Aku dirujuk ke rumah sakit yang lebih besar, serta memiliki peralatan yang lengkap. Di sana aku mendapat perawatan yang lebih baik."Aku akan cacat, Dam!" raungku, lalu suaraku menggema di ruang pemeriksaan."Kamu pergilah, aku sudah tak pantas lagi untukmu. Sudahlah nggak kunjung hamil, sekarang harapan mata kiriku … ."Ia telah melintangkan telunjuknya di bibirku."Sudah, jangan diteruskan. Aku tak akan ke mana-mana, Mei. Kamu istriku, apa pun kondisimu, aku akan tetap di sisimu. Tetap semangat, ya, nanti aku usahakan cari pengobatan yang terbaik. Kalau perlu kita cari donor mata buat kamu."Tergugu aku dalam dekapannya. Aku hampir putus asa, sebab harapan untuk pulih hanya sedikit. Hal ini tentu berpengaruh besar pada penampilanku nanti.Aku terus bertanya-tanya, kenapa harus menerima ini? Aku menolak takdir, bahwa mata kiriku tak bisa pulih seperti sedia kala.Sementara itu, Husna dan Hanan justru memberikan dukungan
Batal Nikah karena Permintaan Aneh Calon Suamiku"Dek Husna ... ," panggil Mas Fikri, di sela menikmati semangkok bakso dan es teh manis di pinggir jalan beraspal."Ya, Mas? Ada apa?" tanyaku, lantas kuhentikan sejenak kegiatanku menggulir layar ponsel. Kutatap lurus wajah calon suami di depanku."Sebentar lagi kan, kita resmi ya, jadi suami istri?" tanyanya setelah menghentikan menyuap bakso ke dalam mulut."Iya, insya Allah dua Minggu lagi kalau tak ada halangan ya, Mas," jawabku dengan memperhatikan ekspresi wajah itu."Tepat sekali," Mas Fikri menjentikkan jari. "Mas ada permintaan sama kamu, Dek," ujarnya lagi."Apa itu, Mas?" tanyaku penasaran."Nanti, setelah menikah, untuk biaya hidup sehari-hari, kita pakai uang gaji kamu ya, Dek Husna yang cantik," ujar Mas Fikri. Senyum lebar menghiasi bibir tipisnya.Aku mengernyitkan kening. Merasa aneh dengan permintaan dari calon suamiku ini. Sependek pengetahuanku, memberi nafkah untuk kebutuhan sehari-hari itu mutlak kewajiban suami.
Sekilas kulirik ayah dan ibu, mereka tetap tenang, tak terpengaruh oleh teriakan dari Lek Sapto, ayah Mas Fikri. "Dan kamu! Perempuan kurang aj*r! Berani kau injak harga diri keluargaku!"Kali ini telunjuk Lek Sapto mengarah kepadaku. Aku memundurkan badan karena tak nyaman dengan telunjuknya yang tepat mengarah ke wajahku. Ayah menggenggam tanganku, mengisyaratkan agar aku tetap tenang, seperti pesannya sebelum berangkat."Sapto kemungkinan akan marah besar, tapi kita harus siap. Apa pun yang terjadi di sana, kita harus tenang, tak boleh terpancing emosi," pesan ayah, sesaat sebelum kami melaju ke rumah orang tua Mas Fikri sejam lalu.Aku kembali merasa bersalah, karena Ayah dan Ibu harus ikut mendapat teriakan karena ulahku. Tapi keputusanku sudah bulat, daripada jadi sapi perah setelah menikah, lebih baik berpisah sekarang, sebelum akad dilangsungkan."Kau pikir kau perempuan paling cantik? Paling kaya? Sombong sekali kau jadi perempuan!" Lek Sapto masih meluapkan amarahnya. Apa
"Kamu akan terlihat cantik dengan gaun ini, Husna," ujar beliau, kala itu. Sebuah gaun berwarna putih dipilih, kemudian meminta aku mencobanya. "Saya minta maaf, Bulek, keputusan saya sudah bulat. Saya juga sudah bicara dengan Mas Fikri, dan ia tak keberatan," ujarku setenang mungkin. Kulihat Mas Fikri yang tak bersuara sejak tadi. Dia terlihat tak acuh dengan semua perdebatan yang bergaung di dinding dan plafon ruang tamu ini.Selama ini aku berusaha menerima perjodohan ini, demi menghormati kedua orang tua dari dua belah pihak. Aku berdamai dengan perasaanku sendiri, mencoba menerima kekurangan Mas Fikri yang sedikit demi sedikit terlihat saat hari pernikahan kami mulai dekat. Namun, hatiku tak bisa menerima saat ada permintaan tak masuk akal dari calon suamiku. "Baiklah, tak apa Husna. Bulek menghormati keputusan kamu. Anggap saja kalian belum berjodoh. Tapi seperti yang Bulek katakan tadi, Bulek akan tetap sayang dan menganggap kamu sebagai anak, meski kamu tak menjadi menantu
Aku tak punya cara lain. Aku terpaksa meminta kembali uangku di depan kedua orang tuanya, karena kurasa hubungan kami sudah selesai. Beberapa kali sudah kuminta sesuai janjinya, tapi Mas Fikri selalu berkelit, dengan alasan kelak kami akan jadi sepasang suami istri. Bahkan saat kukatakan kalau uang itu akan kugunakan untuk tambahan biaya pernikahan, ia tetap tak mau mengembalikan."Kamu jangan khawatir, Dek Husna, ini kan, Mas sudah buat pernyataan di kertas bermaterai, nanti kalau Mas lupa, kamu ingatkan Mas pakai ini, oke?"Ia sendiri yang mengusulkan membuat kwitansi bermaterai itu. Jadi bisa kugunakan untuk menagih, agar ia tak berkelit."Apa ini tak berlebihan, Mas?" tanyaku, kala itu."Tidak, Dek. Supaya kamu nggak ragu sama Mas. Percayalah, secepatnya Mas ganti uang kamu. Oke?"Aku mengangguk mengiyakan, meski merasa tak nyaman karena tabunganku terus digerus olehnya. Yah, meski ia pilihan orang tuaku, dan dari keluarga yang berlimpah materi, nyatanya tak menjadikan ia merasa c
"Sini Mas bilangin ya, Adek Mas yang cantik, kayak bidadari. Hari ini Mas mau ajak kamu jalan-jalan," ujarnya setelah melepaskan diri."Mau jalan-jalan ke mana emang? Orang kerja juga, masak diajak jalan?""Dek Husna sayang, hari ini hari Minggu ya, nggak ada alasan buat kamu berangkat kerja."Benarkah? Sampai lupa hari, kacau sekali aku ini. Dipikir-pikir boleh juga ini, jalan-jalan buat buang galau yang nggak jadi nikah."Ayah sama Ibu mana, Mas?" tanyaku akhirnya."Ada, di belakang mereka," jawab Mas Dika sambil memberikan isyarat melalui wajahnya.Masih merangkul pundakku, Mas Dika mengajak aku ke belakang, di mana Ayah dan Ibu berada. "Ngomong-ngomong, Mas mencium bau tak sedap, tapi apa ya?"Ia memencet hidung sambil melirikku. Ngeselin emang kakak satu ini. Untung sayang. Masih suka ngasih uang jajan sama buah tangan lagi kalau habis pergi-pergi."Hem, mulai deh. Iya-iya, Husna mandi dulu. Tadi kan juga bilang mau mandi, malah dipeluk segala.""Habis Mas kangen. Sana, buruan m
.Terbangun jam dua pagi, mata malah terasa bengkak, susah banget dibuka. Payah ya, semalam sambil beresin barang, malah mewek sendiri. Tapi kamar sudah lumayan rapilah, undangan sama souvenir yang masih ada di atas lemari sudah tak pindahin ke kardus. Barang-barang yang bisa ngingetin sama Mas Fikri sudah dimasukkan ke sana juga. Setelah ini terserah Ibu sama Ayah mau digimanain. Kuraih ponsel, memeriksa pesan yang masuk ke akun WhatsApp. Seharian bersama Mas Dika membuat aku mengabaikan ponselku. Hingga dini hari ini baru kupegang, karena memang kalau libur malah nggak sempat megang. Beberapa pesan teks dan suara dari Mas Fikri, masuk ke nomor WhatsApp milikku. "Dek, Husna, kalau kamu berubah pikiran, Mas masih mau menerima kamu dengan hati dan tangan terbuka. Hidup Mas terasa hampa tanpa kamu, Dek Husna."Aku tersenyum membaca pesan itu. Masih nggak nyerah kamu, Mas. Masih juga mengirim kata-kata gombal yang akhirnya kuabaikan. Bosan. Aku bosan dengan kata-kata manis yang ia kiri
"Daripada nggak kerja malah ngelamun, Na, mending kerja, menyibukkan diri, kumpul sama teman-teman. Tapi terserah kamulah, nanti kabari Mbak, ya," tambahnya lagi.Padahal aku sudah berencana membujuk Mas Dika supaya bisa ikut perjalanan, mumpung dapat cuti. Lumayan kan, satu Minggu bisa buat refreshing otak dan pikiran. Tapi ada benarnya juga kata Mbak Irma. Mengajukan cuti juga harus jauh-jauh hari. "Makasih ya, Mbak, nanti Husna pikirkan lagi soal cuti itu."Dan kami kembali sibuk dengan pekerjaan kami masing-masing, hingga waktu pulang tiba..Hari masih pagi, kutemani Ayah berbincang sambil menikmati sepiring singkong rebus dan segelas teh manis. Mas Dika sudah berangkat sejak jam lima tadi. "Nanti dua hari lagi Mas pulang," pamitnya tadi.Kembali lagi aku hanya bertiga dengan Ibu dan Ayah di rumah ini."Husna, ada yang nyari kamu di depan."Aku yang sedang ngobrol sama Ayah di belakang rumah, sontak menoleh ke sumber suara."Siapa, Bu?""Nggak tau, ibu-ibu, dia nyari yang naman