Seperti biasa menjelang tidur, sepasang suami istri itu deep talk terlebih dahulu, bertukar cerita tentang apa saja yang terjadi selama satu hari ini. "Kenapa melamun, Sayang?" tanya Rafan menarik selimut. Di sampingnya, duduk sang istri yang sedang menopang dagu menggunakan tangan sambil menggembungkan pipi. "Gina minta pulang ke Depok, Mas." "Tapi aku masih ada beberapa jadwal mengisi pengajian di beberapa tempat. Apa nggak sebaiknya nunggu dulu, biar bisa pulang sama-sama?""Maunya aku juga gitu.""Sebentar, aku mau cek jadwal dulu," ucap Rafan yang hendak mengambil buku agenda hitamnya. "Aku udah cek. Masih dua minggu lagi, Mas." Rafan tidak tahu ternyata sang istri begitu paham dengan jadwal kegiatannya. "Terus apa rencanamu?" Nayya mengedikkan bahu. "Sebenarnya aku juga ingin pulang. Kangen sama Ibu dan Ayah." Rafan termenung. Ia menyadari, sudah lama mereka tidak pulang ke Depok. "Kalau begitu, aku akan coba diskusikan terlebih dahulu dengan pihak penyelenggara dan pon
“Ustaz sialan!” Lagi, selembar tisu bekas mengeringkan air mata ia jatuhkan ke lantai. Sudah hampir satu kotak dihabiskan percuma untuk air matanya yang tampak sia-sia. “Nay … bukain pintu! Ini gue Gina.” Suara ketukan pintu yang berkali-kali itu telah diabaikannya selama berjam-jam. Ayah, ibu dan suaminya bergiliran merayu dirinya untuk keluar. Namun, usaha mereka dipatahkan. Pintu tetap terkunci. Nayya tetap meratap di dalam kamar. Tidak kali ini. Usai mendengar suara Gina, wanita muda itu berubah pikiran. Ia bangkit dengan langkah gontai mendekat ke arah pintu. Ditariknya gerendel pintu. Pintu terbuka lebar. “Kenapa …?” Gina tampak kaget. “Enggak usah banyak bicara. Ayo masuk!” Nayya menarik tangan Gina. Mengunci kembali pintu. “Apa gue ke sininya besok lagi aja? Kayaknya kondisi hati lo lagi enggak baik.” Gina serba salah. Ia tidak tahu apa-apa. Akan tetapi, mata Nayya—sahabat karibnya terlihat begitu sembab. Ia menatap tisu yang berserakan di lantai. “Gue butuh lo! Jangan
“Nayya, mari kita bicarakan dengan ayah dan ibu. Tolong jangan begini, Nay. Percayalah, ini hanya salah paham. Aku akan menjelaskan semuanya.” Rafan masih terlihat berusaha. Walaupun ini sudah yang ke tiga kalinya ia membujuk sang istri agar mau keluar dari kamar.Sejak menemui ayah dan ibunya subuh tadi, Nayya belum juga keluar dari kamarnya. Ia mengunci rapat pintu. Mengurung diri. “Apanya yang salah paham? Mau ngasih penjelasan kayak gimana lagi? Jelas-jelas dia yang bilang sendiri kalau pernah nikah sama wanita lain. Udah gitu, punya anak dari wanita itu lagi,” rutuk Nayya pada diri sendiri. “Siapa juga yang mau nikah sama laki-laki yang punya anak?”Nayya tidak pernah membayangkan sebelumnya. Bagaimana komentar orang-orang mengenai dirinya yang dipersunting oleh duda. Ia meratapi nasibnya. Meringkuk di atas kasur empuknya.“Nayya sayang, ibu sudah masak nasi goreng pete kesukaanmu. Ayo turun! Kita sarapan sama-sama,” bujuk rayu seorang ibu terhadap putrinya. Bergantian dengan Ra
“Lo pasti nggak nyangka banget, ya, Nay? Tapi lo udah telanjur kawin sama suami lo, gimana dong?” Dengan penuh ketelatenan Gina memunguti sampah tisu yang berserakan di lantai. Sebentar-sebentar, ia berhenti sejenak untuk melontarkan pertanyaan.“Itu dia, Gin. Gue malu.”“Kenapa harus malu? Kata orang, mau bujang ting-ting atau duda rasanya sama aja kok. Yang penting laki-laki. Lo bersyukur dong, Nay. Dapet suami alim, bukan pengangguran. Nah, gue apa kabar? Hilal jodoh kayaknya belum kelihatan nih.” Gina pusing untuk mengeluarkan kalimat yang mampu menghibur perasaan sahabatnya itu. Jadi, yang ia katakan, hanya mengikuti apa yang terlintas di dalam pikiran. “Padahal hari ini hari pengganti malam pertama yang waktu itu gagal. Tapi semua hancur lebur sama fakta pahit ini. Kenapa hidup gue gini amat, sih, Gin?” Air mata Nayya kembali berderai.“Sabar, Nay, sabar. Eh tunggu! Malam pengganti malam pertama? Kok gue enggak konek, ya?” Tisu-tisu kotor yang dikumpulkannya kemudian dimasukkan
“Aku lega mendengarnya. Kamu sudah tidak marah lagi pada kami,” ujar Sahid. Meminum air putih dari gelas. Suara sendok dan piring kosong beradu. Nayya memainkannya seperti anak kecil yang meminta makan. Terdengar gaduh. Sendok sayur di tangan Rohana sampai terlepas ke mangkuk. Dibuat kaget oleh ulah sang putri sendiri.“Aduh, kamu ini rusuh saja jadi orang.” Rohana menuang sayur asem ke dalam piringnya.Nayya memandang ibunya dengan tatapan tidak biasa. Kedua matanya terlihat tajam dan tidak berkedip. Rohana jadi urung untuk makan.“Kenapa?” Maksud pertanyaan Rohana adalah mengapa putrinya menatapnya seperti itu. Pasti ada hal yang tidak beres.“Jadi, terkait kebohongan yang sudah kalian lakukan, siapa yang mau bertanggung jawab?”cerocos Nayya.“Nayya, sebaiknya kita makan dulu.” Rafan memberi nasihat.“Gimana aku bisa makan dengan enak? Sementara hatiku enggak tenang, Mas. Emangnya enak apa dibohongi.” Nayya memberengut.Rohana dan Sahid saling bersi tatap. “Nak, maafkan kami,” uc
“Gue disuruh ke sini kalau dibutuhin doang,” protes Gina. Semalaman ia menginap di kamar Nayya. “Kan dari dulu lo suka nginep di tempat gue.” “Dulu sama sekarang itu beda, Nay. Inget, lo udah punya laki.”“Makanya itu, karena enggak ada laki gue. Jadi gue bisa ajak lo tidur di mari. Kapan lagi, ya, kan?” “Bisa aja lo.”Ruangan satu-satunya di lantai atas itu sedikit terasa asing bagi Gina. Ia masih ingat betul, terakhir kali menginap warna dindingnya bukan abu-abu. Melainkan merah muda cerah.“Tau nggak, tiap kali gue masuk ke kamar lo sekarang rasanya beda. Buluk banget, warna temboknya, masa abu-abu?” Gina berkomentar. Memperhatikan dinding-dinding yang mengelilinginya. “Terus gue harus gimana? Kata bokap, laki-laki itu jarang yang suka sama warna pink. Lo tau sendiri, kamar ini bukan cuma punya gue sekarang.” Nayya sedang melipat selimut yang dipakainya bersama Gina semalam. Ia menguap panjang. Kebetulan cuara hari ini cukup mendung. Nikmat sekali untuk lanjut tidur.Gina menga
Een merupakan ibu ke dua bagi Nayya. Begitu pula Rohana yang menganggap Gina sebagai anaknya sendiri. Selain rumah yang saling berdempetan, hubungan mereka pun begitu dekat. “Mamaaa.” Nayya memeluk Een yang sedang mengukur kain. Sehingga membuat kain di tangan wanita seusia Rohana itu terjatuh.“Eh, Nayya baru kelihatan.” Een membalikkan badan. Menatap Nayya semringah. “Eh, iya pengantin baru. Pasti lagi sibuk terus.”“Enggak kok, Ma. Sibuk apanya coba?” Nayya tersipu.“Aduh … aduh. Apa perlu kita terang-terangan?” ledek Een.“Mama bisa aja,” seloroh Nayya. Menyandarkan kepalanya ke pundak Een.“Woi salah alamat woi. Itu nyokap gue,” sela Gina tak terima. Ia sedang sibuk mengepak pesanan pakaian.“Kita berbagi,” sahut Nayya tak mau kalah.“Berbagi itu indah.”“Mama lagi banyak jahitan, ya? Boleh Nayya bantu?” tawar wanita itu akrab. Sengaja ingin memberi kesan cemburu pada sahabatnya.“Boleh.” Tampang Gina kurang enak kalau dilihat. “Mama, aku anak mama bukan sih?” protesnya karena
“Anaknya temen mama ini tampan loh, Gin. Sudah mapan. Dia baik kok. Ramah.” Een mengoleskan selai stroberi pada selembar roti tawar. Ia dan putrinya makan pagi bersama.Gina baru saja pulang dari rumah sebelah. Rumahnya Nayya. Ia menginap di sana semalam. Susu yang dihisapnya jadi terasa hambar, setiap mendengar sang mama mengatakan hal tersebut. Rupanya Een belum menyerah untuk menjodohkan Gina dengan anak sahabatnya.“Gin, tanggepin dong. Masa mama dicuekin.” Wajah Gina tampak layu. Seperti bunga yang tak tersentuh air. “Kayaknya udah dua puluh kali Mama bahas itu deh.”“Tapi mama belum dapet jawabannya,” tuntut Een.“Ma, jawaban aku tetep NO!” “Gin ….”“Ma!”Wajah Een nelangsa. Nasihatnya tak bersambut baik. Ia menjatuhkan roti tawarnya ke piring. Tidak bergairah untuk menelan.“Ma, dimakan dong rotinya,” bujuk Gina. Ia merasa khawatir. Sang ibu sedang kebanjiran pesanan. Jadi harus makan banyak.Een mematung. Menatap roti berselai dalam piringnya tak berdaya. “Kamu enggak penge