“Aku lega mendengarnya. Kamu sudah tidak marah lagi pada kami,” ujar Sahid. Meminum air putih dari gelas.
Suara sendok dan piring kosong beradu. Nayya memainkannya seperti anak kecil yang meminta makan. Terdengar gaduh. Sendok sayur di tangan Rohana sampai terlepas ke mangkuk. Dibuat kaget oleh ulah sang putri sendiri.
“Aduh, kamu ini rusuh saja jadi orang.” Rohana menuang sayur asem ke dalam piringnya.
Nayya memandang ibunya dengan tatapan tidak biasa. Kedua matanya terlihat tajam dan tidak berkedip. Rohana jadi urung untuk makan.
“Kenapa?” Maksud pertanyaan Rohana adalah mengapa putrinya menatapnya seperti itu. Pasti ada hal yang tidak beres.
“Jadi, terkait kebohongan yang sudah kalian lakukan, siapa yang mau bertanggung jawab?”cerocos Nayya
.“Nayya, sebaiknya kita makan dulu.” Rafan memberi nasihat.“Gimana aku bisa makan dengan enak? Sementara hatiku enggak tenang, Mas. Emangnya enak apa dibohongi.” Nayya memberengut.
Rohana dan Sahid saling bersi tatap.
“Nak, maafkan kami,” ucap Sahid memberanikan diri. “Kami mengaku salah. Tidak seharusnya merahasiakan hal yang tidak kamu sukai. Tapi justru karena itulah, kami tidak berani jujur.”“Ibu dan Ayah tahu kalau kamu tidak berkenan menikah dengan seorang duda. Kamu pernah ngajuin syarat semacam itu. Maka dari itu, kita merahasiakannya. Tapi bukan disimpan untuk waktu yang lama. Kami akan memberitahu suatu saat nanti. Menunggu waktu yang tepat. Namun, tampaknya kamu sudah duluan tahu. Maaf.” Giliran Rohana mengakui kesalahan.
Nayya meloloskan napasnya melalui mulut. Nasi, sayur asem, tempe goreng dan sambal terasi yang baru memenuhi piringnya diaduk-aduk tak jelas. Lidahnya terasa hambar untuk bersentuhan dengan makanan.
“Aku jadi enggak berselera buat makan. Kayaknya aku butuh waktu buat merenungi semuanya.” Nayya bangkit dengan lesu. Membawa tubuhnya untuk pergi ke lantai atas.
“Maaf, Nak Rafan, suasananya jadi tidak enak begini,” ungkap Sahid.
“Tidak apa-apa, Yah. Lagi pula, saya yang salah. Seharusnya menjadi tugas saya dari awal untuk memberitahu Nayya. Saya akan bicara pada Nayya pelan-pelan nanti.” Rafan menanggapi.
“Sudah. Tidak usah diperpanjang. Aku paling tahu karakter Nayya. Dia pasti sudah memaafkan. Hanya sikapnya saja yang suka gengsi. Ayo, Nak Rafan, dihabiskan makannya!” imbau Rohana.
Rafan mengangguk sopan.
Menantu idaman. Dua kata yang selalu dielu-elukan Rohana dan suaminya. Bagaimana tidak? Selain wajahnya ganteng, ia begitu ringan tangan membantu pekerjaan rumah. Seperti saat ini. Rafan membantu mertuanya mencuci piring kotor bekas makan. Air keran melunturkan busa-busa yang menempel pada piring.“Ibu bisa melakukannya sendiri, Nak. Sebaiknya kamu beristirahat saja.”
“Saya senang melakukannya, Bu. Lagi pula, sejak kecil sudah terbiasa membantu pekerjaan ummi di rumah.” Rafan mengembangkan senyum.
“Abah dan ummi kamu pasti sukses mendidik putra-putranya.” Rohana tersenyum penuh penghargaan.
“Ibu bikin susu buat Nayya. Biasanya kalau malas makan, dia minum susu. Bawalah ke atas untuk istrimu!” Gelas di tangannya berpindah ke tangan menantu laki-lakinya.
“Baik, Bu.”Selangkah demi selangkah, Rafan sudah melewati semua anak tangga berwarna cokelat. Ia berdiri di depan pintu dan mengetuknya perlahan.
“Minumlah susu ini, Nay! Perutmu butuh asupan.” Rafan menyerahkan gelas berisi susu vanila kepada sang istri.
Dengan bibir tertekuk, Nayya menerimanya. Meminum sedikit demi sedikit. Masih sisa setengahnya, ia letakkan di atas nakas.
“Kenapa cemberut terus, Nay?”
“Mas?”“Ya?”
“Kenapa sih, manggilnya Nay, Nay, Nay terus? Kita kan sepasang suami istri.” Cemberutnya semakin parah.
Alih-alih merasa bersalah, Rafan tergelak.
“Kenapa malah ketawa? Kalau manggil nama ‘kan nggak ada bedanya sama kayak aku manggil nama Gina.”
“Terus kamu mau dipanggil apa?”
“Pokoknya mau yang romantis,” kata Nayya sedikit malu-malu.
“Iya, Sayang.” Masih terasa kaku di lidah sang ustaz.
“Hah? Apa? Aku enggak denger.”
Rafan menarik hidung Nayya. “Sayangku.”
Tanpa aba-aba, wanita itu langsung memeluk suaminya. “Makasih.”
“Makasih apa?”
“Sayang.”
Rafan mengulum senyum sembari menggelengkan kepala. Tingkah sang istri selalu menggemaskan.
“Sayang, aku ada jadwal perjalanan bisnis selama tiga hari. Apa kamu mau ikut?” tanya Rafan.
Nayya manyun lagi. “Kamu ini gimana sih, Mas. Kita ‘kan belum lama nikah. Kamu malah mau pergi. Lagian kalau aku ikut pasti ditinggal sendirian di hotel ‘kan?”
“Iya, makanya ini kunjungannya yang deket-deket dulu aja. Aku usahakan biar bisa pulang lebih cepet. Insyaa Allah. Kalau ngajak kamu ke tempat kerja, takut nanti bosan di sana. Tapi spesial, malamnya buat kamu.” Rafan berusaha merayu.
Nayya menggeleng. Membayangkan kalau suaminya pulang kerja bukannya bermesraan, malah ditinggal tidur karena capek.
“Oh, jadi enggak mau ikut?”
“Maunya kalau enggak ada acara kerja. Pengen full sama-sama.” Wajah Nayya berubah sendu.
“Ok. Kalau enggak ada halangan kita pergi sama-sama setelah aku pulang dari Bandung.”
“Oh, jadi ke Bandung?”
Rafan mengangguk. “Enggak apa-apa ‘kan ditinggal beberapa hari?”
“Ya udah. Tapi nanti kalau udah pulang, kita pergi ke tempat yang pengen aku kunjungi ya?”
“Iya, Sayang.”
“Hmmm.” Desah napas panjang terdengar dari mulut Nayya.
Rafan membelai anak rambut Nayya lembut. Wanita itu merinding diperlakukan demikian. Bulu kuduknya pada berdiri. Ia menelan ludah. Apa yang harus dilakukannya sekarang?
Rafan tertawa melihat istrinya mematung. Ditambah lagi, terlihat bulu-bulu halus di tangannya berdiri. Wanita itu pasti sedang menahan geli.
“Kamu sungguh enggak mau berubah pikiran? Tiga hari itu enggak sebentar loh? Rasanya kayak tiga tahun,” goda sang ustaz.
“Ya udah. Enggak usah pergi aja kalau gitu.” Nayya merajuk. Menyandarkan kepala di dada sang suami.
Rafan meraih tangan Nayya. Menggenggamnya erta-erat. Mengecup pucuk kepala wanita yang dicitainya itu. Sebenarnya ia merasa bersalah harus meninggalkan sang istri. Status pernikahan mereka masih sangat baru. Namun, Rafan tidak bisa mengubah jadwal yang sudah tersusun rapi.
“Aku kemarin khawatir banget sama kamu loh, Mas. Aku bingung, mau menghubungimu ke mana. Aku ngerasa bersalah banget. A-aku takut kalau sampai terjadi apa-apa sama kamu.” Nayya berucap sedih.
“Sssttt! Enggak usah dibahas lagi, ya. Yang terpenting sekarang aku baik-baik aja. Kamu enggak perlu ngerasa bersalah terus. Aku bisa ngerti kok.” Untuk ke sekian kalinya. Rafan mencium kening Nayya.
“Kamu ‘kan bisa pinjam HP temen buat telepon ke rumah kemaren, Mas.” Nayya masih saja merajuk.
Sejenak, Rafan terbungkam. “Aku sudah mencoba menghubungi berkali-kali. Pakai HP temen. Sudah kirim pesan juga. Tapi sampai aku kembali, semua pesan belum terbaca. Ujung-ujungnya, aku yang kirim pesan. Aku juga yang baca isi pesanku sendiri.
“Tunggu, maksud Mas Rafan menghubungi ke nomor yang mana, ya?” cecar Nayya.
“Ke nomor HP-ku sendiri.”
“Pantesan aja!”
“Memang kenapa? Aku ‘kan enggak hafal nomor kamu. Nomor ayah sama ibu juga belum punya. Aku pikir, karena HP-ku ikut terkurung sama kamu. Jadi, aku berusaha buat ngirim kabar ke HP aku sendiri. Harapannya, kamu mau angkat teleponku,” terang Rafan.
“Jadi, kemarin itu Mas Rafan? Aku enggak tahu. Pantesan HP kamu bunyi terus. Ya udah. Mulai sekarang hafalin. Biar kalau ada apa-apa bisa langsung ngasih kabar. Sini, mana HP-nya?” Nayya bergaya seperti aparat kepolisian yang meminta barang bukti dari tersangka.
Rafan mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celana. Menyerahkan benda pipih hitam itu kepada Nayya. “Kamu juga hafalin nomor aku, ya, Sayang.”
“Udah hafal.” Nayya kemudian menyebutkan angka sebanyak dua belas digit. Ia menjulurkan lidah meledek sang suami. Perkara hafal-menghafal nomor telepon Nayya ahlinya.
“Nomorku terlalu gampang untuk diingat,” sangkal Rafan.
“Aku emang cepet kalau disuruh menghafal. Tapi emang nomor Mas Rafan cantik sih. Siapa aja pasti bisa langsung inget.”
“Cantikan kamu,” goda Rafan lagi.
“Iih, Mas Rafan.” Sekarang lengan Rafan yang jadi sasaran pukulan Nayya. “Gombal melulu.”
“Tapi seneng ‘kan?”
Nayya tersipu. Tidak sengaja bibirnya tergigit. Melihat hal itu, Rafan beraksi. Mendekat ke wajah Nayya.
“Gue disuruh ke sini kalau dibutuhin doang,” protes Gina. Semalaman ia menginap di kamar Nayya. “Kan dari dulu lo suka nginep di tempat gue.” “Dulu sama sekarang itu beda, Nay. Inget, lo udah punya laki.”“Makanya itu, karena enggak ada laki gue. Jadi gue bisa ajak lo tidur di mari. Kapan lagi, ya, kan?” “Bisa aja lo.”Ruangan satu-satunya di lantai atas itu sedikit terasa asing bagi Gina. Ia masih ingat betul, terakhir kali menginap warna dindingnya bukan abu-abu. Melainkan merah muda cerah.“Tau nggak, tiap kali gue masuk ke kamar lo sekarang rasanya beda. Buluk banget, warna temboknya, masa abu-abu?” Gina berkomentar. Memperhatikan dinding-dinding yang mengelilinginya. “Terus gue harus gimana? Kata bokap, laki-laki itu jarang yang suka sama warna pink. Lo tau sendiri, kamar ini bukan cuma punya gue sekarang.” Nayya sedang melipat selimut yang dipakainya bersama Gina semalam. Ia menguap panjang. Kebetulan cuara hari ini cukup mendung. Nikmat sekali untuk lanjut tidur.Gina menga
Een merupakan ibu ke dua bagi Nayya. Begitu pula Rohana yang menganggap Gina sebagai anaknya sendiri. Selain rumah yang saling berdempetan, hubungan mereka pun begitu dekat. “Mamaaa.” Nayya memeluk Een yang sedang mengukur kain. Sehingga membuat kain di tangan wanita seusia Rohana itu terjatuh.“Eh, Nayya baru kelihatan.” Een membalikkan badan. Menatap Nayya semringah. “Eh, iya pengantin baru. Pasti lagi sibuk terus.”“Enggak kok, Ma. Sibuk apanya coba?” Nayya tersipu.“Aduh … aduh. Apa perlu kita terang-terangan?” ledek Een.“Mama bisa aja,” seloroh Nayya. Menyandarkan kepalanya ke pundak Een.“Woi salah alamat woi. Itu nyokap gue,” sela Gina tak terima. Ia sedang sibuk mengepak pesanan pakaian.“Kita berbagi,” sahut Nayya tak mau kalah.“Berbagi itu indah.”“Mama lagi banyak jahitan, ya? Boleh Nayya bantu?” tawar wanita itu akrab. Sengaja ingin memberi kesan cemburu pada sahabatnya.“Boleh.” Tampang Gina kurang enak kalau dilihat. “Mama, aku anak mama bukan sih?” protesnya karena
“Anaknya temen mama ini tampan loh, Gin. Sudah mapan. Dia baik kok. Ramah.” Een mengoleskan selai stroberi pada selembar roti tawar. Ia dan putrinya makan pagi bersama.Gina baru saja pulang dari rumah sebelah. Rumahnya Nayya. Ia menginap di sana semalam. Susu yang dihisapnya jadi terasa hambar, setiap mendengar sang mama mengatakan hal tersebut. Rupanya Een belum menyerah untuk menjodohkan Gina dengan anak sahabatnya.“Gin, tanggepin dong. Masa mama dicuekin.” Wajah Gina tampak layu. Seperti bunga yang tak tersentuh air. “Kayaknya udah dua puluh kali Mama bahas itu deh.”“Tapi mama belum dapet jawabannya,” tuntut Een.“Ma, jawaban aku tetep NO!” “Gin ….”“Ma!”Wajah Een nelangsa. Nasihatnya tak bersambut baik. Ia menjatuhkan roti tawarnya ke piring. Tidak bergairah untuk menelan.“Ma, dimakan dong rotinya,” bujuk Gina. Ia merasa khawatir. Sang ibu sedang kebanjiran pesanan. Jadi harus makan banyak.Een mematung. Menatap roti berselai dalam piringnya tak berdaya. “Kamu enggak penge
“Kayaknya ada yang lupa sama janjinya.” Nayya melipat kedua tangan. Rafan baru pulang dari Bandung kemarin sore. Kini ia sibuk membersihkan lendir dari hidungnya. Dari semalam bersin-bersin terus. Suaranya juga sedikit serak. Sudah berkali-kali ia diomeli sama sang istri. Namun, tampaknya yang bisa dilakukannya hanya menghela napas pelan.Sudah beberapa kali Nayya berganti gaya. Mulai dari menopang dagu. Memonyongkan bibir. Cemberut. Dan pastinya mengomel. Akan tetapi, wanita berdagu terbelah itu belum mendengar sepotong kata pun dari bibir suaminya. Ia menjadi semakin kesal.“Sayang, aku kan lagi kurang fit. Bisa enggak, janji itu diundur dulu. Kamu kan istriku yang paling pengertian. Iya, kan?” rayunya.“Iih malah ngegodain. Jadi hari ini batal?” Nayya merajuk manja.Rafan mengangguk pelan. “Terpaksa, Sayang. Insyaa Allah kalau udah sehat lagi, kita jalan-jalan.“Lagian pulang dari Bandung bawa oleh-olehnya malah penyakit.” Untuk ke sekian kalinya Nayya mengatakan hal yang sama.“I
Sepanjang perjalanan dari Depok menuju Dufan, Nayya banyak termenung. Ia malu sekali atas kejadian tadi. Membuat Mas Rafannya menunggu lama. Padahal mereka tadi sudah rapi dan siap berangkat.“Kok diem?” Rafan yang mengemudikan Honda Jazz berwarna merah itu menoleh ke istrinya.Nayya menggeleng. “Istriku sepertinya bukan pendiam.” Rafan masih berusaha untuk menarik perhatian Nayya. Wanita itu malah menghadap ke jendela. “Sayang, kenapa?” tanya Rafan lagi.“Aku tuh malu tahu.” Nayya memainkan jari-jarinya yang lentik. Memainkan bibir dan mengembungkan kedua pipinya. Bagaimana tidak malu, harusnya bersama Rafan yang terjadi adalah hal romantis. Namun, gara-gara datangnya sembelit yang tidak diharapkan, kelakuannya malah jadi memalukan di hadapan pria yang dicintainya.“Malu?” Nayya mengangguk-anggukkan kepala. Ia menoleh ke Rafan. Menatap wajah tampannya. Kalau dilihat-lihat dari samping, hidung sang suami ternyata amat panjang. Rafan balik menoleh. Nayya salah tingkah. Ia buru-buru
Sudah lebih dari sepuluh menit Nayya menunggu Rafan. Sang suami sedang salat Dhuha di musala. Tak habis pikir, di manapun tempatnya Rafan tidak meninggalkan ibadah sunahnya. “Mas, sudah selesai?” Senyum merekah di bibir Nayya cukup menghipnotis Rafan sejenak. “Ya. Maaf kamu jadi harus nunggu lama.” Lelaki berambut nyaris botak itu duduk di samping istrinya. “Perutmu sudah enakan?”Nayya mengangguk. “Udah jauh lebih baik. Aku enggak habis pikir deh sama kamu, Mas. Biasanya orang-orang kalau berpergian bawaannya makanan sama baju ganti. Kamu malah bawa sarung, koko, peci sama Al-Qur’an.”“Buat persiapan kalau tiba waktunya salat. Kan kalau mau ketemu sama Allah harus berpenampilan sebaik mungkin. Enggak mungkin aku datang ke Allah dengan pakaian seperti ini, bukan?” Rafan tersenyum tulus.Perkataan Rafan barusan agaknya menyentuh bagian sensitif di dalam hati Nayya. Terkadang, ia merasa tak pantas menjadi pendamping Rafan. Ia seharusnya sadar, Rafan siapa dirinya siapa.“Kenapa? Kok m
“Kenapa lagi, Sayang? Aku perhatiin, sejak kita pulang dari dufan kamu kelihatan enggak happy. Apa aku bikin salah?” Rafan baru saja pulang dari masjid melaksanakan salat Magrib. Nayya tak bergeming. Ia duduk menekuk kedua lututnya. Bibirnya merengat-merengut tidak jelas. “Sayang.” Rafan mencoba merayu dengan memegang dagu terbelah milik sang pujaan hati. Namun, tidak biasanya sang istri malah menolaknya. Gawat kuadrat kalau sudah ngambek begini.Napas panjang lolos dari mulut Rafan. Kali ini, lelaki itu benar-benar tidak tahu harus bagaimana. “Aku minta maaf kalau punya salah, ya.” Tetap tidak diacuhkan permintaan maafnya. Rafan tidak berhenti. Ia terus mencoba.“Kamu udah salat?”Nayya menggeleng. “Loh, magrib kan waktunya pendek. Salat dulu, Sayang. Biar hati tenang. Selesai salat, nanti kita ngobrol baik-baik. Dari hati ke hati.” Suara Rafan dibuat sehalus mungkin. Mengingat Nayya hanyalah tulang rusuk yang bengkok. Ia sedang berusaha meluruskannya. Dengan cara yang amat halu
“Bagaimana kalau kita mampir ke pasantren dulu aja? Soalnya sebelum ke tempat ummi, kita bakal ngelewatin ponpesnya kakakku.” Rafan ingin menarik tangan sang istri dan menggenggamnya. Namun, ia menyadari ada Gina yang sedang duduk di kursi belakang.Nayya menikmati setiap perjalanan yang dilaluinya. Mengamati pemandangan hijau yang telah banyak mencuri perhatiannya. Sudah banyak gunung-gunung dan sawah yang ia lihat. Panorama yang musykil ditemukan di daerah Depok sana. Tempat tinggalnya.“Terserah Mas Rafan aja.” Wanita pemilik dagu terbelah itu kembali asyik menatap luar jendela. Berburu orang-orang yang membawa alat tempurnya. Ada yang membawa cangkul, parang dan beberapa membawa keranjang. Hampir semua petani itu memakai caping gunung di kepala.Sementara itu, gadis yang mendapat julukan Perawan Depok terlelap di belakang. Perutnya kenyang. Tadi di Brebes, mereka mampir ke rumah makan.Gelombang dengkura