Share

Pesona Ustaz Gundul
Pesona Ustaz Gundul
Penulis: Ais Aisih

Kenyataannya Adalah ....

“Ustaz sialan!”

Lagi, selembar tisu bekas mengeringkan air mata ia jatuhkan ke lantai. Sudah hampir satu kotak dihabiskan percuma untuk air matanya yang tampak sia-sia. 

“Nay … bukain pintu! Ini gue Gina.” 

Suara ketukan pintu yang berkali-kali itu telah diabaikannya selama berjam-jam. Ayah, ibu dan suaminya bergiliran merayu dirinya untuk keluar. Namun, usaha mereka dipatahkan. Pintu tetap terkunci. Nayya tetap meratap di dalam kamar.

Tidak kali ini. Usai mendengar suara Gina, wanita muda itu berubah pikiran. Ia bangkit dengan langkah gontai mendekat ke arah pintu. Ditariknya gerendel pintu. Pintu terbuka lebar.

“Kenapa …?” Gina tampak kaget.

“Enggak usah banyak bicara. Ayo masuk!” Nayya menarik tangan Gina. Mengunci kembali pintu.

“Apa gue ke sininya besok lagi aja? Kayaknya kondisi hati lo lagi enggak baik.” Gina serba salah. Ia tidak tahu apa-apa. Akan tetapi, mata Nayya—sahabat karibnya terlihat begitu sembab. Ia menatap tisu yang berserakan di lantai.

“Gue butuh lo! Jangan ke mana-mana!” larang Nayya.

“Ok. Lo ada masalah apa sebenarnya, Nay?” 

Nayya menarik napas. Ia mulai terbata-bata untuk bercerita. “Harusnya gue ….”

Nayya menangis lagi. Gina bingung. Sebagai sahabat yang baik, ia mencoba menenangkan Nayya. Mengelus bahunya pelan-pelan. Seperti adegan film yang sering ia tonton. Biasanya sentuhan seperti ini bisa membuat kondisi hati orang yang bersedih membaik. Ternyata tidak sia-sia ia suka nonton TV. Banyak hal yang bisa Gina pelajari. Dan detik ini juga ia praktekkan.

“Gue harusnya bahagia ‘kan, Gin? Tapi kenapa rasanya malah sakit banget. Gue kecewa sama suami sendiri.” Nayya sesenggukan.“Orang itu pembohong! Gue benci! Ustaz bokis.”

“Bohong apa?” Rasa penarasaran Gina tak terbendung lagi.

“Gue nikah sama duda, Gin.” Tangis Nayya semakin menjadi-jadi. 

Gina terperanjat. Ia merasa shock. Namun, wajahnya justru berekspresi lucu. Antara menahan tawa dan iba terhadap sang sahabat. 

“Lo serius? Tahu dari mana? Emang lo beneran udah cari tahu?” tanya Gina panjang.

Nayya mengangguk-anggukan kepala. Rafan sendiri yang bilang kalau ia sudah pernah menikah dan punya anak. Wanita itu kembali menarik lembaran tisu yang tinggal beberapa lembar. 

“Parahnya lagi, bokap sama nyokap gue juga nyembunyiin ini dari gue.”

“Hah?!"

***

Kejadiannya waktu masih pagi, sebelum subuh. Saat itu Nayya sedang mengeringkan rambut menggunakan handuk di kepala. Ia baru selesai mandi besar setelah seminggu datang bulan. 

Dengan wajah berseri-seri, Rafan tersenyum di atas ranjang. Ia sudah menunggu dari lima menit yang lalu untuk bergantian ke kamar mandi. “Kamu sudah selesai haid?”

“Ya.” 

Rafan menengok ke arah jam dinding. Masih ada satu jam menjelang azan subuh. "Seharusnya aku salat sunah sekarang, bukan?”

“Ya, benar. Biasanya Mas Rafan selalu melakukannya.” Tangan Nayya masih sibuk dengan handuk dan rambutnya. 

“Kemarilah!” titah Rafan 

Nayya menurut. Ia duduk di samping suaminya.

“Kalau bersedia, aku ingin menawarkan pahala untukmu.” Rafan tersenyum. 

Jantung Nayya berdegup cepat. Senyuman suaminya terlihat begitu menawan. Wajar, kalau orang-orang menjuluki “gunawan”. Yang berarti, biarpun kepalanya gundul tapi wajah dan senyumnya begitu menawan. Energi positif yang dipancarkan kedua netra Rafan menyiratkan sesuatu.

“Aku ingin pagi ini menggantikan malam pertama kita yang sempat tertunda.”  Rafan meraih kedua tangan Nayya. Sampai-sampai, handuk di kepala jatuh ke lantai. Ia biarkan begitu saja.

Lima belas menit, bukan waktu yang lama untuk berbagi cinta di pagi hari. Nayya terlihat masih malu-malu usai melakukannya. Ia mengenakan kembali pakaiannya. 

“Terima kasih,” ucap Rafan tulus.

“Itu sudah menjadi kewajibanku, Mas,” jawab Nayya dengan senyum malunya.”

“Setelah sekian lama, akhirnya aku bisa merasakan hal ini lagi.” Dua tangan Rafan terlipat di belakang kepala. Dua bola matanya mengawasi langit-langit dengan sejuta kebahagiaan.

“Lagi? Apa maksudnya lagi?” batin Nayya. Wajah yang tadi terlihat senang berganti muram.

“Mas!” 

“Ya?” 

“Apa yang kamu katakan tadi?” Mata Nayya berkaca-kaca. Membuat Rafan tak mengerti. Bukannya terlihat senang, mimik Nayya menyiratkan kesedihan.

“Memangnya apa yang sudah kukatakan?” Rafan bingung. Mencoba mengingat-ingat. Hal apa yang baru saja ia lontarkan dari mulutnya. Sehingga permaisurinya seperti terluka. 

“Mas bilang bisa merasakan hal yang sama lagi. Mas Rafan sudah pernah tidur dengan wanita lain?” Dada Nayya mulai terasa sesak. Kepalanya dipenuhi kecurigaan.

“Astagfirullah.” 

“Jangan coba mengelak! Jelaskan sekarang padaku!” Suara Nayya berubah lantang. Ia tidak akan bisa terima kalau itu benar terjadi.

“Apa kamu sungguh tidak mengetahuinya? Kalau aku pernah menikah dan memiliki seorang putri?”

“Apa?”

Hati Nayya seketika terkoyak. Kristal cair meleleh dari sudut matanya. 

“Apa orang tuamu tidak memberitahumu?”

Nayya menggeleng. Perasaannya hancur.

“Jadi, aku menikah dengan seorang duda? Dan parahnya lagi, orang tuaku mengetahui semuanya.” Nayya yang dalam posisi berdiri, seperti hampir roboh raganya.

“Tenangkan dirimu. Duduklah! Akan kujelaskan pelan-pelan,” bujuk Rafan. Ia mencoba menuntun tangan istrinya.

“Cukup!” Nayya menampik tangan Rafan. Ia pergi ke kamar mandi. Menutup pintu keras-keras.

Rafan mengembungkan pipi dan membuang napas melalui mulut. Ia baru saja membuat kesalahan fatal. Kesalahan yang tidak ia sadari dari awal.

Entah itu adalah sebuah kesalahan atau takdir yang tak terduga bagi Nayya. Perasaannya terlalu kecewa saat ini. Ia frustrasi. Hanya mampu menggerung di kamar mandi sebagai luapan amarahnya yang bisa dilakukannnya sekarang.

“Nay, bolehkah aku masuk? Aku juga mau mandi. Sudah hampir subuh. Aku harus ke—” Rafan kaget ketika pintu terbuka.

Di balik pintu, Nayya berdiri dengan lilitan handuk kecil yang menutupi kepalanya. 

“Aku mau lewat, jangan sampai Mas Rafan menyentuhku. Aku sudah berwudu.”

Rafan menepi ke dinding. Membiarkan sang istri melewatinya. Ia pikir akan memberi penjelasan nanti saja. sekarang ia harus buru-buru mengejar waktu agar bisa salat Subuh di masjid.

Usai melaksanakan salat Subuh, Nayya ke lantai bawah. Masih mengenakan mukena. Ia menunggu sejenak orang tuanya yang masih zikir di musala kecil yang berada di dalam rumahnya. 

“Bu, Yah. Nayya mau bicara, kalau kalian sudah selesai.” Karena tidak sabar, Nayya menyusup ke musala. 

“Ya, kami sudah selesai. Apa tidak terlalu pagi untuk membicarakan sesuatu?” ujar Sahid—ayah Nayya.

“Tumben sekali. Sepertinya ada hal yang amat serius,” sambung Rohana. 

“Pagi ini aku dikecewakan oleh orang-orang yang kusayangi,” ungkap Nayya. Buliran Kristal sudah terpancar di dua matanya. Tinggal menunggu untuk terjun bebas.

Sahid dan Rohana saling bersitatap. Sebagai orang tua Nayya, mereka belum pernah melihat putrinya meneteskan air mata sepagi ini. Keduanya menyadari, ada kejadian yang tidak beres tengah dialami oleh putri tunggal mereka. Atau jangan-jangan putrinya bertengkar dengan sang menantu?

“Apakah aku selama ini kurang patuh dan hormat terhadap Ayah?” Kedua mata Nayya perih menatap dua netra ayahnya. 

“Juga Ibu?” Giliran Rohana mendapat tatapan sendu putrinya.

“Sayang, sebenarnya apa yang terjadi?” tanya Rohana. 

Nayya berkali-kali menghapus air matanya. “Ayah dan Ibu sudah tahu status Mas Rafan bukan?”

Rohana tampak terkejut. Ia menutupi mulutnya yang melongo. 

“Maksudmu?” tanya Sahid.

Rohana menyikut lengan suaminya. 

“Kenapa orang yang paling aku hormati dan sayangi selama ini. Justru tega menyembunyikan hal besar dariku?” Sejenak, Nayya mengatur napasnya. “Kalian menikahkan aku dengan seorang duda. Hal yang aku tentang selama ini. Seharusnya Ayah dan Ibu bisa mengerti keinginanku. Tapi sudahlah, mungkin inilah hukuman untuk menjadi anak penurut.”

“Nak, tenangkan dirimu dulu. Mari kita bicarakan baik-baik!” imbau Sahid bijak pada putri tercintanya.

Nayya menggeleng. Tak kuasa dengan keadaan. “Bukankah semua sudah jelas?” 

Nayya lari ke kemarnya di lantai dua. Sang ibu hendak mengejar, tetapi dihalangi oleh suaminya.

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status