Share

Bab 10

"Coba kamu lihat-lihat ini ya. Biar bisa jadi referensi buat kamu bikin desain."

Pak Hanan menyerahkan setumpuk buku. Bertukar dengan sepuluh desain yang baru saja kubuat. Aku yang baru saja menyerahkan bobot tubuh di kursi di depannya, terhenyak melihat banyaknya tumpukan buku di depanku.

'Nothing to lose' mengalun pelan sekali di ruang ini. Mau ngikutin liriknya, tapi urung, nggak sopan rasanya. Padahal suka sama lagu-lagunya MLTR ini. Pak Hanan langsung sibuk melihat coretanku yang kini berada di tangannya.

"Ini bagus, saya sangat suka. Nanti kita buat masternya, lalu diperbanyak untuk dipasarkan. Bagaimana? Apa Mbak Husna setuju?"

Aku terperangah mendengar ucapan Pak Hanan. Oret-oretan yang kukerjakan di sela menginput data pagi tadi, ternyata disukai, bahkan dihargai. Aku tak bisa berkata-kata lagi.

"Mbak Husna, apa saya salah bicara?"

Kening Pak Hanan mengernyit melihat perubahan yang ia lihat. Aku jadi merasa bersalah. Dihargai seperti ini malah membuatku terharu hingga tanpa sadar kelopak mataku dipenuhi oleh kristal bening.

"Maaf, Pak. Saya terlalu senang mendengar apa yang bapak sampaikan," jawabku kemudian.

"Oh, syukurlah," ujar Pak Hanan, terdengar lega. "Oke, jadi gini. Saya butuh desain yang fresh. Ya, seperti yang Mbak Husna buat. Saya akan beli desain Mbak Husna. Jadi, kira-kira bisa bikin berapa dalam satu hari?"

"Itu, maaf Pak, kalau untuk bikin gambar, biasanya saya tergantung mood, maaf ya, Pak." Duh, jawaban apa ini? Profesional sekali, kerja tergantung mood.

"Oh, seniman sekali anda. Tapi kalau ditarget bisa ya? Seperti tadi pagi, kamu saya minta buat desain, dan sekarang hasilnya bagus, iya kan?"

"I-iya, Pak."

"Oke, gini aja, kapan Mbak Husna punya waktu, bikin saja. Nanti saya pilih. Nah, yang saya pilih itu, nanti ada nilainya tersendiri, di luar gaji kamu. Oke. Ngerti ya, Mbak Husna?"

Kembali aku dibuat tercengang oleh penjelasan Pak Hanan. Sungguh, ini semua di luar dugaanku. Bukankah model perhiasan yang banyak diproduksi di sini juga bagus-bagus semua? Apa sebegitu bagusnya desainku hingga beliau bersedia membeli?

"Mbak Husna ... ?"

"Oh, eh, iya Pak. Maaf."

Kuseka air mata yang luruh begitu saja. Inikah jawaban dari do'aku selama ini, yang ingin hasil karyaku dihargai?

"Oh, maaf, apa saya salah bicara hingga membuat Mbak Husna meneteskan air mata?" tanya Pak Hanan khawatir. Beliau mengulurkan tisu yang segera kusambut. Gegas kuseka air mata yang tak sopan ini.

"Maaf Pak. Bapak tidak bersalah. Saya saja yang berlebihan menanggapi apa yang bapak sampaikan."

"Oh, begitu. Baik, saya rasa sudah cukup ya, Mbak Husna. Dan ini, tolong diterima," ujar Pak Hanan sambil menyerahkan sebuah amplop coklat yang lumayan tebal.

"Ini apa, Pak ?"

"Itu bonus untuk desain Mbak Husna hari ini. Cukup?"

Aku suka gayamu, Pak. Kulihat sekilas isi amplop tersebut. Aku sendiri tak mengerti harga sebuah desain perhiasan, tapi isi amplop ini lebih besar dari gajiku satu bulan bekerja di sini.

"Baik, Pak, ini cukup. Terima kasih banyak, Pak." Senyum ini terkembang juga, mendapat tambahan penghasilan yang tak disangka. Alhamdulillah 'ala kulli haal.

"Mbak Husna boleh kembali, dan ini bisa dibawa, buat referensi."

"Baik, Pak, terima kasih banyak. Permisi, Pak."

"Ya, sama-sama."

Alunan lagu yang sejak tadi mengalun di ruang ini, telah berganti dengan lagu Beautiful In White, yang dibawakan oleh Shane Filan, saat kakiku melangkah ke luar. Tanpa sadar bibirku bergerak mengikuti liriknya.

Not sure if you know this

But when we first meet

I got so nervous I couldn't speak

In that very momen

I found the one and

My life had found its missing piece

Kubawa tumpukan buku yang beratnya lebih dari sekilo itu. Wah, bakal kenyang nanti aku cuci mata sama model-model perhiasan. Senyumku terkembang sepanjang jalan kembali ke ruanganku.

"Husna! Habis kesambet kamu?"

Tegur Sinta saat aku kembali ke ruangan. Aku masih nyengir.

"Senyum-senyum sendiri dari tadi. Itu, bawa apa, banyak amat?"

"Bawa brownies, ya bawa bukulah, nona manis."

"Tuh, kan, aneh. Senyum aja terus. Abis ngapain?"

"Abis ngasih oret-oretan buat Pak Hanan, kan? Masak lupa?"

"Ih, kamu mah ngeselin."

"Yah, dia ngambek. Entar aja ceritanya, sekarang lanjutkan dulu ini, inputan belum kelar."

"Iya deh, iya. Eh, tapi ngomong-ngomong, brownies enak juga. Entar mampir beli, ya?"

"Boleh. Bentar ya, aku lanjut kerja dulu."

Sinta masih mengerucutkan bibir.

"Nanti kutraktir," tambahku lagi, sambil melihat kertas penuh angka dan gambar, bergantian dengan layar monitor. Kulirik Sinta, ganti dia yang nyengir sambil kasih jempol dua.

Kami berdua tak bicara lagi hingga jam kerja berakhir. Seperti yang direncanakan sebelumnya, Sinta akan mampir ke rumah untuk mengambil kelapa pemberian Bu Ndari pagi tadi. Jadi kami akan berboncengan berdua menuju ke rumah ibu. Semoga saja tak ada razia helm.

"Aku ke toilet dulu, ya, Sin?" pamitku sebelum kami beranjak ke tempat parkir.

"Oke, kutunggu di depan, ya?"

"Sip," jawabku kemudian bergegas ke toilet di dekat tangga.

Rasanya lega sekali setelah menuntaskan panggilan alam. Aku sudah bersiap ke luar, saat tiba-tiba sebuah tangan menarikku. Belum sempat menyadari apa yang terjadi, saat tanganku ditarik kasar. Di sudut lorong, badanku seperti dihempaskan.

"Kamu jangan coba-coba cari muka, ya, di sini?!"

Sebuah suara yang tak asing, tapi siapa? Apa yang ia inginkan, hingga berbuat sekasar ini? Kulebarkan kedua mata, terlihat wajah yang kukenal.

Seorang senior di bagian pemasaran, kuketahui bernama Misya. Ia salah satu yang ada dalam ruang Bu Lia pagi tadi, tapi tak bersuara. Kedua matanya menatapku tajam, seakan menguliti aku dari ujung kaki hingga ujung kepala.

"Maaf, maksud ibu apa, ya?" tanyaku mencoba tenang, meski degup jantung tak karuan. Duh, kenapa tak ada orang yang lewat, ya? Sepi sekali di sini.

"Tak usah pura-pura polos! Dan jangan sekali-sekali kamu berusaha mendekati Hanan!"

Geramnya tertahan.

Aku mencoba mencerna apa yang ia sampaikan. Jadi ini tentang Pak Hanan. Oke, aku harus berpikir jernih. Kulirik sudut lorong, terdapat sebuah kamera CCTV mengarah tepat ke arah kami berdua berada. Apa Bu Misya tak menyadari keberadaan kamera tersebut hingga melaksanakan aksinya di sini? Bahaya kalau sampai ada yang melihat adegan barusan di kamera CCTV.

.

Ikut senang, ya, Husna dapat reward dari Pak Hanan.

Kira-kira, Bu Misya mau ngapain, ya?

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Ajur Lebur
lanjt jangan menyerah.
goodnovel comment avatar
Betty Yuspriatna
mulai seru nih
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Mulai punya musuh Husna padahal dia gak bikin yang aneh-aneh
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status