Share

Lain di Mulut, Lain di Hati

“Lo pasti nggak nyangka banget, ya, Nay? Tapi lo udah telanjur kawin sama suami lo, gimana dong?” Dengan penuh ketelatenan Gina memunguti sampah tisu yang berserakan di lantai. Sebentar-sebentar, ia berhenti sejenak untuk melontarkan pertanyaan.

“Itu dia, Gin. Gue malu.”

“Kenapa harus malu? Kata orang, mau bujang ting-ting atau duda rasanya sama aja kok. Yang penting laki-laki. Lo bersyukur dong, Nay. Dapet suami alim, bukan pengangguran. Nah, gue apa kabar? Hilal jodoh kayaknya belum kelihatan nih.” Gina pusing untuk mengeluarkan kalimat yang mampu menghibur perasaan sahabatnya itu. Jadi, yang ia katakan, hanya mengikuti apa yang terlintas di dalam pikiran. 

“Padahal hari ini hari pengganti malam pertama yang waktu itu gagal. Tapi semua hancur lebur sama fakta pahit ini. Kenapa hidup gue gini amat, sih, Gin?” Air mata Nayya kembali berderai.

“Sabar, Nay, sabar. Eh tunggu! Malam pengganti malam pertama? Kok gue enggak konek, ya?” Tisu-tisu kotor yang dikumpulkannya kemudian dimasukkan ke dalam tong sampah. Gina duduk mendekati Nayya.

“Iih dodol banget deh lo, Gin. Gue lagi sedih malah harus ada acara njelasin ke lo segala.” Nayya menyusut ingusnya menggunakan sapu tangan. Tisunya sudah habis. Tersisa tempatnya saja. 

“Ya udah, gue enggak akan komentar. Silakan lanjutin ceritanya. Gue tetep pasang telinga buat dengerin.” 

Nayya merengut. “Kalau enggak komen, berarti sama aja lo enggak mau ngasih saran buat masalah gue dong?”

“Ampun deh ah. Gue pulang aja, ya. Daripada serba salah gini.” Nada suara Gina mulai terdengar sewot.

“Eh, eh, enggak boleh pulang. Ok, gue cerita. Lo mau ngasih saran atau enggak itu hak lo.” Nayya menyerah. Kemudian membetulkan posisi duduknya. 

“Hmm, jadi mau lo gimana?” Gina acuh. Siap mendengarkan.

“Gue harus ngelanjutin hidup. Tapi gimana kalau orang tahu?” Nayya menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur. Mengetuk-ngetuk kepalanya sendiri.

“Bilang aja ngikutin tren. Kan banyak di luaran sana yang duda nikah sama gadis. Yang janda nikah sama bujangan. Jangankan lo, Nay. Yang udah kakek-nenek aja juga nyarinya pada daun muda.” Gina menggaruk cuping hidungnya. “Gini aja deh, lo inget-inget dan catet semua kebaikan dan keburukan suami lo. Itu bisa jadi bahan pertimbangan.”

“Enggak usah dicatet juga udah pasti amal kebaikannya yang lebih banyak.” Nayya manyun sekarang.

“Terus apa yang lo pusingin? Dari tadi lo cuma nangisin status suami lo yang pernah beristri?” kejar Gina. “Yang penting asal jangan nikah sama lelaki beristri,” gumamnya lirih, sedikit melirik ke arah sahabatnya. Takut perkataannya kali ini salah lagi.

Nayya termenung. Mengamati langit-langit berwarna putih di atasnya. Ia menyadari kalau belum memberi kesempatan pada suami dan kedua orang tuanya untuk menjelaskan yang sebenarnya terjadi.

“Selama ini gue selalu ngajuin syarat ke bokap sama nyokap. Gue mau dijodohin. Dengan syarat, bukan duda. Mungkin, karena itu orang tua gue enggak mau jujur, ya. Tapi kok rasanya sakit dibohongin.” Nayya berbalik. Mengambil posisi tengkurap. Meraih bantal yang ia jadikan sebagai penopang dagu.

“Coba deh, tanya ke hati lo. Lo ada perasaan enggak sih sama suami lo?” Gina turut berbaring di samping Nayya.

Nayya mengingat kejadian sebelum subuh tadi pagi. Ia melihat tubuh suaminya yang kekar seperti binaragawan. Jantungnya selalu berdegup kencang saat berada di sisi lelaki itu. Pesona sang suami memang mampu menggetarkan jiwanya. Saat berbicara, menatapnya dan semua perhatian yang diberikan. Bagaimana Nayya tidak jatuh cinta. Untuk ukuran manusia, Rafan terlalu sempurna.

“Kayaknya kalau lo di posisi gue, lo udah klepek-klepek sih, sama Mas Rafan.” Kini Nayya mengumbar senyum. Seakan lupa hampir seharian tadi ia menangis.

“Apa gunanya lo nangis sampai ngabisin tisu segitu banyaknya? Sekarang aja berbalik, muji-muji doi.” Gina memejamkan mata. Meletakkan tangan kanannya di dahi. Sedikit mengantuk. 

 

“Awalnya gue emang nangis karena sedih, kesel, sekaligus kecewa. Tapi lama-lama gue ngerasa nyesel. Suami gue pergi. HP, dompet, sama kunci mobilnya ditinggal semua. Ini salah gue karena nggak mau bukain pintu. Jadi, pas lo tadi ke sini. Sebenarnya gue nangis karena khawatir sama Mas Rafan.” Air mata Nayya menetes lagi. 

“Gue juga bingung. Kalau dibilang sedih karena dibohongi orang-orang yang kita sayang. Itu pasti. Gue amat kecewa. Tapi begitu ngelihat Mas Rafan pergi dengan tangan kosong, kue jadi parno,” lanjutnya.

“Lo sinting, ya, Nayy?” Gina memelototi sahabatnya. “Kebanyakan nonton drama sih. Jadi plin-plan gini. Lain di mulut, lain pula di hati.”

“Tapi itu jujur kok. Suer deh.” Nayya mengangkat dua jarinya. 

Gina tidak habis pikir dengan drama Nayya hari ini. Untungnya saja dia pengangguran. Jadi, punya banyak waktu untuk mendengarkan curhatan Nayya yang tidak jelas.

“Gue pulang dulu, ya, Nay. Lama-lama ngantuk dengerin ocehan lo itu.” Gina menguap panjang. 

“Gue ‘kan belum kelar. Gina ih.” Satu bantal melayang ke udara, tapi gagal mengenai Gina. Wanita yang dijuluki Perawan Depok itu sudah beranjak menuruni anak tangga.

“Halo, Tan. Masak apa?” sapa Gina pada Rohana yang sedang menyiapkan makan siang.

“Banyak pokoknya. Udah lama di sini, Gin?”

 

“Lumayan, Tan.”

“Sekalian ikut makan siang, ya?” tawar Rohana.

“Sebenarnya pengen sih, Tan. Tapi Gina ngantuk banget. Masih kenyang juga.” Gina mengelus-elus perut untuk meyakinkan ibunya Nayya kalau dia benar-benar masih kenyang. “Kalau gitu, Gina pamit dulu, ya, Tan.”

Rohana mengangguk. “Salam buat mama.”

“Daripada kirim salam lewat Gina, Tante ke rumah aja. Kan tinggal lompat doang.” Gina menyeringai. 

“Ah, kamu enggak bisa diajak basa-basi banget.” 

 

Gina dan keluarga Nayya memang sangat dekat. Terlebih lagi, rumah mereka bersebelahan. Gina adalah teman Nayya sedari masih TK sampai dengan SMA. Namun, saat kuliah keduanya menuntut pendidikan di perguruan tinggi yang berbeda. Nahasnya, setelah lulus kuliah, mereka sama-sama dicap sebagai sarjana pengangguran. 

Nayya berencana untuk tidur siang. Akan tetapi, pikirannya melayang-layang tidak keruan. 

“Kalau ada apa-apa sama Mas Rafan gimana?”

“Kalau dia diculik?”

“Atau kalau Mas Rafan kecelakaan gimana?” 

Segumpal penyesalan dan pikiran yang berlebihan menaungi otak Nayya. Wanita itu bahkan melewatkan makan siangnya. 

“Gimana cara menghubungi Mas Rafan? HP-nya saja dia tinggal.” Nayya menggigit jarinya dengan sedih.

Waktu sudah menunjukkan hampir pukul lima sore. Namun, sudah berulang kali Nayya menengok ke jendela, tidak ada tanda-tanda kepulangan suaminya. Air matanya terurai lagi. Ia amat sedih. Terlalu berpikir macam-macam. Hingga matanya yang lelah karena tangis, harus terkalahkan oleh rasa kantuk. Nayya tertidur.

Sudah setengah jam Nayya terlelap di atas ranjangnya. Ia tidak mengetahui kalau Rafan sudah tiba di kamar. 

Lelaki itu memandangi wajah istrinya sejenak. Kemudian mengambil ponsel miliknya di atas nakas. Ketika ia sibuk membalas pesan masuk yang begitu banyak, Nayya terbangun.

“Mas Rafan?” Bibir Nayya bergetar menyebut nama lelaki yang sedang duduk di tepi ranjang. Ketakutannya sekarang menguap sudah. Lelaki yang ia tunggu-tunggu kepulangannya sampai tertidur, dalam keadaan baik-baik saja.

“Sudah bangun, Nay?” Rafan mengembalikan benda pipih di tangannya ke atas nakas.

“Maafin aku, Mas.” Tanpa permisi Nayya sudah melingkarkan tangannya ke pinggang Rafan. Air matanya menetes. Ia merasa senang karena raga Mas Rafannya masih utuh.

“Loh, ada apa ini?” Rafan mengusap-usap punggung tangan sang istri. Tubuhnya berbalik. Menghadap ke wajah Nayya.

Nayya mengamati satu demi satu anggota wajah Rafan. Tidak ada luka. Ia sadar sudah terlalu overthinking. Perasaannya sekarang jauh lebih tenang. Orang yang ditunggunya sejak tadi sudah berada tepat di hadapannya.

“Aku khawatir Mas Rafan kenapa-kenapa. Karena HP sama dompet ketinggalan di kamar.” 

Rafan tanpa ragu mendekap tubuh sang istri. Mengusap air matanya. 

“Sepertinya bukan tertinggal. Tapi karena pintunya dikunci dari dalam. Jadi, aku enggak bisa masuk.” Rafan menyeringai. 

“Iih, Mas Rafan mah.” Nayya memukul pelan dada suaminya. 

“Jadi, kamu udah enggak marah ‘kan?”

Nayya menggeleng. “Tapi aku masih mau mendengarkan penjelasan Mas Rafan, Ayah, sama Ibu.”

“Iya, nanti kalau sudah tiba waktunya makan malam. Sekarang aku mau mandi dulu, boleh?” 

Nayya menggeleng-gelengkan kepalanya manja.

“Loh, aku bau keringat. Tadi ke Bogor naik kereta soalnya.”

“Serius?” Bibir Nayya merengut, merasa bersalah. “Maaf.”

“Tapi ada untungnya juga sih aku nggak bawa dompet sama HP. Kalau kayak gini ‘kan istriku jadi khawatir. Terus pulang-pulang aku dipeluk-peluk.” Rafan tersenyum jahil. 

“Terus bayar tiket keretanya pakai apa?”

“Untungnya masih ada sisaan uang di kantong baju. Terus di lemari kamar bawah nemu seratus ribu. Alhamdulillah, di balik kejadian selalu ada hikmah. Aku jadi bisa ngerasain naik kereta lagi. Bisa ngerasain enggak ada uang, ponsel sama mobil. Ngajinya pun jadi lebih khusyuk.” Rafan mengelus-elus pucuk kepala Nayya.

 “Peluk-peluk terus nih dari tadi. Mau mandi bareng?”

Nayya tersipu malu. Sebenarnya ia ingin mengiyakan. Namun, tidak ingin terlalu terlihat agresif di depan suami. Harus tetap jaga image.

Tak kunjung mendapat jawaban, Rafan mengecup bibir Nayya. Membuat wanita itu berjingkat kaget. Jantungnya berdebar-debar. Ia menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.

“Ah, kelamaan.” Rafan langsung membopong tubuh Nayya menuju kamar mandi. Mengecup bibirnya lagi. 

Hati Nayya berdesir hebat. Tersirami kebahagiaan. Mereka menikmati setiap tetes air yang meluncur dari lubang-lubang shower.

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status