Aku tak punya cara lain. Aku terpaksa meminta kembali uangku di depan kedua orang tuanya, karena kurasa hubungan kami sudah selesai. Beberapa kali sudah kuminta sesuai janjinya, tapi Mas Fikri selalu berkelit, dengan alasan kelak kami akan jadi sepasang suami istri. Bahkan saat kukatakan kalau uang itu akan kugunakan untuk tambahan biaya pernikahan, ia tetap tak mau mengembalikan.
"Kamu jangan khawatir, Dek Husna, ini kan, Mas sudah buat pernyataan di kertas bermaterai, nanti kalau Mas lupa, kamu ingatkan Mas pakai ini, oke?"Ia sendiri yang mengusulkan membuat kwitansi bermaterai itu. Jadi bisa kugunakan untuk menagih, agar ia tak berkelit."Apa ini tak berlebihan, Mas?" tanyaku, kala itu."Tidak, Dek. Supaya kamu nggak ragu sama Mas. Percayalah, secepatnya Mas ganti uang kamu. Oke?"Aku mengangguk mengiyakan, meski merasa tak nyaman karena tabunganku terus digerus olehnya. Yah, meski ia pilihan orang tuaku, dan dari keluarga yang berlimpah materi, nyatanya tak menjadikan ia merasa cukup. Justru sibuk mencari pinjaman hanya untuk kesenangan semata.Aku masih berharap ia berubah dengan tak mendahulukan hobi, karena saat berkeluarga, pastilah kebutuhan hidup ada saja. Tapi, semakin ke sini, ia semakin menjadi."Tuhan itu memberi petunjuk melalui orang dekat. Baca dan perhatikan baik-baik petunjuk itu. Jangan sampai menyesal di kemudian hari karena kelalaian hari ini," begitu selalu yang dipesan Mas Dika, kakak sulungku.Semakin merenungkan nasehat Mas Dika, entah kenapa aku semakin melihat banyak hal negatif pada Mas Fikri."Ini, Dek, uang kamu. Sudah, ya, lunas semua," ucapan Mas Fikri mengembalikan kesadaranku.Entah sejak kapan ia mengambil uang itu. Yang jelas, segepok uang bergambar presiden telah berpindah ke tanganku."Uang asli kan, ini?" tanyaku sambil nyengir."Ya aslilah, Dek. Ada-ada saja kamu. Hitung dulu biar sama-sama enak.""Alhamdulillah. Gini kan enak. Nggak bikin berat nanti di akhirat karena hutang dibayar lunas, iya kan, Mas?""Iya-iya, pake bawa-bawa akhirat segala kamu!""Woiya jelass, hutang itu kalau nggak dibayar di dunia bakal ditagih di akhirat je, Mas. Dan di akhirat sana, nggak bisa bayar pake duit lagi, tapi bayar pake amal ibadah. Emang kamu mau, amal ibadah kamu habis buat bayar hutang?""Sudah-sudah, malah ceramah kamu!""Bentar, Mas, belum dihitung ini. Nanti kalau kelebihan gimana?""Husna … ."Kali ini suara ayah yang terdengar. Aku hanya nyengir, sambil mulai berhitung. Ah, senangnya, perjuangan panjang menagih ini berakhir sudah."Sip, Mas. Makasih ya, Mas. Nih, kelebihan selembar, tak balikin. Baik kan, aku?""Hih, kamu, Dek.".Jarum jam sudah menunjuk angka sembilan saat kami sampai di rumah. Melihat bulan sedang bersinar tanpa penghalang, aku mengajak ayah dan ibu duduk di teras belakang rumah, menikmati cahaya bulan. Kubuatkan teh hangat untuk ayah dan ibu. Sepiring pisang dan ubi goreng yang dibeli sebelum pulang juga kusajikan di sana. Aku sendiri sibuk mengunyah coklat."Sejak kapan Fikri suka minjam uang kamu, Na?" tanya ayah setelah beberapa saat hening."Sejak lima bulan yang lalu, Yah."Ayah menghembuskan napas kasar mendengar jawabanku."Lima bulan, berarti kalian baru satu bulan bertunangan saat itu?""Benar, Yah.""Ayah benar-benar tak pernah menyangka. Ia terlihat dari keluarga yang berkecukupan, bahkan pekerjaan dan gajinya juga bagus. Tapi ayah bersyukur, kamu sudah terlepas dari dia.""Maaf ya, Yah. Mungkin, setelah ini, keluarga kita akan jadi omongan orang, soalnya ... .""Tidak apa-apa, Ayah dan Ibu akan menutup telinga. Orang-orang akan lelah sendiri, paling lama dua Minggu mereka juga sudah capek.""Ayah kenapa diam saja tadi, anak kita ditunjuk-tunjuk, Yah. Dikatakan anak kurang aj*r sama Sapto, Ayah kenapa tak membela?" tanya ibu sesenggukan."Maaf, Bu. Ayah kenal Sapto, semakin ia dibantah, ia akan semakin murka. Dia hanya bisa dibujuk oleh Lastri, ibu lihat sendiri kan, tadi?""Iya, memang. Tapi ibu sakit hati, Yah, anak yang ibu sayang, ditunjuk di depan wajahnya, dimaki-maki … .""Sudahlah, Bu, Husna nggak apa-apa, kok. Ayah benar. Kalau kita terpancing emosi, Lek Sapto bisa makin meledak amarahnya. Maafkan ya, Bu, supaya hati kita tenang."Ibu makin mengeratkan pelukannya. Beliau tak bicara sejak tadi, tapi sesekali sibuk mengusap sudut matanya. "Kamu yang sabar, ya, Nak. Ibu do'akan, semoga kelak kamu mendapatkan pengganti yang jauh lebih baik dari Fikri.""Aamiin … terima kasih, Bu. Maafkan Husna ya, Bu, sudah mencoreng arang di wajah ibu dan ayah.""Sstt … sudah, malu di awal ini jauh lebih baik, daripada kalian terlanjur menikah, dan kamu nggak bahagia, itu jauh lebih menyakitkan, Nak.".Pagi.Tok tok tok … ."Hus, Husna … , Dek … ."Mataku masih terpejam saat kudengar ada yang memanggil namaku. Setengah sadar aku melihat jam di dinding, masih jam tujuh pagi.Hah? Jam tujuh pagi? Mati aku. Bisa kesiangan masuk kerja dong ini. Gegas aku melompat dari kasur, membuka pintu.Brukk!Badanku menabrak sesuatu. Mata yang setengah mengantuk, dilebar-lebarkan."Aduh, hati-hati dong, Dek, kalau jalan."Suara itu?"Mas Dika? Kapan datang? Kok di sini? Ngapain?""Yaelah, pertanyaannya diborong. Jawab yang mana dulu ini? Bingung Mas.""Udah, deh, entar aja becandanya. Husna kesiangan, mau mandi terus kerja.""Eh, tunggu dulu.""Apaan sih, Mas? Keburu telat, tau.""Sini Dek, peluk dulu, kangen Mas."Reflek kupeluk kakak sulungku. Jarang bertemu membuat kami sering akur, tapi kalau lagi sama-sama libur malah suka jahil. Mas Dika mengeratkan pelukan sambil elus-elus kepala. Aku pasrah karena kebiasaan Mas Dika kalau baru ketemu pasti begini. Kadang kalau pas ada teman yang sedang main, dikira pacaran, padahal kakak adik..Benarkah mereka berdua hanya Kakak adik? Kok pelukan segala, ya?"Sini Mas bilangin ya, Adek Mas yang cantik, kayak bidadari. Hari ini Mas mau ajak kamu jalan-jalan," ujarnya setelah melepaskan diri."Mau jalan-jalan ke mana emang? Orang kerja juga, masak diajak jalan?""Dek Husna sayang, hari ini hari Minggu ya, nggak ada alasan buat kamu berangkat kerja."Benarkah? Sampai lupa hari, kacau sekali aku ini. Dipikir-pikir boleh juga ini, jalan-jalan buat buang galau yang nggak jadi nikah."Ayah sama Ibu mana, Mas?" tanyaku akhirnya."Ada, di belakang mereka," jawab Mas Dika sambil memberikan isyarat melalui wajahnya.Masih merangkul pundakku, Mas Dika mengajak aku ke belakang, di mana Ayah dan Ibu berada. "Ngomong-ngomong, Mas mencium bau tak sedap, tapi apa ya?"Ia memencet hidung sambil melirikku. Ngeselin emang kakak satu ini. Untung sayang. Masih suka ngasih uang jajan sama buah tangan lagi kalau habis pergi-pergi."Hem, mulai deh. Iya-iya, Husna mandi dulu. Tadi kan juga bilang mau mandi, malah dipeluk segala.""Habis Mas kangen. Sana, buruan m
.Terbangun jam dua pagi, mata malah terasa bengkak, susah banget dibuka. Payah ya, semalam sambil beresin barang, malah mewek sendiri. Tapi kamar sudah lumayan rapilah, undangan sama souvenir yang masih ada di atas lemari sudah tak pindahin ke kardus. Barang-barang yang bisa ngingetin sama Mas Fikri sudah dimasukkan ke sana juga. Setelah ini terserah Ibu sama Ayah mau digimanain. Kuraih ponsel, memeriksa pesan yang masuk ke akun WhatsApp. Seharian bersama Mas Dika membuat aku mengabaikan ponselku. Hingga dini hari ini baru kupegang, karena memang kalau libur malah nggak sempat megang. Beberapa pesan teks dan suara dari Mas Fikri, masuk ke nomor WhatsApp milikku. "Dek, Husna, kalau kamu berubah pikiran, Mas masih mau menerima kamu dengan hati dan tangan terbuka. Hidup Mas terasa hampa tanpa kamu, Dek Husna."Aku tersenyum membaca pesan itu. Masih nggak nyerah kamu, Mas. Masih juga mengirim kata-kata gombal yang akhirnya kuabaikan. Bosan. Aku bosan dengan kata-kata manis yang ia kiri
"Daripada nggak kerja malah ngelamun, Na, mending kerja, menyibukkan diri, kumpul sama teman-teman. Tapi terserah kamulah, nanti kabari Mbak, ya," tambahnya lagi.Padahal aku sudah berencana membujuk Mas Dika supaya bisa ikut perjalanan, mumpung dapat cuti. Lumayan kan, satu Minggu bisa buat refreshing otak dan pikiran. Tapi ada benarnya juga kata Mbak Irma. Mengajukan cuti juga harus jauh-jauh hari. "Makasih ya, Mbak, nanti Husna pikirkan lagi soal cuti itu."Dan kami kembali sibuk dengan pekerjaan kami masing-masing, hingga waktu pulang tiba..Hari masih pagi, kutemani Ayah berbincang sambil menikmati sepiring singkong rebus dan segelas teh manis. Mas Dika sudah berangkat sejak jam lima tadi. "Nanti dua hari lagi Mas pulang," pamitnya tadi.Kembali lagi aku hanya bertiga dengan Ibu dan Ayah di rumah ini."Husna, ada yang nyari kamu di depan."Aku yang sedang ngobrol sama Ayah di belakang rumah, sontak menoleh ke sumber suara."Siapa, Bu?""Nggak tau, ibu-ibu, dia nyari yang naman
Tak terasa aku sudah sampai di ujung jalan. Bersiap menunggu angkutan umum yang akan membawa aku ke tempat kerja.Sebuah motor berhenti di depanku, tepat saat aku keluar gang. Rasanya tak asing dengan motor itu. Benar saja, wajah Mas Fikri tersembul begitu helmnya dibuka. Mau apa lagi dia?"Dek Husna, yuk, Mas antar. Mau berangkat kerja, kan?""Terima kasih, Mas. Husna berangkat sendiri saja.""Ayolah, dari pada naik angkot, lebih baik digonceng sama Mas Fikri yang ganteng ini."Ganteng-ganteng tapi nggak modal, kalau jalan sukanya minta dibayarin, buat apa? Nanti ujung-ujungnya minta dibeliin bensinlah, inilah, itulah. Baru juga mulai menata hati, eh, dia udah muncul lagi."Makasih ya, Mas Fikri yang ganteng dan baik hati. Tapi maaf, ini angkotnya sudah datang, Husna duluan, ya?"Tanpa menunggu jawaban, aku segera masuk ke dalam angkot. Kebetulan juga pas berhenti di depanku. Dapat kulihat wajah kesalnya saat angkot yang kunaiki mulai melaju. Rupanya ia tak menyerah, ia ikuti angkot
Kulihat Pak Hanan menunggu jawabanku. Nah, ini yang kadang dilema. Kalau disuruh, malah aku nggak bisa. Seringnya ide ngalir aja, nggak bisa dipaksa.Bu Lia menyenggol siku tanganku dengan isyarat agar aku cepat membalas ucapan Pak Hanan.Melihat itu, aku bergegas menjawab atasan kami ini dengan jawaban template khas karyawan, "Iya, Pak, saya mengerti." Bukannya aku tak senang dengan permintaan Pak Hanan. Aku sadar bahwa aku harusnya bahagia diberikan ruang seperti ini, dikasih kesempatan buat lebih bebas berekspresi. Tapi, kalau dipaksa, biasanya ide malah mampet! Itu yang aku takutkan terjadi."Bu, Lia.""Iya, saya, Pak."Kali ini, sepertinya Bu Lia yang akan diberikan tugas."Husna ini perlu dibina. Kalau perlu, pindahkan dia ke ruang desain, biar belajar sama anak-anak di sana. Tapi, desain dia sudah bagus, sih, tinggal dikembangkan.""Baik, Pak.""Oke, saya rasa cukup, ya. Kamu boleh kembali ke ruangan kamu, Mbak Husna."Pak Hanan memberi penekanan saat menyebut namaku. Entah ha
"Coba kamu lihat-lihat ini ya. Biar bisa jadi referensi buat kamu bikin desain."Pak Hanan menyerahkan setumpuk buku. Bertukar dengan sepuluh desain yang baru saja kubuat. Aku yang baru saja menyerahkan bobot tubuh di kursi di depannya, terhenyak melihat banyaknya tumpukan buku di depanku.'Nothing to lose' mengalun pelan sekali di ruang ini. Mau ngikutin liriknya, tapi urung, nggak sopan rasanya. Padahal suka sama lagu-lagunya MLTR ini. Pak Hanan langsung sibuk melihat coretanku yang kini berada di tangannya."Ini bagus, saya sangat suka. Nanti kita buat masternya, lalu diperbanyak untuk dipasarkan. Bagaimana? Apa Mbak Husna setuju?"Aku terperangah mendengar ucapan Pak Hanan. Oret-oretan yang kukerjakan di sela menginput data pagi tadi, ternyata disukai, bahkan dihargai. Aku tak bisa berkata-kata lagi. "Mbak Husna, apa saya salah bicara?"Kening Pak Hanan mengernyit melihat perubahan yang ia lihat. Aku jadi merasa bersalah. Dihargai seperti ini malah membuatku terharu hingga tanpa
"Kuingatkan kau anak muda. Kau bukan siapa-siapa di sini, selain sebagai karyawan yang digaji bulanan!" ia menggeram lagi."Baik, akan saya ingat. Apa ibu sudah selesai?"Ia malah memutar bola mata dan mencebik tak suka."Maaf, jika ibu sudah selesai, saya permisi. Semoga hari ibu menyenangkan."Kutepuk pundaknya perlahan, kemudian berlalu ke luar, menuju Sinta biasa menunggu jika kami pulang bareng."Hei, saya belum selesai!" Bu Misya masih mengejarku. Entah apa lagi yang ia inginkan. Aku tak merasa memiliki masalah dengannya. Dan kalau ini bersangkutan dengan Pak Hanan, aku tak memiliki hubungan selain sebagai atasan dan bawahan. Lalu, masalahnya apa coba. Aneh sekali.Lenganku kembali dicekal begitu Bu Misya mensejajarkan langkah denganku. Kuhentikan langkah. Kutatap lurus ke dalam matanya."Oke, sekarang katakan, apa yang ibu inginkan dari saya?" tanyaku begitu langkah kami sama-sama terhenti.Empat tahun aku kerja di sini, hampir tak pernah ada pembicaraan khusus, selain tentang
"Ini apa?" tanya ibu bingung saat kuselipkan amplop coklat di tangannya. Tinggal kami berdua di rumah, sementara Ayah sedang ikut kumpulan bapak-bapak di rumah tetangga."Ini buat ibu, diterima ya, Bu. Aku dapat rejeki tadi," ujarku dengan mengulas senyum."Alhamdulillah. Terima kasih, Nak. Coba ceritakan, bagaimana kamu bisa dapat uang sebanyak ini dalam sehari?" pinta ibu. Digenggamnya tanganku, serta diberikan tatapan hangat.Aku pun mulai bercerita tentang asal muasal uang tersebut. Ibu khusuk mendengarkan, sesekali mengangguk. Detik berikutnya, kulihat ibu menyeka sudut mata. Hal ini membuat aku merasa khawatir."Ibu, kenapa? Kok, nangis?""Oh, enggak, Ibu cuma kelilipan."Selalu begini, kalau sedang menyembunyikan tangisan. Kenapa lagi ibuku ini?"Yang bener? Itu, mata ibu berair begitu?" tanyaku penuh selidik. Kupindai wajah wanita yang melahirkanku. Sama