“Kayaknya ada yang lupa sama janjinya.” Nayya melipat kedua tangan. Rafan baru pulang dari Bandung kemarin sore. Kini ia sibuk membersihkan lendir dari hidungnya. Dari semalam bersin-bersin terus. Suaranya juga sedikit serak. Sudah berkali-kali ia diomeli sama sang istri. Namun, tampaknya yang bisa dilakukannya hanya menghela napas pelan.Sudah beberapa kali Nayya berganti gaya. Mulai dari menopang dagu. Memonyongkan bibir. Cemberut. Dan pastinya mengomel. Akan tetapi, wanita berdagu terbelah itu belum mendengar sepotong kata pun dari bibir suaminya. Ia menjadi semakin kesal.“Sayang, aku kan lagi kurang fit. Bisa enggak, janji itu diundur dulu. Kamu kan istriku yang paling pengertian. Iya, kan?” rayunya.“Iih malah ngegodain. Jadi hari ini batal?” Nayya merajuk manja.Rafan mengangguk pelan. “Terpaksa, Sayang. Insyaa Allah kalau udah sehat lagi, kita jalan-jalan.“Lagian pulang dari Bandung bawa oleh-olehnya malah penyakit.” Untuk ke sekian kalinya Nayya mengatakan hal yang sama.“I
Sepanjang perjalanan dari Depok menuju Dufan, Nayya banyak termenung. Ia malu sekali atas kejadian tadi. Membuat Mas Rafannya menunggu lama. Padahal mereka tadi sudah rapi dan siap berangkat.“Kok diem?” Rafan yang mengemudikan Honda Jazz berwarna merah itu menoleh ke istrinya.Nayya menggeleng. “Istriku sepertinya bukan pendiam.” Rafan masih berusaha untuk menarik perhatian Nayya. Wanita itu malah menghadap ke jendela. “Sayang, kenapa?” tanya Rafan lagi.“Aku tuh malu tahu.” Nayya memainkan jari-jarinya yang lentik. Memainkan bibir dan mengembungkan kedua pipinya. Bagaimana tidak malu, harusnya bersama Rafan yang terjadi adalah hal romantis. Namun, gara-gara datangnya sembelit yang tidak diharapkan, kelakuannya malah jadi memalukan di hadapan pria yang dicintainya.“Malu?” Nayya mengangguk-anggukkan kepala. Ia menoleh ke Rafan. Menatap wajah tampannya. Kalau dilihat-lihat dari samping, hidung sang suami ternyata amat panjang. Rafan balik menoleh. Nayya salah tingkah. Ia buru-buru
Sudah lebih dari sepuluh menit Nayya menunggu Rafan. Sang suami sedang salat Dhuha di musala. Tak habis pikir, di manapun tempatnya Rafan tidak meninggalkan ibadah sunahnya. “Mas, sudah selesai?” Senyum merekah di bibir Nayya cukup menghipnotis Rafan sejenak. “Ya. Maaf kamu jadi harus nunggu lama.” Lelaki berambut nyaris botak itu duduk di samping istrinya. “Perutmu sudah enakan?”Nayya mengangguk. “Udah jauh lebih baik. Aku enggak habis pikir deh sama kamu, Mas. Biasanya orang-orang kalau berpergian bawaannya makanan sama baju ganti. Kamu malah bawa sarung, koko, peci sama Al-Qur’an.”“Buat persiapan kalau tiba waktunya salat. Kan kalau mau ketemu sama Allah harus berpenampilan sebaik mungkin. Enggak mungkin aku datang ke Allah dengan pakaian seperti ini, bukan?” Rafan tersenyum tulus.Perkataan Rafan barusan agaknya menyentuh bagian sensitif di dalam hati Nayya. Terkadang, ia merasa tak pantas menjadi pendamping Rafan. Ia seharusnya sadar, Rafan siapa dirinya siapa.“Kenapa? Kok m
“Kenapa lagi, Sayang? Aku perhatiin, sejak kita pulang dari dufan kamu kelihatan enggak happy. Apa aku bikin salah?” Rafan baru saja pulang dari masjid melaksanakan salat Magrib. Nayya tak bergeming. Ia duduk menekuk kedua lututnya. Bibirnya merengat-merengut tidak jelas. “Sayang.” Rafan mencoba merayu dengan memegang dagu terbelah milik sang pujaan hati. Namun, tidak biasanya sang istri malah menolaknya. Gawat kuadrat kalau sudah ngambek begini.Napas panjang lolos dari mulut Rafan. Kali ini, lelaki itu benar-benar tidak tahu harus bagaimana. “Aku minta maaf kalau punya salah, ya.” Tetap tidak diacuhkan permintaan maafnya. Rafan tidak berhenti. Ia terus mencoba.“Kamu udah salat?”Nayya menggeleng. “Loh, magrib kan waktunya pendek. Salat dulu, Sayang. Biar hati tenang. Selesai salat, nanti kita ngobrol baik-baik. Dari hati ke hati.” Suara Rafan dibuat sehalus mungkin. Mengingat Nayya hanyalah tulang rusuk yang bengkok. Ia sedang berusaha meluruskannya. Dengan cara yang amat halu
“Bagaimana kalau kita mampir ke pasantren dulu aja? Soalnya sebelum ke tempat ummi, kita bakal ngelewatin ponpesnya kakakku.” Rafan ingin menarik tangan sang istri dan menggenggamnya. Namun, ia menyadari ada Gina yang sedang duduk di kursi belakang.Nayya menikmati setiap perjalanan yang dilaluinya. Mengamati pemandangan hijau yang telah banyak mencuri perhatiannya. Sudah banyak gunung-gunung dan sawah yang ia lihat. Panorama yang musykil ditemukan di daerah Depok sana. Tempat tinggalnya.“Terserah Mas Rafan aja.” Wanita pemilik dagu terbelah itu kembali asyik menatap luar jendela. Berburu orang-orang yang membawa alat tempurnya. Ada yang membawa cangkul, parang dan beberapa membawa keranjang. Hampir semua petani itu memakai caping gunung di kepala.Sementara itu, gadis yang mendapat julukan Perawan Depok terlelap di belakang. Perutnya kenyang. Tadi di Brebes, mereka mampir ke rumah makan.Gelombang dengkura
“Halo, apa kabar, Bos Muda?” Seorang pria berkulit gelap. Kira-kira usianya sekitaran setengah abad. Menyambangi mobil Rafan. “Alhamdulillah semakin baik dan bahagia. Pak Kardi apa kabar nih?” Rafan bertanya balik. Keduanya saling bertegur sapa. Seperti dua sahabat yang sewindu lamanya tidak bertemu. “Apa ini dua-duanya istri panjenengan?” bisik Kardi pada tuan mudanya. “Ah, Pak Kardi ini bisa aja. Makanya waktu acara walimahan saya di Depok dateng.” Rafan terpaksa mengungkit absennya sang sopir saat pernikahannya dengan Nayya. “Bos kan tahu sendiri, Bos tua ngasih perintah buat jagain pesantren.” Kardi sibuk mengangkat koper-koper yang ia ambil dari dalam bagasi. Nayya tersenyum ramah pada lelaki berkulit gelap, berambut agak ikal itu. Kardi pun membalasnya jauh lebih ramah. Saat melewati tempat Gina berdiri, senyum ramah Kardi mendadak punah. Ia memberi tatapan sedikit tidak suka pada wanita berkerudung abu-a
Gina memandangi layar HP-nya. Sudah lebih dari dua jam sang ibu belum juga membalas pesan yang ia kirimkan. Gina mengabarkan kalau dirinya sudah sampai. Sekarang ia sedang beristirahat di sebuah kamar tamu. Kamar yang menurutnya cukup luas kalau hanya ditinggali seorang diri.Gina merasa amat khawatir. “Mama keteteran enggak, ya, sama orderan?” Pikiran Gina melambung tinggi. Menembus langit-langit kamar. Sang ibu pasti sedang sangat sibuk. Ia menyingkirkan bantal yang menjadi sandaran kepala. Beranjak ke dekat jendela. Rupanya hari mulai petang. Ketika gadis itu hendak menutup jendela, di luar ada dua mata tajam yang memperhatikannya. Gina tersontak kaget. Kakinya sampai mundur dua langkah. Kardi sedang menatapnya tanpa jeda di luar kamarnya.Bersamaan dengan jantungnya yang berdegup kencang, suara ketukan pintu terdengar. Lelaki misterius dengan tatapan setajam pedang itu masih berdiri di luar. Jujur, sekarang Gina memiliki sedikit rasa takut. Awalnya ia cuek-cuek saja dengan tatapa
Berduyun-duyun para gadis belia duduk melingkar. Mengitari sebuah nampan bulat berisi nasi yang dikelilingi lauk pauk sederhana. Mereka berpakaian longgar dan berkerudung lebar. Nayya dan Gina bergabung dengan Maryam yang melambaikan tangan ke mereka.“Kita makan sama-sama, ya.” Senyum ramah terurai dari bibir Maryam.Mempersilakan Nayya dan Gina untuk mencuci tangan di kobokan. Mangkuk bulat berisi air dan potongan jeruk nipis.Nayya dan Gina saling bersitatap. It’s okay. Mereka sudah terbiasa makan sepiring berdua dari kecil. Tidak masalah makan lesehan dan memakai tangan. Namun, karena ada Maryam yang duduk dengan takzim di depan mereka membuat suasana menjadi sedikit canggung.Nayya memperhatikan sekelilingnya. Para santriwati terlihat menikmati hidangan sederhana di dalam nampan. Diiringi obrolan sesama kelompoknya. Kelihatannya seru.“Ya, beginilah kehidupan di pondok pesantren. Jangan kaget! Ka