.Terbangun jam dua pagi, mata malah terasa bengkak, susah banget dibuka. Payah ya, semalam sambil beresin barang, malah mewek sendiri. Tapi kamar sudah lumayan rapilah, undangan sama souvenir yang masih ada di atas lemari sudah tak pindahin ke kardus. Barang-barang yang bisa ngingetin sama Mas Fikri sudah dimasukkan ke sana juga. Setelah ini terserah Ibu sama Ayah mau digimanain. Kuraih ponsel, memeriksa pesan yang masuk ke akun WhatsApp. Seharian bersama Mas Dika membuat aku mengabaikan ponselku. Hingga dini hari ini baru kupegang, karena memang kalau libur malah nggak sempat megang. Beberapa pesan teks dan suara dari Mas Fikri, masuk ke nomor WhatsApp milikku. "Dek, Husna, kalau kamu berubah pikiran, Mas masih mau menerima kamu dengan hati dan tangan terbuka. Hidup Mas terasa hampa tanpa kamu, Dek Husna."Aku tersenyum membaca pesan itu. Masih nggak nyerah kamu, Mas. Masih juga mengirim kata-kata gombal yang akhirnya kuabaikan. Bosan. Aku bosan dengan kata-kata manis yang ia kiri
"Daripada nggak kerja malah ngelamun, Na, mending kerja, menyibukkan diri, kumpul sama teman-teman. Tapi terserah kamulah, nanti kabari Mbak, ya," tambahnya lagi.Padahal aku sudah berencana membujuk Mas Dika supaya bisa ikut perjalanan, mumpung dapat cuti. Lumayan kan, satu Minggu bisa buat refreshing otak dan pikiran. Tapi ada benarnya juga kata Mbak Irma. Mengajukan cuti juga harus jauh-jauh hari. "Makasih ya, Mbak, nanti Husna pikirkan lagi soal cuti itu."Dan kami kembali sibuk dengan pekerjaan kami masing-masing, hingga waktu pulang tiba..Hari masih pagi, kutemani Ayah berbincang sambil menikmati sepiring singkong rebus dan segelas teh manis. Mas Dika sudah berangkat sejak jam lima tadi. "Nanti dua hari lagi Mas pulang," pamitnya tadi.Kembali lagi aku hanya bertiga dengan Ibu dan Ayah di rumah ini."Husna, ada yang nyari kamu di depan."Aku yang sedang ngobrol sama Ayah di belakang rumah, sontak menoleh ke sumber suara."Siapa, Bu?""Nggak tau, ibu-ibu, dia nyari yang naman
Tak terasa aku sudah sampai di ujung jalan. Bersiap menunggu angkutan umum yang akan membawa aku ke tempat kerja.Sebuah motor berhenti di depanku, tepat saat aku keluar gang. Rasanya tak asing dengan motor itu. Benar saja, wajah Mas Fikri tersembul begitu helmnya dibuka. Mau apa lagi dia?"Dek Husna, yuk, Mas antar. Mau berangkat kerja, kan?""Terima kasih, Mas. Husna berangkat sendiri saja.""Ayolah, dari pada naik angkot, lebih baik digonceng sama Mas Fikri yang ganteng ini."Ganteng-ganteng tapi nggak modal, kalau jalan sukanya minta dibayarin, buat apa? Nanti ujung-ujungnya minta dibeliin bensinlah, inilah, itulah. Baru juga mulai menata hati, eh, dia udah muncul lagi."Makasih ya, Mas Fikri yang ganteng dan baik hati. Tapi maaf, ini angkotnya sudah datang, Husna duluan, ya?"Tanpa menunggu jawaban, aku segera masuk ke dalam angkot. Kebetulan juga pas berhenti di depanku. Dapat kulihat wajah kesalnya saat angkot yang kunaiki mulai melaju. Rupanya ia tak menyerah, ia ikuti angkot
Kulihat Pak Hanan menunggu jawabanku. Nah, ini yang kadang dilema. Kalau disuruh, malah aku nggak bisa. Seringnya ide ngalir aja, nggak bisa dipaksa.Bu Lia menyenggol siku tanganku dengan isyarat agar aku cepat membalas ucapan Pak Hanan.Melihat itu, aku bergegas menjawab atasan kami ini dengan jawaban template khas karyawan, "Iya, Pak, saya mengerti." Bukannya aku tak senang dengan permintaan Pak Hanan. Aku sadar bahwa aku harusnya bahagia diberikan ruang seperti ini, dikasih kesempatan buat lebih bebas berekspresi. Tapi, kalau dipaksa, biasanya ide malah mampet! Itu yang aku takutkan terjadi."Bu, Lia.""Iya, saya, Pak."Kali ini, sepertinya Bu Lia yang akan diberikan tugas."Husna ini perlu dibina. Kalau perlu, pindahkan dia ke ruang desain, biar belajar sama anak-anak di sana. Tapi, desain dia sudah bagus, sih, tinggal dikembangkan.""Baik, Pak.""Oke, saya rasa cukup, ya. Kamu boleh kembali ke ruangan kamu, Mbak Husna."Pak Hanan memberi penekanan saat menyebut namaku. Entah ha
"Coba kamu lihat-lihat ini ya. Biar bisa jadi referensi buat kamu bikin desain."Pak Hanan menyerahkan setumpuk buku. Bertukar dengan sepuluh desain yang baru saja kubuat. Aku yang baru saja menyerahkan bobot tubuh di kursi di depannya, terhenyak melihat banyaknya tumpukan buku di depanku.'Nothing to lose' mengalun pelan sekali di ruang ini. Mau ngikutin liriknya, tapi urung, nggak sopan rasanya. Padahal suka sama lagu-lagunya MLTR ini. Pak Hanan langsung sibuk melihat coretanku yang kini berada di tangannya."Ini bagus, saya sangat suka. Nanti kita buat masternya, lalu diperbanyak untuk dipasarkan. Bagaimana? Apa Mbak Husna setuju?"Aku terperangah mendengar ucapan Pak Hanan. Oret-oretan yang kukerjakan di sela menginput data pagi tadi, ternyata disukai, bahkan dihargai. Aku tak bisa berkata-kata lagi. "Mbak Husna, apa saya salah bicara?"Kening Pak Hanan mengernyit melihat perubahan yang ia lihat. Aku jadi merasa bersalah. Dihargai seperti ini malah membuatku terharu hingga tanpa
"Kuingatkan kau anak muda. Kau bukan siapa-siapa di sini, selain sebagai karyawan yang digaji bulanan!" ia menggeram lagi."Baik, akan saya ingat. Apa ibu sudah selesai?"Ia malah memutar bola mata dan mencebik tak suka."Maaf, jika ibu sudah selesai, saya permisi. Semoga hari ibu menyenangkan."Kutepuk pundaknya perlahan, kemudian berlalu ke luar, menuju Sinta biasa menunggu jika kami pulang bareng."Hei, saya belum selesai!" Bu Misya masih mengejarku. Entah apa lagi yang ia inginkan. Aku tak merasa memiliki masalah dengannya. Dan kalau ini bersangkutan dengan Pak Hanan, aku tak memiliki hubungan selain sebagai atasan dan bawahan. Lalu, masalahnya apa coba. Aneh sekali.Lenganku kembali dicekal begitu Bu Misya mensejajarkan langkah denganku. Kuhentikan langkah. Kutatap lurus ke dalam matanya."Oke, sekarang katakan, apa yang ibu inginkan dari saya?" tanyaku begitu langkah kami sama-sama terhenti.Empat tahun aku kerja di sini, hampir tak pernah ada pembicaraan khusus, selain tentang
"Ini apa?" tanya ibu bingung saat kuselipkan amplop coklat di tangannya. Tinggal kami berdua di rumah, sementara Ayah sedang ikut kumpulan bapak-bapak di rumah tetangga."Ini buat ibu, diterima ya, Bu. Aku dapat rejeki tadi," ujarku dengan mengulas senyum."Alhamdulillah. Terima kasih, Nak. Coba ceritakan, bagaimana kamu bisa dapat uang sebanyak ini dalam sehari?" pinta ibu. Digenggamnya tanganku, serta diberikan tatapan hangat.Aku pun mulai bercerita tentang asal muasal uang tersebut. Ibu khusuk mendengarkan, sesekali mengangguk. Detik berikutnya, kulihat ibu menyeka sudut mata. Hal ini membuat aku merasa khawatir."Ibu, kenapa? Kok, nangis?""Oh, enggak, Ibu cuma kelilipan."Selalu begini, kalau sedang menyembunyikan tangisan. Kenapa lagi ibuku ini?"Yang bener? Itu, mata ibu berair begitu?" tanyaku penuh selidik. Kupindai wajah wanita yang melahirkanku. Sama
"Tuh, kan. Lihat itu, Bu, yang gayanya pendekar," ujarku dengan masih mengulum senyum."Iya dong, biar bisa jagain adik Mas yang cantik, sama ibu yang baik hati ini, iya kan, Bu?""Sudah-sudah, kalian ini, nggak di rumah, nggak di sini, ribut aja. Ini rumah sakit, kalau ribut di sini, nanti pasien yang lain bisa terganggu," ujar ibu melerai kami berdua yang berebut kata."Ya sudah, ayo, Dika mau pulang sekarang.""Lho, kok, pulang? Emang udah dapat ijin dari dokternya? Urusan administrasi gimana?" tanyaku beruntun. Bagaimana, sih, Mas Dika ini. Badan udah luka-luka begini main pulang aja."Tenang ya, adik Mas yang cantik, tadi barusan dokternya ke sini, sudah dikasih surat keterangan kalau Mas bisa rawat jalan. Administrasi juga sudah diurus sama perusahaan, jadi aman. Oke?""Alhamdulillah ... . Ya udah, ayok pulang. Mas, bisa jalan?" tanyaku ragu. Aku masih miris melihat kondisinya sekarang."Bisa dong. Tapi, kalau Dek