Share

Bab 4

Aku tak punya cara lain. Aku terpaksa meminta kembali uangku di depan kedua orang tuanya, karena kurasa hubungan kami sudah selesai. Beberapa kali sudah kuminta sesuai janjinya, tapi Mas Fikri selalu berkelit, dengan alasan kelak kami akan jadi sepasang suami istri. Bahkan saat kukatakan kalau uang itu akan kugunakan untuk tambahan biaya pernikahan, ia tetap tak mau mengembalikan.

"Kamu jangan khawatir, Dek Husna, ini kan, Mas sudah buat pernyataan di kertas bermaterai, nanti kalau Mas lupa, kamu ingatkan Mas pakai ini, oke?"

Ia sendiri yang mengusulkan membuat kwitansi bermaterai itu. Jadi bisa kugunakan untuk menagih, agar ia tak berkelit.

"Apa ini tak berlebihan, Mas?" tanyaku, kala itu.

"Tidak, Dek. Supaya kamu nggak ragu sama Mas. Percayalah, secepatnya Mas ganti uang kamu. Oke?"

Aku mengangguk mengiyakan, meski merasa tak nyaman karena tabunganku terus digerus olehnya. Yah, meski ia pilihan orang tuaku, dan dari keluarga yang berlimpah materi, nyatanya tak menjadikan ia merasa cukup. Justru sibuk mencari pinjaman hanya untuk kesenangan semata.

Aku masih berharap ia berubah dengan tak mendahulukan hobi, karena saat berkeluarga, pastilah kebutuhan hidup ada saja. Tapi, semakin ke sini, ia semakin menjadi.

"Tuhan itu memberi petunjuk melalui orang dekat. Baca dan perhatikan baik-baik petunjuk itu. Jangan sampai menyesal di kemudian hari karena kelalaian hari ini," begitu selalu yang dipesan Mas Dika, kakak sulungku.

Semakin merenungkan nasehat Mas Dika, entah kenapa aku semakin melihat banyak hal negatif pada Mas Fikri.

"Ini, Dek, uang kamu. Sudah, ya, lunas semua," ucapan Mas Fikri mengembalikan kesadaranku.

Entah sejak kapan ia mengambil uang itu. Yang jelas, segepok uang bergambar presiden telah berpindah ke tanganku.

"Uang asli kan, ini?" tanyaku sambil nyengir.

"Ya aslilah, Dek. Ada-ada saja kamu. Hitung dulu biar sama-sama enak."

"Alhamdulillah. Gini kan enak. Nggak bikin berat nanti di akhirat karena hutang dibayar lunas, iya kan, Mas?"

"Iya-iya, pake bawa-bawa akhirat segala kamu!"

"Woiya jelass, hutang itu kalau nggak dibayar di dunia bakal ditagih di akhirat je, Mas. Dan di akhirat sana, nggak bisa bayar pake duit lagi, tapi bayar pake amal ibadah. Emang kamu mau, amal ibadah kamu habis buat bayar hutang?"

"Sudah-sudah, malah ceramah kamu!"

"Bentar, Mas, belum dihitung ini. Nanti kalau kelebihan gimana?"

"Husna … ."

Kali ini suara ayah yang terdengar. Aku hanya nyengir, sambil mulai berhitung. Ah, senangnya, perjuangan panjang menagih ini berakhir sudah.

"Sip, Mas. Makasih ya, Mas. Nih, kelebihan selembar, tak balikin. Baik kan, aku?"

"Hih, kamu, Dek."

.

Jarum jam sudah menunjuk angka sembilan saat kami sampai di rumah. Melihat bulan sedang bersinar tanpa penghalang, aku mengajak ayah dan ibu duduk di teras belakang rumah, menikmati cahaya bulan. Kubuatkan teh hangat untuk ayah dan ibu. Sepiring pisang dan ubi goreng yang dibeli sebelum pulang juga kusajikan di sana. Aku sendiri sibuk mengunyah coklat.

"Sejak kapan Fikri suka minjam uang kamu, Na?" tanya ayah setelah beberapa saat hening.

"Sejak lima bulan yang lalu, Yah."

Ayah menghembuskan napas kasar mendengar jawabanku.

"Lima bulan, berarti kalian baru satu bulan bertunangan saat itu?"

"Benar, Yah."

"Ayah benar-benar tak pernah menyangka. Ia terlihat dari keluarga yang berkecukupan, bahkan pekerjaan dan gajinya juga bagus. Tapi ayah bersyukur, kamu sudah terlepas dari dia."

"Maaf ya, Yah. Mungkin, setelah ini, keluarga kita akan jadi omongan orang, soalnya ... ."

"Tidak apa-apa, Ayah dan Ibu akan menutup telinga. Orang-orang akan lelah sendiri, paling lama dua Minggu mereka juga sudah capek."

"Ayah kenapa diam saja tadi, anak kita ditunjuk-tunjuk, Yah. Dikatakan anak kurang aj*r sama Sapto, Ayah kenapa tak membela?" tanya ibu sesenggukan.

"Maaf, Bu. Ayah kenal Sapto, semakin ia dibantah, ia akan semakin murka. Dia hanya bisa dibujuk oleh Lastri, ibu lihat sendiri kan, tadi?"

"Iya, memang. Tapi ibu sakit hati, Yah, anak yang ibu sayang, ditunjuk di depan wajahnya, dimaki-maki … ."

"Sudahlah, Bu, Husna nggak apa-apa, kok. Ayah benar. Kalau kita terpancing emosi, Lek Sapto bisa makin meledak amarahnya. Maafkan ya, Bu, supaya hati kita tenang."

Ibu makin mengeratkan pelukannya. Beliau tak bicara sejak tadi, tapi sesekali sibuk mengusap sudut matanya. 

"Kamu yang sabar, ya, Nak. Ibu do'akan, semoga kelak kamu mendapatkan pengganti yang jauh lebih baik dari Fikri."

"Aamiin … terima kasih, Bu. Maafkan Husna ya, Bu, sudah mencoreng arang di wajah ibu dan ayah."

"Sstt … sudah, malu di awal ini jauh lebih baik, daripada kalian terlanjur menikah, dan kamu nggak bahagia, itu jauh lebih menyakitkan, Nak."

.

Pagi.

Tok tok tok … .

"Hus, Husna … , Dek … ."

Mataku masih terpejam saat kudengar ada yang memanggil namaku. Setengah sadar aku melihat jam di dinding, masih jam tujuh pagi.

Hah? Jam tujuh pagi? Mati aku. Bisa kesiangan masuk kerja dong ini. Gegas aku melompat dari kasur, membuka pintu.

Brukk!

Badanku menabrak sesuatu. Mata yang setengah mengantuk, dilebar-lebarkan.

"Aduh, hati-hati dong, Dek, kalau jalan."

Suara itu?

"Mas Dika? Kapan datang? Kok di sini? Ngapain?"

"Yaelah, pertanyaannya diborong. Jawab yang mana dulu ini? Bingung Mas."

"Udah, deh, entar aja becandanya. Husna kesiangan, mau mandi terus kerja."

"Eh, tunggu dulu."

"Apaan sih, Mas? Keburu telat, tau."

"Sini Dek, peluk dulu, kangen Mas."

Reflek kupeluk kakak sulungku. Jarang bertemu membuat kami sering akur, tapi kalau lagi sama-sama libur malah suka jahil. Mas Dika mengeratkan pelukan sambil elus-elus kepala. Aku pasrah karena kebiasaan Mas Dika kalau baru ketemu pasti begini. Kadang kalau pas ada teman yang sedang main, dikira pacaran, padahal kakak adik.

.

Benarkah mereka berdua hanya Kakak adik? Kok pelukan segala, ya?

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Dwi Ningsih Andryani
Gak masalah kok pelukan dgn saudara, aku jg kek gitu sm kakakku peluk, cium. Gak cm ke aku, sm adik termasuk keluarga yg msh mahram jg gitu.
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Akhirnya Husna putus tunangan nya dengan Fikri
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status