus kasihan sama dia.” Nayya hampir lupa kalau sedang marah pada Raffan.

Sebelum menutup laci, Nayya penasaran dengan buku kecil hitam yang mencuri perhatiannya. Ia mengambilnya. Membuka halamannya secara perlahan. Isi buku mungil itu adalah jadwal kegiatan yang harus ditunaikan oleh sang suami.

22 Feb: Hari pernikahan.

02 Mar: Majelis Ta’lim Bogor.

06 Mar: Kunjungan bisnis.

08 Mar: Bawa istri ke rumah ortu.

09 Mar: Dakwah di ponpes.

Nayya menghela napas. Ia membolak-balik buku catatan suaminya dengan sebal. Ternyata sang suami sudah memiliki jadwal padat sampai pertengahan Juni nanti.

“Enggak habis pikir deh. Abis nikah enggak ada jadwal spesial buat bulan madu,” ucapnya kesal. 

“Ngapain juga mikirin bulan madu. Huh!” Nayya mengetuk kepalanya sendiri menggunakan buku kecil di tangannya. 

Ponsel milik sang suami terus saja bergetar. Nayya tidak berminat untuk menjamahnya. 

“Peduli amat. Mau presiden yang telepon juga enggak bakal gue angkat,” cetusnya.

Nayya meraih ponsel miliknya. Sepi. Tidak ada pesan atau telepon. Ia tidak sengaja melihat tanggal yang tertera di layar utama HP-nya. Tanggal dua. Kalau melihat jadwal di buku agenda tadi. Berarti sang suami hendak mengikuti kajian di Bogor. 

“Dia ke Bogor? Tanpa mobil dan HP?” Nayya terpikirkan sesuatu. Barangkali ada benda penting lain yang suaminya juga tidak bawa.

Nayya sibuk ke sana kemari. Membuka-buka semua laci lemari. Namun, tak tampak benda yang ia cari.  Ia juga enggeledah lemari pakaian. Dan benar saja. Ia menemukan dompet kulit suaminya yang berwarna cokelat. Benda berbentuk kotak itu berada di bawah tumpukan baju paling atas. Semua kartu tanda pengenalnya ada di dalamnya. Beberapa pecahan uang lima puluh ribuan juga tersusun rapi. 

“Yang benar saja? Kalau ada apa-apa di jalan gimana?” Nayya mulai khawatir.

“Ah, sial. Kenapa harus mikirin dia? Dia aja enggak mikirin perasaanku.”  Wanita itu terus bermonolog sendiri. Berusaha untuk tidak mencemaskannya.

Mengurung diri di dalam kamar itu tidak baik. Tentu saja. Rasanya membosankan. Belum lagi perut yang mulai lapar. Bukankah sang ibu tadi pagi menawarkan nasi goreng kepadanya? Aha!

Tanpa pikir panjang, ia menuruni anak tangga. Membuka tudung saji di atas meja makan.

“Wah masih banyak ternyata.” Kedua matanya berbinar bak menemukan sebongkah berlian.

Nayya menyendokkan nasi ke dalam piring.

Satu suap.

Dua suap.

Tiga suap. 

Rasanya semakin enak. Sampai-sampai tidak tahu lagi sudah berapa suapan yang masuk ke dalam mulutnya. Ia pun tak ragu-ragu untuk mengisi lagi piringnya yang mulai kosong.

Nayya mengelus-elus perutnya. Menepuknya beberapa kali. Kekenyangan. “Ah, enak banget masakan ibu.”

Suara pintu gerbang terdengar. Pasti itu ayah atau ibu pulang, pikir Nayya. Secepat kilat wanita itu membawa piring kotornya ke wastafel. Ia mencucinya dengan hati-hati. Setelahnya, kakinya yang lincah lari menaiki anak tangga. 

Nayya berhasil masuk ke dalam kamarnya kembali. Dengan napas ngos-ngosan pastinya. 

Rohana mengernyitkan dahi. Membetulkan tudung saji yang tak tertutup rapat. Ia curiga. Ada tikus nyasar yang menyusup ke dalamnya. Dibukanya tudung saji tersebut. Tidak ada tikus. Namun, nasi goreng yang tadi masih tersisa banyak sekarang berkurang. Rohana pun menyeringai. 

“Dasar anak nakal! Rupanya putriku kelaparan. Perut keroncongan bisa mengalahkan rasa gengsi. Ah, dia memang mirip denganku.” Ibu beranak tunggal itu senyum-senyum sendiri. Mengelap butiran-butiran nasi goreng yang tercecer di meja kaca.

Keyakinannya bertambah ketika ia menemukan piring yang masih basah di samping wastafel.

“Syukurlah, putriku baik-baik saja. Tadinya aku pulang cepat karena mengkhawatirkannya.” Kebiasaan Rohana yang suka bermonolog ini menurun pada sang putri.

Wanita berusia kepala empat itu dengan terampil menata sayur-sayuran ke dalam rak kulkas. Bahan untuk memasak nanti siang. Ia membelinya dari tukang sayur langganan. 

“Kalau begitu, aku bisa kembali ke toko dengan tenang.” 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status