Share

Bab 2

Sekilas kulirik ayah dan ibu, mereka tetap tenang, tak terpengaruh oleh teriakan dari Lek Sapto, ayah Mas Fikri. 

"Dan kamu! Perempuan kurang aj*r! Berani kau injak harga diri keluargaku!"

Kali ini telunjuk Lek Sapto mengarah kepadaku. Aku memundurkan badan karena tak nyaman dengan telunjuknya yang tepat mengarah ke wajahku. Ayah menggenggam tanganku, mengisyaratkan agar aku tetap tenang, seperti pesannya sebelum berangkat.

"Sapto kemungkinan akan marah besar, tapi kita harus siap. Apa pun yang terjadi di sana, kita harus tenang, tak boleh terpancing emosi," pesan ayah, sesaat sebelum kami melaju ke rumah orang tua Mas Fikri sejam lalu.

Aku kembali merasa bersalah, karena Ayah dan Ibu harus ikut mendapat teriakan karena ulahku. Tapi keputusanku sudah bulat, daripada jadi sapi perah setelah menikah, lebih baik berpisah sekarang, sebelum akad dilangsungkan.

"Kau pikir kau perempuan paling cantik? Paling kaya? Sombong sekali kau jadi perempuan!" 

Lek Sapto masih meluapkan amarahnya. Apa maksudnya menyebut aku sombong? Oke, Lek, aku memang bukan orang kaya, tapi, lihat saja nanti. Biar waktu yang bicara.

"Pak, jangan begini, tenang dulu. Kita bicara baik-baik. Undangan juga belum disebar. Masih tersimpan rapi di kamar Fikri," Lek Lastri berusaha membujuk suaminya.

Benar memang, undangan itu sedianya baru akan disebar satu Minggu menjelang acara, seperti kesepakatan dua keluarga. Jadi, kedua keluarga tak akan malu-malu amat dengan pembatalan ini.

"Tidak bisa! Pernikahan mereka tak boleh batal!"

"Pak, kita tak bisa memaksa, karena yang akan menjalani pernikahan adalah anak-anak kita," ujar Lek Lastri.

"Perempuan ngasih uang untuk keperluan rumah tangga itu sudah biasa, kenapa dipermasalahkan?!

Lihat ini, ibunya Fikri, dia kerja, uangnya untuk semua keperluan rumah tangga, tak ada hitung-hitungan. Uang saya, ditabung, untuk bangun rumah, untuk beli sawah. Jadi, tak ada itu uang istri uang suami, yang ada uang bersama!"

Jadi begini rupanya keluarga ini? Bisa kubayangkan apa yang terjadi jika aku tetap masuk ke dalam keluarga ini. Aku sangat bersyukur diperlihatkan saat masih calon, belum resmi menjadi suami istri. Karena kalau sudah terlanjur menikah atau memaksa diteruskan, yang ada akan banyak masalah lanjutannya yg tidak kalah berat. 

Kulihat Lek Lastri, wajahnya menunduk, jari jemarinya memilin ujung jilbab yang ia kenakan.

Bulek Lastri memang memiliki sebuah toko pakaian di pasar dekat rumahnya. Toko itu lumayan besar, isinya juga komplit. Sesekali aku diajak berkunjung ke sana saat libur kerja. Beliau bahkan meminta aku memilih sendiri, beberapa gamis dan jilbab untuk dibawa sebagai hantaran saat hari pernikahan.

"Sudah, Pak, malu. Jangan teriak-teriak begitu," Lek Lastri berusaha membujuk suaminya. Kedua tangannya kini beralih memegang lengan Lek Sapto.

"Persiapan pernikahan mereka sedikit lagi selesai, Bu," suara Lek Sapto mulai melemah. Tangan kanannya memegang dada sebelah kiri. "Catering, tenda, organ tunggal, semua sudah dipesan. Tak sedikit biaya yang sudah kukeluarkan. Bapak sudah berharap banyak pada pernikahan ini. Keluarga yang jauh akan kembali dekat, bukan begitu, Hen?" kini beliau beralih bertanya kepada ayah.

"Benar, saya awalnya juga berpikir demikian. Tapi, kita masih bisa menjalin silaturahmi sebagai keluarga meski kedua anak kita batal menikah, To," ujar ayah. Tanganku kembali digenggam tanda menguatkan. 

"Untuk biaya, aku akan menggantinya, To, jangan kuatir," ayah menambahkan.

"Kau pikir aku tak punya uang? Aku tak butuh uangmu, Hen! Tapi wajahku ini, mau ditaruh di mana? Aku malu, Hen, malu!"

Ayah tak bicara, tapi aku tahu, di dalam hatinya, ia juga merasakan hal sama. Ayah juga pasti malu karena aku tak jadi menikah, sedangkan kabar sudah beredar, meski undangan belum disebar.

"Sudahlah, Pak, jangan begini. Wajah bapak biar di situ aja, memang mau ditaruh di mana? Kalau ditaruh di piring, nanti bisa hilang dikira makanan kucing."

"Ibu!"

"Apa? Sudah, nggak usah aneh-aneh. Anak-anak sudah dewasa, biar mereka yang memutuskan. Kebahagiaan mereka lebih penting. Jadi menantu atau enggak, Husna tetap ibu anggap anak. Titik nggak pakai koma."

.

"Jangan lupa, Hen, kembalikan apa yang pernah kami bawa!"

"Baik, sudah kusiapkan, tunggu sebentar, ya."

"Kembalikan dua kali lipat!"

"Apa?"

"Itu adat di sini. Siapa pun yang membatalkan pernikahan, harus mengembalikan dua kali lipat!"

"Bapak!" Lek Lastri mendelik saat mendengar suaminya meminta kembali barang bawaan saat lamaran.

Ini tak masuk akal. Bagaimana mungkin kami harus mengembalikan dua kali lipat dari apa yang pernah mereka bawa? Ataukah memang kebiasaan di sini seperti itu?

Ayah beranjak ke luar. Menuju mobil yang terparkir di halaman. Gegas aku menyusul, hendak membantu membawa barang yang tadi dibawa dari rumah. Tapi cekalan tangan Lek Lastri menghentikan langkahku.

"Husna, apa keputusan kamu tak bisa diubah, Nak? Apa tak bisa dipertimbangkan lagi?" tanya Bulek Lastri.

Kulihat matanya berkaca-kaca. Ada kesedihan di sana. Beliau pasti terluka dengan adanya pembatalan ini, karena selama ini beliau sudah sangat baik padaku. Ia bahkan tak segan  mengajakku mencari pakaian terbaik yang akan dikenakan saat akad nikah nanti.

.

Ternyata Lek Lastri baik, ya? Bagaimana tanggapan Husna setelah ini?

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Bun say
kurang greget adegan dan narasinya
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Baguslah Husna minta dibatalkan pernikahannya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status