Share

Bab 3

"Kamu akan terlihat cantik dengan gaun ini, Husna," ujar beliau, kala itu. Sebuah gaun berwarna putih dipilih, kemudian meminta aku mencobanya. 

"Saya minta maaf, Bulek, keputusan saya sudah bulat. Saya juga sudah bicara dengan Mas Fikri, dan ia tak keberatan," ujarku setenang mungkin. 

Kulihat Mas Fikri yang tak bersuara sejak tadi. Dia terlihat tak acuh dengan semua perdebatan yang bergaung di dinding dan plafon ruang tamu ini.

Selama ini aku berusaha menerima perjodohan ini, demi menghormati kedua orang tua dari dua belah pihak. Aku berdamai dengan perasaanku sendiri, mencoba menerima kekurangan Mas Fikri yang sedikit demi sedikit terlihat saat hari pernikahan kami mulai dekat. Namun, hatiku tak bisa menerima saat ada permintaan tak masuk akal dari calon suamiku. 

"Baiklah, tak apa Husna. Bulek menghormati keputusan kamu. Anggap saja kalian belum berjodoh. Tapi seperti yang Bulek katakan tadi, Bulek akan tetap sayang dan menganggap kamu sebagai anak, meski kamu tak menjadi menantu di rumah ini."

Tak terasa menetes air mataku saat mendengar tutur kata dari Bulek Lastri. Apa yang disampaikan oleh Bulek Lastri, seperti hembusan angin segar di ruang tamu yang terasa panas ini. Perempuan hebat, bisa berbesar hati menerima keputusanku. Keputusan yang bagi sebagian orang menyakitkan, karena membatalkan pernikahan secara sepihak.

"Masya Allah, terima kasih, Bulek. Sekali lagi, Husna minta maaf, karena tak bisa melanjutkan rencana pernikahan yang tinggal dua Minggu lagi."

"Tidak apa-apa, Bulek mengerti."

"Mestinya lebih bagus kalau Husna jadi menantu di rumah ini, Bu. Akan ada yang membantu ibu belanja dapur," tiba-tiba saja Mas Fikri menyela pembicaraan kami. Aku mencoba mencerna kalimat terakhirnya. 

"Fikri! Jaga ucapanmu!"

"Pikirkan lagi, Dek Husna! Daripada kamu harus mengembalikan dua kali lipat bawaan kami dulu, lebih baik, kita lanjutkan pernikahan kita.

Lihat, ibuku sangat sayang padamu bukan? Di luar sana, banyak lho, menantu yang tak akur dengan mertua."

Aku tersenyum seraya menggelengkan kepala. Benar memang, Lek Lastri sangat sayang padaku. Namun sayang, calon suamiku lebih sayang uangku. Tunggu saja, Mas, aku masih punya kejutan buat kamu.

Aku pamit ke luar hendak membantu ayah. Mas Fikri mengikuti langkahku di belakang, kemudian mensejajarkan langkah.

"Mas nggak bisa bayangkan bagaimana hidup tanpa kamu, Dek Husna."

"Halah, gombal!"

Aku sudah sampai di belakang mobil yang terbuka di bagian belakang. Bersama Pak Ajmi, tetangga Ayah, aku membawa dua nampan berisi wajik dan gemblong. Tak lama kemudian, ruang tamu Lek Sapto telah penuh dengan pisang raja, jajanan dari ketan, beberapa kotak buah-buahan, serta satu kardus berisi barang lain pemberian Mas Fikri.

"Oke, Sapto. Ini ya, semua sudah kami kembalikan. Cincin juga sudah diserahkan pada Fikri oleh Hanum tadi malam. Saya rasa semua sudah cukup."

"Benar-benar sudah kau siapkan rupanya. Baiklah, kali ini aku akui aku kalah. Ini jauh lebih banyak dari yang pernah kami bawa," ujar Lek Sapto dengan menggelengkan kepala. Lek Sapto menolak uang ganti rugi untuk pemesanan tenda dan catering.

Ia seperti tak percaya melihat apa yang kami bawa.

"Biar kita lebihkan, jangan sampai kurang," jawab Ayah saat aku protes karena seingatku bawaan mereka tak sebanyak itu. Menurut ayah, beginilah adat di sini, jika pihak perempuan yang membatalkan pertunangan. 

"Saya rasa semua sudah menerima keputusan ini dengan baik. Saya harap, hubungan kekeluargaan kita tetap terjalin. Sekali lagi, saya selaku orang tua dan wali dari anak saya, Husna, minta maaf yang sebesar-besarnya pada keluarga Dek Sapto dan Dek Lastri," ujar ayah, kemudian kami semua bersalaman, saling memaafkan satu sama lain. 

"Oke, semua lunas, ya? Kami pamit dulu ya, Dek," ujar ayah saat melihat Bulek Lastri melepas pelukan hangat padaku.

"Tunggu, Ayah. Husna ada yang belum selesai dengan Mas Fikri."

Semua mata tertuju padaku. Kukeluarkan lembaran kwitansi bermaterai enam ribu, kuserahkan pada Mas Fikri.

"Kamu belum lupa kan, Mas, kalau pernah menggunakan uangku untuk keperluan kamu?" 

Wajah mas Fikri berubah pucat. Sementara Lek Sapto membelalakkan mata saat berhasil merebut kertas dari tangan Mas Fikri.

.

"Anak kurang aj*r! Bikin malu saja!"

Mas Fikri bergeming, ia hanya menunduk saat ayahnya memaki di depan semua yang hadir.

"Untuk apa kau beli barang tak berguna hingga puluhan juta? Jawab!"

"Untuk investasi, Yah."

"Investasi gundulmu! Investasi itu uangmu sendiri, bukan uang Husna kau pakai, dud*l! Sana, bayar hutangmu!"

Lek Sapto menoyor kepala Mas Fikri. Lek Lastri menarik tangan Mas Fikri ke dalam rumah, mungkin takut ada adegan yang tak enak dilihat terjadi di depan para tamu.

.

Kira-kira, Fikri pinjam uang Husna buat apa, ya? Apa jumlahnya banyak hingga harus pakai materai segala?

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Syukurlah Husna pinter tidak begitu saja meminjam kan uang kepada Fikri
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status