Share

Bab 9

Kulihat Pak Hanan menunggu jawabanku. Nah, ini yang kadang dilema. Kalau disuruh, malah aku nggak bisa. Seringnya ide ngalir aja, nggak bisa dipaksa.

Bu Lia menyenggol siku tanganku dengan isyarat agar aku cepat membalas ucapan Pak Hanan.

Melihat itu, aku bergegas menjawab atasan kami ini dengan jawaban template khas karyawan, "Iya, Pak, saya mengerti." 

Bukannya aku tak senang dengan permintaan Pak Hanan. Aku sadar bahwa aku harusnya bahagia diberikan ruang seperti ini, dikasih kesempatan buat lebih bebas berekspresi. Tapi, kalau dipaksa, biasanya ide malah mampet! Itu yang aku takutkan terjadi.

"Bu, Lia."

"Iya, saya, Pak."

Kali ini, sepertinya Bu Lia yang akan diberikan tugas.

"Husna ini perlu dibina. Kalau perlu, pindahkan dia ke ruang desain, biar belajar sama anak-anak di sana. Tapi, desain dia sudah bagus, sih, tinggal dikembangkan."

"Baik, Pak."

"Oke, saya rasa cukup, ya. Kamu boleh kembali ke ruangan kamu, Mbak Husna."

Pak Hanan memberi penekanan saat menyebut namaku. Entah hanya perasaanku saja atau tidak. 

"Baik, Pak, terima kasih, Pak."

Aku pamit dari ruangan itu, sementara pikiranku malah berkelana. Rasanya masih tak percaya kalau hasil dari keisenganku malah diberi ruang di tempat kerja ini.

***

Sibuk membuat coretan yang diminta oleh Pak Hanan, membuat aku lupa waktu. Tak terasa jam istirahat sudah tiba. Tapi tanggunglah, dikit lagi selesai.

"Sibuk amat, Neng," tegur Sinta yang datang tiba-tiba.

"Eh, kamu, Sin."

"Ke luar, yuk, perutku dah bunyi ini dari tadi," ajaknya.

"Ya udah, ayok. Bentar aku rapikan kertas-kertas ini dulu. Eh iya, nanti pulang kerja ada acara nggak?"

"Nggak ada, kenapa?"

 "Mampir ke rumah, yuk?" tawarku.

"Boleh, ada acara apa ini?"

"Ada acara bagi-bagi kelapa."

"Heh, bagi-bagi kelapa gimana?" tanyanya bingung.

Aku pun menceritakan kedatangan Bu Ndari tadi pagi. Sinta mengangguk-angguk mendengar ceritaku. Tak terasa kami sudah sampai di tempat parkir. Perbincangan kami masih berlanjut dengan seru.

"Padahal udah lama ya, aku aja nggak Ingat," kata Sinta heran.

"Ya sama. Aku juga udah lupa. Mana banyak amat lagi bawanya."

"Ya udah, kapan-kapan kita main ke rumahnya kalau gitu," ujar Sinta, sesaat sebelum melajukan sepeda motornya. Aku pun mengangguk menyetujui.

Sepuluh menit kemudian, tak terasa kami sudah duduk di sebuah pusat jajanan para karyawan. Ada puluhan menu yang bisa dipilih di sini. Hampir semua pengunjungnya para karyawan pabrik. 

"Kenapa itu muka, kayak benang kusut aja?" tegur Sinta begitu ia kembali ke kursinya setelah memesan menu makan siang.

"Bukan benang kusut kali, tapi kertas kusut," jawabku sambil nyengir. Sinta ikutan nyengir.

"Kenapa lagi? Abis dimarah sama bos?"

"Enggak."

"Terus?"

"Nggak apa-apa, cuma diminta bikin desain lagi sama Pak Hanan."

"Desain apaan? Komik aneh itu?"

Sinta tentu tau kebiasaanku bikin gambar Son Goku dengan dialog absurd. Tak jarang juga dia ketawa lihat gambar sama dialog yang nggak sinkron. Terus komentar macam-macam.

"Ini apaan, Goku naik pesawat?" tanyanya suatu ketika.

"Iya, bosan dia naik awan kinton."

"Ya kali, jamannya Goku udah ada pesawat canggih begini. Ini lagi, ngapain dia dipakein baju beskap?"

Dan kami pun tergelak bersama. Memang seabsurd itu coretanku.

"Ya itu, gambar kepala gelang, Sin. Kemarin iseng bikin, sih, eh malah Pak Hanan suka, jadi minta aku bikin lagi."

Sinta bertepuk tangan. Aku malah tepuk jidat.

"Hebat memang temenku satu ini. Bener deh ini dugaanku, kalau Husna bakal makin bersinar setelah lepas dari si Fikri."

"Eh, kenapa bisa mikir gitu?" tanyaku bingung.

"Ya bisalah, ini aja hikmah dari kamu galau malah diapresiasi sama atasan. Padahal, sebelumnya nggak pernah, kan?"

Ada benarnya juga perkataan Sinta. Selama ini hampir nggak ada yang mengapresiasi coretan-coretanku di sini. 

Ah, kecuali wali kelasku!

"Pak, ini nilai anak bapak memang nggak tinggi, tapi saya lihat dia ada bakat di seni," ucap seorang wali kelas saat aku baru lulus SMP. Ayah yang mengambil raport, hanya mengangguk dan tersenyum mendengar pernyataan wali kelasku.

"Saya sarankan kalau mau melanjutkan, bisa ke SMK yang ada jurusan seni ya, Pak. Tapi, di sini belum ada, harus ke luar kota," tambah beliau lagi.

"Baik, Pak, terima kasih atas sarannya," jawab ayah, kemudian pamit karena sudah banyak yang menunggu giliran mengambil raport.

Sampai di rumah, ayah mengajakku bicara. Membicarakan saran guru sekaligus wali kelasku.

"Maaf, ya, Yah, kalau nilai Husna pas-pasan," ucapku mengawali. Rasa takut mengecewakan ayah tetap ada, meski beliau tak pernah menuntut aku untuk mendapatkan nilai yang tinggi.

"Tidak apa-apa, asal kamu sudah berusaha yang terbaik, itu sudah cukup. Kalau mau nilai lebih tinggi lagi, ditingkatkan lagi belajarnya setelah ini."

"Terima kasih, ya, Yah," ucapku sambil menenggelamkan wajah pada dada ayah. Kuhirup aroma khas yang menguar dari sana.

"Nak, Ayah tau, kamu berbakat di seni, seperti yang gurumu sampaikan. Tapi, ayah minta maaf, karena ayah tak bisa melepasmu di luar kota tanpa sanak saudara," ucap beliau sambil memegang tanganku.

"Kamu lanjutkan sekolah di dekat sini saja, ya, nggak apa-apa, kan?" lanjutnya lagi.

Aku mengangguk setuju. Kupeluk erat lelaki yang menjadi cinta pertamaku. Aku mengerti. Pasti berat bagi ayah melepas anak gadisnya jauh di luar kota. Lagi pula, kondisi ekonomi kami saat itu juga pas-pasan. Mas Dika juga masih duduk di bangku kelas dua. Sekolah di luar kota juga butuh biaya tak sedikit. Apa lagi sekolah seni, banyak prakteknya. Otomatis butuh biaya lebih banyak lagi.

Dan begitulah, aku akhirnya melanjutkan sekolah di bangku SMA di kotaku. Tak mau membuat ayah dan ibu kecewa, aku berusaha untuk mendapatkan nilai yang lebih baik saat duduk di bangku SMA. Mereka berdua tetap membebaskan aku berkeskpresi dengan bakatku.

"Husna, ayo makan dulu," ujar Sinta, membangunkan aku dari lamunan.

Tak kusadari kalau pesanan kami sudah datang. Bergegas kami menyantap sambil sesekali berbincang.

***

Jam dua siang, telepon di ruanganku berdering. Sinta yang paling dekat dengan sumber suara, bergegas menerima panggilan itu.

"Iya, ada, Pak. Baik, Pak."

Klik, terdengar suara gagang telepon dikembalikan ke tempatnya.

"Husna, ke Pak Hanan sekarang, gih, udah ditunggu."

Astaghfirullah, hampir saja terlupa. Diburu menginput data setelah istirahat, membuat aku sibuk dengan angka-angka. Gegas aku beranjak dari dudukku. Siap-siap senam jantung ini kayaknya. Ya Allah, semoga aku tidak diomelin.

.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Pak Hanan rajin banget manggil Husna
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status