Share

Bab 5

"Sini Mas bilangin ya, Adek Mas yang cantik, kayak bidadari. Hari ini Mas mau ajak kamu jalan-jalan," ujarnya setelah melepaskan diri.

"Mau jalan-jalan ke mana emang? Orang kerja juga, masak diajak jalan?"

"Dek Husna sayang, hari ini hari Minggu ya, nggak ada alasan buat kamu berangkat kerja."

Benarkah? Sampai lupa hari, kacau sekali aku ini. Dipikir-pikir boleh juga ini, jalan-jalan buat buang galau yang nggak jadi nikah.

"Ayah sama Ibu mana, Mas?" tanyaku akhirnya.

"Ada, di belakang mereka," jawab Mas Dika sambil memberikan isyarat melalui wajahnya.

Masih merangkul pundakku, Mas Dika mengajak aku ke belakang, di mana Ayah dan Ibu berada. 

"Ngomong-ngomong, Mas mencium bau tak sedap, tapi apa ya?"

Ia memencet hidung sambil melirikku. Ngeselin emang kakak satu ini. Untung sayang. Masih suka ngasih uang jajan sama buah tangan lagi kalau habis pergi-pergi.

"Hem, mulai deh. Iya-iya, Husna mandi dulu. Tadi kan juga bilang mau mandi, malah dipeluk segala."

"Habis Mas kangen. Sana, buruan mandi. Hus ... Hus … ."

"Husna bukan Hus-Hus!" sentakku dengan wajah cemberut.

Mas Dika tergelak, diikuti gelengan kepala Ayah dan Ibu.

.

"Dek, di sini, kalau mau teriak, boleh, lho," ujarnya setelah kami berdua berada di bibir pantai.

Aku menatapnya tak berkedip. Aneh. Ngajak jalan-jalan malah disuruh teriak. Tapi boleh juga idenya. Lagi pula, di sini tak terlalu ramai meski hari libur.

"Nggak usah ditahan, kalau mau nangis, nangis aja, Dek," ujarnya pelan.

Aku mengerti. Kuayunkan kaki beberapa langkah ke depan setelah mengangguk pada Mas Dika. Kuhela napas panjang sambil memejamkan mata menikmati hembusan angin laut. Deburan ombak yang menyapa kaki kemudian pecah di bibir pantai, serupa dentuman yang siap meledak di dalam sini.

"Aaaaaaa … !"

Seperti ada yang terlepas di sini. Merasa lega, kuulangi lagi hingga tiga kali. Udah kayak minum obat aja. Tapi capek juga teriak begini, jadi cukup sudah tiga kali saja. Rasanya legaaa sekali. Pinter juga Mas Dika, bawa adiknya yang batal nikah ini ke sini, jadi buang galau.

"Makasih ya, Mas," ujarku setelah kembali di sisi Mas Dika. Ia tersenyum, kemudian mengangguk dan mengajakku ke penjual kelapa muda.

Puas menikmati kelapa muda di pinggir pantai sambil cerita-cerita, Mas Dika membawaku berkeliling dengan motornya. Di sebuah swalayan ia belokkan motor. 

"Nah, di sini kamu boleh beli apa aja yang kamu suka. Mas yang traktir, oke?"

Tau aja, cewek kalau lagi galau suka seneng kalau diajak belanja. Moga-moga nanti dapat suami yang pengertian gini. Aamiin …

Berdua kami keliling swalayan. Entah muter berapa kali, sampai dibilang kayak lagi tawaf, soalnya nggak belok-belok, muter terus ngikutin jalan. Kayak nggak ada yang menarik untuk dibeli. Sampai ditawarin baju, sepatu, tas, masih aja aku menggeleng. Buat apa juga, semua masih punya. Sayang aja kalau dibeli malah nggak kepake.

Akhirnya demi menghargai niat baik kakak tersayang, aku berhenti di toko baju yang udah dilewati tiga kali. Kan jadi keinget Lek Lastri kalau di toko baju begini. Sebuah gamis warna hitam, sama jilbab merah marun kupilih. Saat kubawa ke kasir, malah disuruh nambah sama Mas Dika. Emang baik kebangetan kakakku ini. Sayang belum ketemu jodoh.

"Udah cukup Mas, ini aja. Makasih, ya?"

"Yakin kamu? Kaos kaki mau nggak?"

"Boleh, deh."

Gimana mau nolak, tanpa aba-aba dia sudah ngambil tiga biji lalu ditambahkan sama belanjaan yang lagi discan sama Mbak kasir. Sampai si mbaknya senyum-senyum melihat kami.

.

Kami berdua memutuskan pulang setelah memborong coklat dan beberapa jajanan. Mas Dika emang paling ngertiin adiknya ini. Habis makan malam sama Ayah dan Ibu, aku pamit ke kamar. Capek juga seharian muter-muter sama Mas Dika. Sudah mulai ngantuk juga.

Berada di kamar seorang diri, baru terasa kalau aku baru saja kehilangan. Ya, meskipun nggak cinta-cinta amat sama Mas Fikri, tapi rasa sayang itu hadir juga. 

Meski bibirku berusaha tersenyum, tetap saja ada rasa hatiku yang terkoyak. Kubiarkan rasa ini hadir, kubiarkan air mata ini mengalir. Sebentar saja. Ini tak akan lama. Tak akan kulawan rasa ini. 

Terlebih, saat aku melihat kalender yang belakangan ini aku lingkari di setiap tanggalnya. Aku selalu menghitung mundur dengan kalender itu. 

Masih berapa hari lagi aku menjadi seorang single? Berapa hari lagi aku menjadi dobel? Berapa hari lagi aku menjadi istri dari seorang lelaki bernama Fikri?

Pertanyaan-pertanyaan itu selalu terlintas saat kuayunkan pulpen melingkari angka, setiap pagi. Kelakuan konyol, tapi dilakukan. Apa begini kelakuan absurd calon pengantin? Kalau dipikir-pikir lucu juga. Ngapain kalender dioret-oret, dikasih tulisan, tanggal sekian mau ke sono, tanggal sekian ngurus itu, tanggal sekian urus ini. 

Rasanya lucu saat sadar aku terkena sindrom pranikah. Teman-teman bahkan mengolokku saat beberapa kali aku harus mengulang pekerjaan karena kurang fokus. Tapi mulai hari ini, aku harus menata hati. Sedih boleh, tapi jangan lama-lama, dan tetep pake logika.

.

Jadi pengen punya Kakak kayak Mas Dika nggak, nih? Care banget sama adiknya ya, Kak?

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Partinah Partinah
jangan2 si dika ini anak angkat di keluarga husna. mngkin sebelumnya ortu husna blm kunjung dpt anak terus ngangkat anak yaitu si dika, pas udh pnya anak angkat eh nongol lah si husna
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Husna beruntung punya kakak yang sayang dan pengertian
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status